Enid Blyton EMPAT SERANGKAI: RAHASIA KASTIL BULAN Scan: BBSC Edit & Convert: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ============================== Penerbit PT Gramedia Jakarta, 1986 DAFTAR ISI 1. Pulang 2. Memilih Kastil 3. Kastil Bulan 4. Di Dalam Kastil 5. Orang Tak Ramah 6. Rencana 7. Di Luar Dugaan 8. Di Kastil Lagi 9. Tinggal di Kastil 10. Peristiwa Aneh 11. Suara-suara Terdengar Lagi! 12. Penemuan Menarik 13. Jack Mendengar Banyak 14. Semua Aneh 15. Puing-puing Desa Kuno 16. Di Dalam Tambang 17. Nyeri Seperti Ditusuki dan Buku-buku Berlompatan 18. Membaca Peta 19. Pada Tengah Malam 20. Di Mana Letak Pintu Rahasia? 21. Perjalanan di Tengah Malam 22. Pengalaman Seru 23. Akhir yang Mendebarkan 1. PULANG DUA orang gadis berdiri di depan pintu pagar. Cuaca sore hari pada bulan Juli itu bukan main cerahnya. “Seharusnya mereka sudah datang." Nora berucap. “Mudah-mudahan saja ban mobilnya tidak pecah. Aku sudah rindu sekali kepada Mike - juga kepada Jack.” "Aku juga,” sahut Peggy, kakaknya. “Kira-kira Paul ikut kemari atau tidak, ya? Aku jadi ingin tahu apakah anak itu akan berlibur bersama kita atau pulang ke Baronia.” Paul adalah putra mahkota kerajaan Baronia. Ia masih kecil - sahabat baik Nora, Peggy, Mike dan Jack. Saat ini Paul bersekolah di tempat yang sama dengan Mike dan Jack. Sudah beberapa kali Ia ikut mengalami petualangan yang mendebarkan dengan keempat sahabatnya. “Mudah-mudahan Paul berlibur dulu beberapa hari di sini,” kata Nora, mempermainkan pintu pagar. “Biasanya begitu, kan? Baru setelah itu ia pulang ke Baronia, menengok orang tua dan adik-adiknya!” “Jengkel, deh! Kenapa sekolah kita libur dua hari lebih dulu daripada sekolah mereka sih.” gumam Peggy. “Yang lebih tak menyenangkan lagi - liburan kita juga habis dua hari lebih cepat daripada liburan mereka!” “Itu dia mobilnya - mereka ada di dalam!” seru Nora mendadak. “Wah, mereka datang naik mobil Paul. Mobil berwarna biru keperakan itu! Siapa yang mengemudikan, ya? Ranni-kan?” Ranni adalah pengawal Paul. Pada hari Paul dilahirkan, orang itu bersumpah hendak menjaga dan mengabdi si putra mahkota hingga akhir hayatnya. Ia benar-benar mengabdikan dirinya kepada Paul sejak saat itu. Bahkan dalam - petualangan-petualangan Paul dan sahabat-sahabatnya pun Ranni beberapa kali ikut serta. Benar saja! Ranni yang mengemudikan mobil megah kerajaan Baronia, membawa Paul, Mike, dan Jack pulang! Ketika mobil itu sudah dekat, Nora dan Peggy membukakan pintu pagar. Keduanya berseru kegirangan waktu mobil masuk ke halaman. “Mike! Jack! Paul! Hore! Selamat datang!” Mobil berhenti diiringi bunyi derit rem. Ranni yang duduk di belakang kemudi tersenyum lebar. Giginya nampak putih di atas jenggotnya yang lebat berwarna merah keemasan. Tiga kepala anak laki-laki melongok ke luar dari jendela mobil. “He! Masuklah kalian ke dalam mobil. Sudah kami duga kalian sedang menunggu kami!” pekik Mike. Pintunya dibukakan dari dalam. Dengan gesit kedua gadis yang berdiri di luar tadi melompat masuk dan duduk berhimpit-himpitan dengan ketiga anak lelaki yang sudah berada di dalam mobil. Mereka bergeser, memberi tempat untuk Nora dan Peggy. Nora memeluk Mike. Keduanya saudara kembar, dan sangat menyayangi satu sama lain. Wajah keduanya mirip sekali. Hanya saja badan Nora lebih kecil dibandingkan dengan Mike. Rambut mereka hitam keriting dan mata mereka sama-sama cemerlang. Peggy berambut pirang. Usianya setahun lebih tua dari saudara kembarnya, tetapi badannya masih kalah besar jika dibandingkan dengan Mike. “Halo!” seru Jack sambil menepuk-nepuk Nora dan Peggy. “Punya maksud apa kalian - kok libur lebih dulu dari kami?” Jack bukan saudara kandung mereka. Orang tuanya sudah tiada. Tuan dan Nyonya Arnold mengambil anak itu menjadi anak angkat. Dengan demikian jadilah Jack kakak ketiga anaknya. Jack sangat mencintai keluarga angkatnya. Kini anak itu memandang senang dan bangga pada saudara-saudaranya. Matanya biru, bersinar-sinar pada wajahnya yang kecoklatan. Pangeran Paul tak pernah menepuk Nona dan Peggy dengan akrab seperti yang dilakukan Jack. Menurut adat negerinya, tindakan semacam itu kurang sopan. Ia mengangguk hormat kepada kedua gadis itu. Wajahnya berhiaskan senyum gembira. Tapi, Nora dan Peggy bukan orang Baronia. Mereka tak mengenal tata krama negeri itu. Melihat Paul, segera saja keduanya memeluk anak itu bertubi-tubi. “Masih gelian kau, Paul? Wah, masih! kau hendak berlibur di sini, Paul—atau, cuma mampir beberapa hari saja?” “Hus! Jangan kaugelitik aku,” kata Paul, berusaha mendorong Nora dan Peggy. “Ranni, hentikan mobilnya! Suruh anak-anak gadis ini keluar!” Mobil meluncur masuk halaman, lalu berhenti di depan pintu rumah. Dengan sigap Ranni melompat ke luar sannbil tersenyum lebar. Dibukanya bagasi belakang, lalu dikeluarkannya semua kopor anak-anak. Pintu rumah dibuka. Nyonya Arnold berdiri di sana, tersenyum. “Selamat datang!” serunya. Mike berlari-lari mendapatkan ibunya, lalu memeluk beliau. “Hore! Di rumah lagi, hore!” serunya. Jack mencium Nyonya Arnold, lalu Paul membungkuk hormat sambil mencium tangan beliau penuh khidmat. Dulu anak-anak geli melihat tata cara Paul yang mereka anggap keterlaluan. Tapi sekarang mereka sudah terbiasa. Tingkah laku Paul tak terasa janggal lagi. “Masuklah,” ajak Nyonya Arnold. “Jangan menghalangi jalan. Lihat tuh, Ranni hendak membawa masuk kopor-kopor kalian. Astaga! Bukan main kuatnya kau, Ranni - sekali angkat dua kopor!” Ranni nyengir. Tubuhnya tinggi besar dan sangat kuat. Buat orang seperti Ranni, dua buah kopor bukan apa-apa. Kopor-kopor dibawanya naik ke loteng dengan gampang. “Bu! Lezat benar baunya!” seru Mike, mengendus-endus. “Roti bakar, rupanya!” “Tepat dugaanmu,” sahut Nyonya Arnold. “Kau lupa rupanya, Mike - kau sendiri yang minta agar Ibu menyiapkan roti bakar pada hari pertama liburanmu. Heran! Padahal cuaca panasnya begini!” Jack melongok ke ruang makan. Di meja sudah tersedia hidangan kecil untuk minum teh sore hari. “Wah! Ada macam-macam kue lagi! Kapan boleh disantap nih?” “Cuci tangan dulu,” kata Nyonya Arnold. "Jangan lama-lama. Roti bakarnya akan Ibu keluarkan sekarang juga.” Mereka tak berlama-lama. Kelimanya berlari-lari naik ke loteng sambil tertawa dan berteriak-teriak. Gembira benar kelima anak itu berkumpul kembali. Pangeran Paul juga gembira. Ia sangat senang berada di tengah-tengah keluarga Inggris. Mereka ramah dan tidak pelit. Ketika anak-anak turun, ada orang lain bersama Nyonya Arnold di ruang makan, Jack, Mike, dan Paul tersenyum kepada perempuan yang duduk di samping Nyonya Arnold. Perempuan itu berperawakan mungil dan bermata abu-abu. “Dimmy!” ujar mereka sambil mendapatkan perempuan itu dan bersalaman. Seperti biasa, Paul membungkuk hormat. Tetapi, di luar dugaan, mendadak anak itu memeluk Dimmy. Sebenarnya nama Dimmy adalah Nona Dimity. Ia kadang-kadang datang membantu Nyonya Arnold, terutama kalau anak-anak datang berlibur. Anak-anak sangat menyukai Dimmy. Mereka sering menggodanya. Walaupun kelihatannya lembut, Dimmy sangat memegang teguh disiplin. Anak-anak tahu betul akan hal itu. “He, Dimmy!” seru Mike. kelihatannya ia hendak memeluk dan mengangkat Dimmy tinggi-tinggi. Tetapi Dimmy cepat-cepat mendorongnya. “Jangan, Mike! Kau memang sudah besar sekarang. Aku sudah kalah tinggi denganmu. Tapi, aku tak mau kaubanting seperti karung kentang! Cepatlah duduk yang rapi. Kalau tidak, keburu dingin roti panggangnya!” Sejenak suasana sunyi. Anak-anak sibuk mengambil makanan kesukaan mereka yang tersaji di atas meja. Paul mendesah panjang dan keras. “Oh, ini baru namanya makan beneran! Hampir seperti di Baronia. Aku benar-benar setengah kelaparan sepanjang kuartal kemarin, Bu Arnold!” “Jangan percaya, Bu!” seru Jack. “Dia sering dapat kiriman makanan dari Baronia!” “Aku tahu,” kata Nyonya Arnold. “lbu Paul sering mengirimiku juga paket berisi makanan. Wah, lezatnya bukan main. Tadi pagi aku menerima surat dari Permaisuri - ibumu, Paul. Beliau titip salam, dan ingin cepat-cepat bertemu kau.” “Oh, jadi Paul akan segera pulang ke Baronia!" tanya Nora dengan suara kecewa. “Aku dan Peggy masih kangen - tidak ketemu sepanjang kuartal kemarin. Tak bisakah kau tinggal lebih lama di sini, Paul?” “Aku punya kejutan buat kalian,” Nyonya Arnold berkata sambil memandang anak-anak di sekelilingnya dan tersenyum. “Ayah dan Ibu Paul punya rencana hendak berkunjung kemari selama satu sampai dua bulan. Beliau ingin lebih mengenal kita. katanya, dua orang adik Paul akan diajak - supaya tahu negeri lnggris sebelum datang bersekolah di sini.” “Asyik!” pekik Peggy. “Tapi, mana cukup rumah kita untuk menampung Raja dan Permaisuri. Belum lagi pelayan mereka. Ayah dan ibumu pasti membawa pelayan banyak kan, Paul? Rasanya belum pernah orang tuamu bepergian tanpa diiringi pengawal dan pelayan begitu banyak. Mereka takkan tertampung di rumah ini.” “Tentu saja tidak,” komentar Nyonya Arnold. “Buat kalian berlima pun tempatnya masih terasa kurang pada liburan begini. Ayah Paul minta tolong agar Ayah dan Ibu mencarikan tempat yang bisa disewa. Tempatnya harus cukup besar hingga bisa menampung pula dua puluh orang pelayan yang hendak beliau bawa.” “Astaga!” ucap Mike. “Mesti sewa istana dong!” “Memang itu yang diusulkan oleh ayah Paul,”lanjut Nyonya Arnold, mengedarkan piring berisi kue mentega. “Wah, apa betul ini? Kau tak tahu apa-apa mengenai hal ini, Paul?” tanya Nora. Paul menggeleng. Mulutnya penuh hingga tak bisa bicara. Mata anak itu bersinar-sinar. Ia berusaha menelan isi mulutnya dengan cepat, dan tersedak! Teman-temannya sibuk memukuli punggung Paul. Wajah Paul jadi kebiru-biruan. “Biarkan Paul sendiri,” kata Nyonya Arnold. “Kalian bukan menolong, malah membuatnya lebih tak enak. Minumlah tehmu, Paul.” “Wah! Bayangkan - bagaimana rasanya menelepon agen penyewaan rumah dan minta mereka menyediakan keterangan lengkap mengenai setengah lusin istana atau kastil yang hendak disewakan,” gumam Mike. "Bu, sudah tahukah Ibu kira-kira kastil yang hendak disewa?” tanya Nora. “Dekatkah tempatnya? Bisakah kami ke sana melihat-lihat?” “Hus! Kau kan tahu di sekitar sini tak ada kastil,” cetus Mike. “Biarkan Ibu yang menjawab,” bentak Nora. “Kastil mana, Bu?” “Sudah kukatakan tadi, Nak, Ibu baru tadi pagi menerima suratnya,” sahut ibu Nora. “Gagasan itu baru saja muncul di benak Permaisuri. Beliau minta tolong agar aku mencarikan kastil yang bisa disewa. Aku sendiri tak tahu apakah katil-kastil yang ada masih bisa ditempati atau tidak.” “Mereka kan cuma mau menyewa, bukan membeli,” sela Mike. “Sebaiknya Paul diajak saja, Bu - supaya dia bisa melihat-lihat keadaan beberapa kastil tua. Paul pasti tahu kastil macam mana yang disukai ibunya! Masih ada yang mau kue mentega ini? Tinggal satu nih! Kalau ada yang masih mau, bilang!” Tak ada yang mengatakan apa-apa. Jadi, Mike menyikat kue itu. Anak-anak asyik membicarakan berita yang baru saja disampaikan oleh Nyonya Arnold. Paul sudah sembuh dari tersedaknya. Ia bicara paling keras dibanding yang lain. Paul benar-benar bersemangat menyambut rencana itu. “Kalian semua bisa tinggal bersamaku,” katanya. “Kita akan tinggal di kastil itu bersama-sama. Kalian bisa berkenalan dengan adik-adikku. Di samping itu...” “Siapa tahu ibumu tak mengizinkan kami tinggal bersamamu,” Mike berkata. “Yang jelas, kalau lama-lama takkan diizinkan,” ucap Nyonya Arnold. “Kalian semua tukang ribut sih. Permaisuri menulis, bahwa beliau akan bergirang hati seandainya kita sekeluarga bisa tinggal beberapa saat bersama mereka supaya bisa bersenang-senang.” “Ah mudah-mudahan saja kita bisa mendapat kastil yang bagus!” sahut Nora. “Yang bagus menurutmu yang bagaimana?” tanya Mike. "Tentu saja kita takkan mencarikan kastil yang sudah setengah ambruk Bu, sudahkah Ibu mendapat bayangan kastil yang mana?” “Astaga, Mike! Sudah Ibu katakan, suratnya baru Ibu terima hari ini,” ibunya menjawab. “Nah, habiskan minum kalian. Minggu depan kita melihat-lihat kastilnya.” “Mencari kastil buat disewa - wah, asyiknya!” ucap Jack “kastil mana ya yang hendak kita pilih? Mudah-mudahan yang menarik!” 2. MEMILIH KASTIL HARI-HARI selanjutnya ternyata lebih menggairahkan daripada yang semula dibayangkan anak-anak. Pertama, berada di rumah sehabis berbulan-bulan tinggal di asrama sudah tentu sangat menyenangkan. Tak ada pelajaran, tak diperintah oleh lonceng, tak ada pekerjaan rumah. Yang kedua, membaca keterangan lengkap mengenai sekian banyak kastil yang hendak disewakan bukan main mengasyikkan. Jumlahnya tidak terlalu banyak. Mula-mula Nyonya Arnold meneliti semua keterangan yang beliau terima. Membacanya, Nyonya Arnold dengan cepat memutuskan tawaran mana yang dianggapnya tidak bagus. Ada beberapa tawaran rumah besar yang diterima. Hampir Nyonya Arnold memutuskan menyewa rumah-rumah sejenis itu untuk keluarga Paul. Kastil yang ditawarkan letaknya jauh. Di samping itu, tempatnya sudah lama kosong - cuma dihuni oleh seorang penjaga yang sekaligus merawat kastil itu. “Jangan ah, Bu - mendingan kita pilih kastil saja,” ujar Mike. “Rumah besar sih kurang menarik.” “Aku tak terlalu memikirkan menarik atau tidaknya tempat itu buat kalian,” sahut Nyonya Arnold. "Yang kupikirkan, ibu Paul mungkin mengalami kesulitan tinggal di kastil tua. Kalian tahu sendiri, kastil-kastil semacam itu sangat luas dan perabotannya hampir bisa dikatakan kurang. Bukan cuma itu. Lampu dan pemanas ruangannya pun kuno - mungkin sulit dinyalakan.” “Baronia kan bukan negeri yang modern,” cetus Mike. “Kastil-kastil Paul tak mempunyai sarana modern yang dimiliki oleh hotel-hotel besar di Inggris.” “Bacalah ini,” kata ibunya. “Bawa ke kamar, dan rundingkan dengan yang lain mana yang menurut kalian paling baik. Tadinya, kupikir tempatnya kurang baik. Coba saja kalian teliti dulu. Mungkin kalian akan berpendapat sama denganku setelah membaca seluruhnya.” Dengan penuh semangat Mike membawa surat-surat penawaran yang ia terima dari ibunya. Asyik juga disuruh memilih kastil! Ia memanggil anak-anak yang lain, lalu mereka membawa surat-surat itu ke halaman. “Nih, ambillah seorang satu atau dua pucuk surat,” kata Mike. “Kita baca yang teliti, dan cari alasannya mengapa lbu berpendapat penawaran-penawaran ini kurang bagus.” Dengan serius mereka membaca. “Kastil berhalaman lima puluh hektar,”gumam Jack “Wow! Tanahnya juga disewakan? Ah, tapi tak cukup. Kamarnya hanya dua belas. Yang diperlukan orang tuamu lebih dan itu kan, Paul? Susah jadi Raja dan Permaisuri - tak bisa tinggal di tempat yang kecil.” “Aku suka pada istana kami di Baronia,” sahut Paul. “Tapi, kalau bisa pilih, aku lebih suka jadi anak biasa dan hidup seperti kalian, Jack.” “Pantas Ibu menolak semua penawaran ini,” kata Mike sambil meletakkan surat-surat penawaran yang telah selesai Ia baca. “Semuanya tidak cocok. Ada yang pemiliknya ingin tinggal di salah satu bagian kastilnya. Ada yang tidak berperabot. Ada pula yang minta agar kastilnya disewa paling tidak untuk setahun. Ternyata cari kastil yang bisa disewa sebulan atau dua bulan, lebih sukar daripada yang kubayangkan!” “Ada satu nih,” mendadak Peggy berkata. “Sepertinya bagus! Mengapa Ibu menolak yang ini, ya? Dengarkan - kubacakan suratnya!” Yang lain memperhatikan Peggy. Mereka semua berbaring-baring di rumput. Surat-surat penawaran berantakan di sekeliling mereka. Peggy membacakan keterangan yang terdapat dalam surat yang sedang ia baca. “Namanya Kastil Bulan,” Peggy membacakan. “Namanya bagus, ya? Kastil Bulan! Ukurannya besar. Tapi, tidak terlalu besar - cukupan untuk keluarga Paul. Ada penjaga dan perawat yang tinggal di situ. Jadi, pasti tempatnya terawat. Bisa ditempati dengan segera, sebab pemiliknya tidak tinggal di situ. Letaknya di lereng bukit. Pemandangan di sekitarnya indah, terdiri dari padang rumput, hutan yang tak seberapa luas, dan sungai-sungai.” “Kedengarannya bagus,” komentar Mike sambil bangkit duduk “Keterangan apa lagi yang ada di situ?” “Usianya sudah tua,” lanjut Peggy. “Di sini disebutkan sebagai 'Kastil Berlegenda' - maksudnya apa, aku tak tahu. Disebutkan juga di sini, kastil itu bisa mengisahkan banyak cerita. Cerita mengenai kekerasan, misteri, kebencian, dan ketamakan. Wah, asal tembok-tembok kastilnya tidak bisa ngomong saja! Kalau baca keterangannya, sepertinya dindingnya bisa ngomong.” “Menurutku kastil itu menarik juga,” kata Nora. “Mengapa Ibu menolak tawaran itu?” “Itu dia Ibu datang,” Mike berkata. Nyonya Arnold tampak keluar membawa keranjang dan gunting - hendak memetik bunga. "Bu! Bu! Mengapa Kastil Bulan Ibu tolak? Penawarannya kan menarik!” “Kastil Bulan? Oh, sebab letaknya begitu terpencil. Jauh dari mana-mana,” sahut Nyonya Arnold. “Tak ada kota di dekat-dekat lokasinya. Satu-satunya pemukiman terdekat adalah sebuah desa. Itu pun perkampungan tua. Namanya aneh: Bulan. Kukira, itulah sebabnya kastil itu diberi nama Kastil Bulan.” “Kalau jauh dari tempat pemukiman memang mengapa?” tanya Peggy. "Ya, tentu banyak kesulitan,” jawab ibunya. “Rumah tangga berpenghuni banyak paling tidak perlu dekat dengan toko. Dan Kastil Bulan, toko yang paling dekat berjarak dua puluh mil. Menurutku, tempat itu terlalu terpencil. Dan agak mengerikan.” “Tapi, Bu, kami semua senang sekali kalau bisa tinggal di kastil macam begitu,” komentar Nora. “Lagi pula, orang tua Paul pasti membawa mobil banyak. Ya kan, Paul? Kalau mau belanja jadi mudah.” “Bawa mobil sih pasti bawa,” Paul berkata sambil tertawa. “Tapi, ya tidak banyak seperti katamu Nora. Yang pasti, cukup deh untuk keperluan kita.” “Masalah lainnya, kita takkan punya tetangga di sana,” lanjut Nyonya Arnold. “Heran - penjaga kastil itu bisa betah hidup tanpa teman di tempat begitu terpencil.” “Mereka mungkin menyimpan persediaan makan buat sebulan sekaligus,” ujar Jack. Kepada yang lain ia lalu menyambung, “Ingat waktu kita minggat ke Pulau Rahasia dulu? Di sana juga tak ada toko, tak ada tetangga. Yang ada cuma kelinci dan burung-burung. Di situ sepi dan terpencil juga, bukan? Nyatanya kita senang berada di sana!” “Kau benar, Jack!” yang lain setuju. Mike berpaling kepada ibunya. “Eh, kita lihat saja kastil itu, Bu! Bagaimana menurutmu, Paul? Apakah kira-kira ibumu akan berkeberatan jika kita tinggal di tempat yang jauh dari mana-mana dan temboknya bisa menceritakan kisàh-kisah misterius dan kekerasan?” Paul tertawa. “Sama sekali tidak. Kurasa, tembok istana kami di Earonia umurnya lebih tua jika dibanding dengan tembok Kastil Bulan. Ia pun bisa mengisahkan kisah-kisah yang mengerikan. Nyonya Arnold, terlalu jauhkah letak tempatnya kalau kita hendak melihat-lihat?” Mike melirik pada surat penawaran yang dipegang Peggy. “Stasiun yang terdekat adalah Bolingblow,” katanya. “Wah, rasanya belum pernah mendengar nama itu. Di mana letak Bolingblow, ya?" “Kurang-lebih seratus kilometer dari sini,” ibunya menjawab. Beliau meraih surat dari tangan Peggy, lalu membaca. “Aku tak tahu selengkap apa kastil itu diperaboti. Di sini cuma disebutkan, bahwa ada sedikit perabot. Mungkin hanya dua kamar yang diperaboti. Lagi pula kita tak tahu apakah perabotannya masih bisa dipakai atau tidak. Siapa tahu sudah pada lapuk.” “Karena itulah, Bu - kita lihat saja,” Mike berkata tak sabar. “Kalau kita melihat sendiri ke sana, kita tak perlu membuang-buang waktu untuk menulis surat dan menunggu jawaban. Aku sih tertarik membaca keterangan dalam surat penawarannya. Tempat itu nampaknya agak misterius - dan kuno. Jadi...” “Wah, Mike sampai jadi romantis,” ucap Nora sambil tertawa. “Kau pasti berharap bisa ketemu bangsawan zaman Raja Arthur, berkuda keluar dari kastil itu. Ya, kan?” “Jangan ngomong yang bukan-bukan,” bentak Mike. “Bu, mengapa sih kita tidak ke sana saja? Telepon saja mereka, Bu - katakan kita akan datang melihat.” “Di sana tak ada telepon,” sahut Nyonya Arnold. “Itu juga merupakan salah satu sebab aku menolak tawarannya. Permaisuri Baronia pasti menghendaki tempat yang ada teleponnya.” “Oh,” Mike terkesiap. Ia tahu ibunya benar. Mendadak Nona Dimity nyeletuk. Rupanya dari tadi ia mendengarkan pembicaraan mereka. “Menurutku, Kastil Bulan cocok sekali untuk keluarga Paul,” ucapnya. “Walaupun letaknya terpencil dan tak punya telepon, tempatnya kurasa menarik. Mobil-mobil yang mereka bawa bisa dipakai membeli barang-barang yang diperlukan dengan cepat. Juga untuk mengirim dan menerima berita. Ada baiknya kastil itu kita lihat. Kita harus bisa memutuskan dengan segera. Tak lama lagi keluarga Paul sudah akan datang.” “Kita pergi hari ini, yuk,” usul Mike. “Panggil saja Ranni, Bu! Suruh ia mengeluarkan mobil. Kita langsung berangkat!” “Ya, kita langsung berangkat,” tambah Paul. “Aku tahu sifat orang tuaku. Kalau kita tidak segera memberi kabar dalam satu-dua hari ini, besar kemungkinan mereka akan membatalkan rencana ini." “Oh, kalian ini betul-betul menyuruhku lari,” keluh Nyonya Arnold, tapi tertawa. “Kalau begitu, kurasa kita memang harus segera berangkat dan membuat keputusan. Paul, cari Ranni dan ceritakan rencana kita kepadanya. Kami akan siap kira-kira seperempat jam lagi. Sebenarnya aku ingin menyiapkan dulu bekal untuk makan siang di jalan. Tapi nanti terlalu lama. Mike, kau kutugaskan mencari peta. Kita cari jalan yang paling bagus untuk pergi ke sana.” Anak-anak ribut berteriak-teriak sambil sibuk melakukan tugas masing-masing. Siang itu hari sangat panas. Nora dan Peggy mengenakan gaun katun tipis yang enak dipakai. Anak-anak lelaki mengenakan kemeja dan celana pendek katun, kecuali Jack. Jack merasa sudah besar. Ia memakai celana panjang dari bahan flanel abu-abu. Dimmy tidak ikut. Tanpa dia pun mobil Paul sudah penuh sesak. Dia melambaikan tangan ketika anak-anak berangkat. “Sampai nanti malam,” ujarnya. “Mudah mudahan penjaga Kastil Bulan tak terkejut kalian datangi dengan begini mendadak! Nanti ceritakan semuanya ya, kepadaku!” Dengan bersemangat mereka berangkat. Paul dan Mike duduk di depan, di samping Ranni. Nyonya Arnold, Nora, Peggy, dan Jack di belakang. Mike memegang peta, siap memberi tahu Ranni jalan mana yang harus mereka ambil. Sebentar saja mereka sudah berada di pedesaan luar kota. Mobil mereka meluncur di antara pagar tanaman. Di kiri-kanan terbentang ladang jagung dengan jagung yang mulai menguning. Bunga liar warna-warni terlihat di sana sini. “Nah, sekarang belok,” ucap Mike ketika sampai di tikungan. “Terus ke timur sampai ada jembatan. Dan situ menuju ke Sarchester - lalu membelok ke utara menuju Bolingblow. Cuma ada jalan kecil dari sana. Mudah-mudahan saja bisa dilewati oleh mobil sebagus ini!” “Kita makan siang di mana?” tanya Peggy. “Sudah kuduga akan ada yang bertanya,” Nyonya Arnold berkomentar. “Kita makan pada jam satu, kalau kebetulan dekat dengan atau sedang berada di kota.” “Jam satu - wah, kita sudah berada di Bolingblow saat itu,” cetus Mike. “Mobil ini jalannya laju hingga jarak jauh tak terasa melelahkan.” “Sekalian kita tanya mengenai kastil yang hendak kita lihat pada orang-orang di Bolingblow,” kata Nyonya Arnold. “Betul, Bu,” sahut Peggy. Gadis itu tiba-tiba saja bersenandung - membikin yang lain tertawa. Kastil Bulan, Kami ke sana nanti siang, Ya, nanti siang, 0, Kastil Bulan! Sebentar saja anak-anak hafal kata-katanya, dan mereka semua mendendangkan lagu karangan Peggy sementara mobil yang mereka tumpangi terus melaju. 3. KASTIL BULAN RANNI meluncurkan mobilnya masuk ke kota Bolingblow beberapa saat sesudah pukul satu siang. Kotanya apik dengan jalan-jalan cukup lebar. Di tengah-tengahnya ada pasar dan pertokoan. Nyonya Arnold senang melihat ini. “Wah, toko-tokonya bagus,” katanya. “Dan hotel yang sedang kita tuju ini nampaknya sangat manis. Kuno, tetapi indah dan bersih.” Mereka semua lapar. Betapa girang mereka ketika melihat makanan lezat disajikan. “Sedaaap!” komentar Mike. “Sesudahnya, aku ingin es krim lho, Bu!” Pelayan restoran hotel yang melayani mereka tersenyum melihat betapa lahapnya anak-anak. Dengan cekatan Ia mencatat semua makanan yang mereka pesan. Tak lama kemudian mereka semua terlalu sibuk makan hingga lupa mengobrol. Ketika membayar, Nyonya Arnold menanyakan beberapa pertanyaan kepada si pelayan. “Apakah Anda kebetulan tahu bagaimana keadaan jalan menuju ke kastil Bulan. Kira-kira berapa lama perjalanan ke sana dengan menggunakan mobil?” “Kastil Bulan!” ucap si pelayan dengan nada kaget. “Tempat itu tak bisa dikunjungi. Setahuku kastil itu tak terbuka untuk umum. Tak seorang pun diperbolehkan melihat-lihat ke sana.” “Ada yang memberi tahu bahwa musim panas ini tempat itu akan disewakan,” sahut Nyonya Arnold. “Kami ingin melihat-lihat dulu bagaimana tempatnya.” “Disewakan?” Lagi-lagi si pelayan kaget. “Kupikir takkan ada orang yang mau menyewa kastil kuno yang letaknya terpencil begitu. Anda perlu banyak pembantu jika hendak tinggal di sana! Astaga! Sudah bertahun-tahun tempat itu tak ditinggali orang.” “Wah, kalau begitu tentunya keadaan kastilnya sudah tak bagus,” cetus Nyonya Arnold. Beliau merasa agak kecewa, sebab siapa tahu perjalanan mereka jadi sia-sia. “Katanya ada orang yang ditugasi merawat.” “Saya tak tahu akan hal itu,” sahut si pelayan. “Dengar-dengar memang ada seseorang yang datang kemari berbelanja bahan makanan, minyak, dan sebagainya dengan mengendarai kereta berkuda dari sana. Mungkin di sana memang ada orang-orang yang ditugasi menjaga dan merawat kastil itu. Astaga! Aku sih tak bakal bisa hidup di tempat yang sepi dan terpencil macam itu walau dibayar berapapun banyaknya. Orang bilang, di tempat itu sering terjadi hal-hal yang aneh.” “Oh ya? Aneh bagaimana?” tanya Nora segera. “Wah, kurang tahu ya,” sahut si pelayan. “Kudengar, pernah ada cendekiawan datang ke sana hendak meminjam buku yang kebetulan tersimpan di perpustakaan kastil itu. Dia ketakutan setengah mati! Katanya, buku-buku pada berjatuhan sendiri dari raknya hingga menimpa dia.” Semua tertawa. “Bagus!” ujar Mike. “Aku senang tinggal di kastil yang begitu. Kalau buku-bukunya berlompatan sendiri, aku akan bilang begini, He—ada cerita misteri menungguku? Ayo, melompatlah! Kutangkap kau!" Si pelayan tak suka ditertawakan. Dia mendongakkan kepala, lalu berkata, “Pokoknya tempat itu aneh. Orang tak banyak tahu mengenai hal itu dewasa ini. Aku takkan mau disuruh dekat-dekat tempat itu, walaupun dibayar.” Anak-anak menyingkir, mencari kembali mobil mereka yang diparkir di jalan. Mereka tersenyum, geli melihat pelayan tadi jadi marah. Segera semuanya masuk ke mobil. Ranni memandang Nyonya Arnold dengan rupa bertanya-tanya. “Sekarang ke kastil, Nyonya?” tanyanya. Nyonya Arnold mengangguk, lalu Mike memeriksa peta lagi. “Wah, jalannya mulai jelek,” kata Mike. “Begitu keluar batas kota, belok ke kanan, Ranni.” “Aku jadi tak enak mendengar cerita pelayan tadi,” kata Nyonya Arnold sementara mobil terus meluncur. “Kalau benar tempat itu sudah lama tak ditinggali dan hanya dirawat oleh penjaga, pasti keadaannya buruk.” “Benar, Bu! Kedengarannya memang tak begitu bagus,” kata Mike menimpali. “Aneh pemiliknya! Punya kastil tapi tak pernah peduli! Wah, gawat amat jalannya!” Ranni terpaksa mengurangi kecepatan mobilnya karena mendadak sekali jalannya jadi amat buruk. Berlubang-lubang dan berbatu-batu. Ranni mengemudikan mobil dengan sangat hati-hati. “Seharusnya dekat-dekat sini ada persimpangan jalan,” kata Mike. “Oh, itu dia. Kita membelok ke kiri, Ranni.” “Syukurlah,” sahut Ranni. “Kalau harus pilih yang ke kanan, mobil ini takkan bisa lewat. Jalannya sempit sekali!” Benar. Yang ke kanan cuma semacam jalan pedati yang nampaknya sudah lama tak dipakai hingga rimbun tertutup oleh semak-semak. Peggy menunjuk ke kejauhan, kira-kira berjarak setengah kilometer dari tempat mereka. “Lihat,” ucapnya. “Sejenis rumah kecil. Banyak sekali. Bu, mungkinkah itu peninggalan desa Bulan? Mengapa jadi rusak begitu ya?” “Mana aku tahu, Peggy?” sahut ibunya. “Mungkin penduduknya tak kerasan tinggal di tempat yang begitu sepi dan terpencil, lalu pergi ke tempat lain.” “Wah, banyak atap,” lanjut Peggy. “Berserakan di tanah. Aku jadi ingin berjalan-jalan melihat keadaan desa kuno yang sudah rusak ini. Pasti asyik!” “Itu sih tergantung selera orang,” Nyonya Arnold berkomentar. “Aku lebih suka mengerjakan hal lain daripada menjelajah desa tua yang bau dan tak berpenghuni!” “Memangnya kenapa kok bau?” tanya Peggy. Pada saat itu mobil terguncang-guncang sangat keras karena jalannya rusak luar biasa. Nyonya Arnold ngeri, kuatir per mobil itu patah. Tetapi Ranni segera meyakinkan beliau bahwa mobil yang mereka tumpangi sangat kuat. “Mobil buatan Baronia sengaja dibuat untuk menghadapi daerah semacam mi, Nyonya,” ujarnya. “Percayalah - pernya takkan patah. Sebentar lagi kita pasti sampai ke kastil. Tuh dia, kulihat di sebelah sana ada bukit. Pasti di situlah letak kastilnya.” Semua segera melihatke bukit yang ditunjukkan Ranni. Bukit itu terjal sekali. Lerengnya ditumbuhi pepohonan. Mendadak Jack berseru, “Itu dia kastilnya! Di puncak—ya, hampir di puncak bukit letaknya! Wah, dibangunnya agak ke tengah. Kurasa untuk menghindari angin. Lihatlah menaranya! Astaga - tinggi benar! Tingginya melebihi tinggi bukit. Kok cuma satu menaranya, ya? Aneh!” “Meskipun cuma punya satu menara, bentuknya masih mirip kastil kok!” komentar Nora. “Menurutku kastil itu gaya - lihat macam-macam bentuk menara kecil di sekeliling bagian atasnya. Pemandangan dari situ ke daerah sekitar tentu bagus - tapi, kalau harus hidup di situ selamanya, bosan juga mungkin!” “Kastilnya cukup anggun untuk orang tuamu, Paul,” kata Jack “Maksudku, kastil itu kastil beneran - besar, kokoh, dan kelihatannya berwibawa. Kau tahu maksudku, kan?" Ya, Paul tahu yang dimaksudkan Jack. Melihat bentuk luarnya Paul agak terpesona. Lagi pula, pemandangan di sekelilingnya sangat mencerminkan negeri Inggris. Paul tahu, ibunya pasti senang melihat kota mungil terdekat - Bolingblow beserta pasar, pertokoan, ladang jagung, dan juga penduduknya yang masih lugu. “Anggun atau tidak, kalau perabotannya jelek juga tak ada gunanya dilihat,” komentar Nyortya Arnold. “Kurasa, perabotannya pasti sudah usang dan patah-patah! Kita lihat saja nanti. Toh, tak lama lagi kita sampai.” Saat ini mobil mendaki bukit yang terjal. Ranni menggunakan perseneling satu, dan mobil yang Ia kendarai merambat naik makin tinggi ke lereng bukit. Jalannya berkelok-kelok. Sengaja dibuat demikian agar lebih mudah mendakinya. Makin dekat kastilnya semakin kelihatan besar dan kokoh. “Kastilnya memperhatikan kita!” mendadak Nora berkata. “Kastil itu bilang, Bunyi bising apa yang datang mengganggu mimpiku ini?” Peggy jadi merasa tak enak. “Kau ada-ada saja, Nora. Astaga - gaya benar kastil itu! Tinggi, dan menaranya yang cuma satu menjulang sampai ke langit. Aku suka kastil itu. Nampak benar dia merupakan peninggalan bangsawan zaman dulu!” Mereka sampai ke pintu gerbang raksasa. Kedua pintunya tertutup. Jack melompat turun hendak membuka. Ranni kuatir pintu gerbang itu digembok. Nyatanya tidak. Walaupun dengan suara berderit bagaikan enggan disentuh, akhirnya pintu itu terbuka. Mobil Paul melintas masuk. Ada tangga lebar tinggi menuju ke sebuah pintu. Pintunya besar berpaku-paku. “Nah, kita sudah sampai,” ujar Nyonya Arnold. Nada suaranya seperti kurang suka mereka berada di situ! Nyonya Arnold turun dari mobil. Paul membantunya dengan sopan. Ranni lari naik tangga hendak mengetuk pintu atau membunyikan bel. Ada rantai panjang tergantung. Di ujungnya terdapat bandul dari besi. “Itukah belnya?” tanya Mike ragu. “Tak ada pengetuk pintunya. Bu, lihat - banyak sarang labah-labah di pintu ini. Kelihatannya sudah bertahun-tahun pintu ini tak pernah dibuka.” “Benar,” sahut Nyonya Arnold. Beliau mulai membayang-bayangkan pemandangan macam apa yang hendak mereka lihat di bagian dalam kastil itu. “Bagaimana kalau kutarik saja rantai besi ini? Mudah-mudahan belnya berbunyi,” ucap Mike. “Wah, betul—ini memang bel.” Mike menggoyangkan rantai raksasa tadi. Tetapi, tak ada yang kedengaran. Mike menarik lagi. Tapi, hasilnya sama saja. Lalu Ranni mencoba menariknya dengan tenaga sangat kuat. Tiba-tiba saja rantai itu jatuh dan menimpa bahunya! Dengan kesal Ranni melemparkannya jauh-jauh. “Sudah karatan sih,” kata Ranni. “Akan kucoba menggedor pintunya.” Dengan tinjunya yang kuat, Ranni menggedor pintu sambil berteriak-teriak. Suaranya bergema dan kembali kedengaran oleh mereka hingga semuanya terkejut bukan main. Tak seorang pun datang. Pintunya tetap terkunci rapat. “Yah,” keluh Nyonya Arnold. “Ini namanya betul-betul mengecewakan. Kukira kita mesti menyerah sekarang.” “Jarngan dulu, Bu! Masa begitu cepat putus asa. Kita kan baru sampai ke pintu depannya!” Mike kaget mendengar keputusan ibunya. “Kita berkeliling, yuk - siapa tahu ada pintu lain lagi - pintu belakang, mungkin. Biasanya bagaimana? Apakah kastil juga punya pintu belakang, Paul?” “Wah, banyak” Paul nyengir. “Kita ke sana saja. Kelihatannya ada jalan setapak yang pernah dilewati orang.” Mereka mengikuti Paul. Nyonya Arnold enggan mencoba masuk lewat jalan lain. Beliau sudah memutuskan bahwa kastil itu tak mungkin disewa untuk orang tua Paul. Tetapi Nyonya Arnold tahu anak-anak keras kepala. Kalau ia bersikeras supaya mereka kembali ke mobil, anak-anak bisa ribut. Jalan setapak yang mereka lalui pun nampaknya sudah lama tak dilewati orang. Di sana-sini tertutup oleh semak-semak. Mereka sampai ke sebuah pintu kecil - tetapi pintu ini pun tak punya alat pengetuk, bel, atau bahkan pegangan. Mereka meneruskan perjalanan. Tiba-tiba terlihat semacam tempat terbuka. “Lihat,” ujar Peggy sambil berhenti melangkah. “Ada cucian dijemur! Jadi, pasti di sini ada orang! Benar! Di sebelah sana ada pintu cukup besar untuk masuk ke tempat jemuran. Dan dapur rupanya. Kalau kita berteriak dan sini, tentu ada yang mendengar.” Langsung Mike berteriak dengan suara lantang. Yang lain kaget dibuatnya. “He! Ada orangkah di dalam?” teriaknya. Tidak terdengar jawaban. Beberapa ekor ayam terbirit-birit melintas di halaman, lalu menyelinap ke balik semak-semak Seekor tikus juga berbuat demikian. “He!”teriak Mike sekali lagi. Tapi kali ini. Ia segera menghentikan teriakannya. Seseorang keluar dari pintu besar yang menuju halaman tanpa menimbulkan suara sama sekali. Orang itu perempuan. Badannya gemuk dan berambut keputihan. Di belakangnya menyusul dua orang. Keduanya berwajah mirip dengan perempuan tadi. Bedanya mereka tinggi semampai. Ketiga orang itu memandangi tamu mereka dengan wajah kaget. “Mau apa?” tanya perempuan yang gemuk. Suaranya ketakutan. “Siapa kalian? Mau apa kemari? Tempat ini bukan tempat umum, tahu?” 4. DI DALAM KASTIL NYONYA Arnold melangkah maju. Di tangannya terpegang surat penawaran yang Ia terima. “Kami datang hendak melihat-lihat kastil ini,” ujarnya. “Bolehkah kami melihat-lihat sekarang, Bu? Kami hendak memberi kabar lebih dulu, tapi tak bisa menelepon kemari. Di sini tak ada telepon, kan?” “Wah - tapi tak ada seorang pun yang diperkenankan melihat-lihat kastil ini,” sahut perempuan tadi. Kedua orang yang menemaninya mengangguk-anggukkan kepala. “Kami bukan cuma sekadar ingin melihat-lihat,” lanjut Nyonya Arnold. “Kami mempunyai surat pengantar dari agen penyewaan rumah. Katanya, kalau kami ingin melihat-lihat bisa datang sewaktu-waktu, asal membawa surat pengantarnya. Surat pengantar ini saya terima bersama-sama dengan surat penawaran yang berisi keterangan lengkap mengenai kastil ini. Ada teman kami yang ingin menyewa. Mungkin tempat ini cocok untuk mereka. Mereka ingin tinggal di sini kira-kira sebulan dua bulan lamanya.” “Tapi, putraku kebetulan sedang pergi,” sahut perempuan tadi dengan terperanjat. “Dia berpesan supaya kami tak membiarkan seorang pun masuk. Belum pernah ada orang yang datang hendak melihat karena ingin membeli atau menyewa tempat ini. Sungguh belum pernah ada. Aku bingung jadinya. Aku tak tahu apakah boleh menyilakan kalian masuk atau tidak.” “Kami datang dari tempat yang jauh, Bu - khusus untuk melihat-lihat kastil ini,” Nyonya Arnold menentang. “Kalau sampai tak dibolehkan masuk, namanya keterlaluan! Seandainya Ibu benar-benar melarang orang yang datang hendak menyewa tempat ini masuk melihat-lihat, aku yakin pemilik kastil ini akan marah. Gara-gara sikap Ibu yang begini, bisa-bisa pemiliknya tak jadi dapat uang banyak Anda mengerti maksudku, bukan? Putra lbu tak ada hubungannya dengan masalah ini! Mungkin dia cuma melaksanakan perintah!” “Pokoknya, dia bilang kami tak boleh membiarkan siapa pun masuk,” perempuan tadi berkata lagi, lalu memalingkan muka kepada kedua orang yang menemaninya. Ia kelihatan bingung, tak tahu harus berbuat apa. Ketiganya berbincang-bincang dengan suara berbisik. Dengan tak sabar anak-anak dan Nyonya Arnold menunggu. Bodoh amat perempuan-perempuan itu! Akhirnya si perempuan yang tua berbalik menghadapi mereka lagi. “Wah, aku benar-benar tak tahu apa yang akan dikatakan putraku,” katanya lagi. “Tapi, kurasa kami harus memberi izin kalian masuk. Kami bertiga bertugas merawat tempat ini. Kedua orang ini adalah adikku.” “Betul, Bu - Anda memang harus memberi izin kami masuk dan sekalian menunjukkan jalan berkeliling kastil,” ujar Nyonya Arnold. Suaranya tegas. “Apa kerja putra Ibu di sini? Apakah dia ikut memelihara tempat ini juga?” “Oh, tidak. Putraku orangnya pintar, pintar sekali,” sahut si perempuan dengan bangga. “Dia seorang ilmuwan. Berbagai gelar kesarjanaan pernah ia dapatkan.” “Kalau benar dia seorang ilmuwan, mengapa dia mengurung diri di sini?” tanya Nyonya Arnold. Ia berpendapat bahwa anak yang disebut-sebut perempuan tua itu pasti manja - kerjanya bermalas-malasan dilayani oleh tiga perempuan di kastil yang mewah. “Dia bekerja,” sahut perempuan itu lagi dengan bangga. “Pekerjaannya sangat penting. Dia perlu tempat yang tenang dan sunyi untuk mengerjakannya. Aku tak tahu bagaimana sikapnya kalau dia tahu bakal ada orang yang datang dan tinggal di sini." “Apa yang dikatakan putra Ibu sama sekali tak ada kepentingannya,” Nyonya Arnold mulai jengkel. “Kastil ini bukan kepunyaannya. Kalau sikapnya selalu begini kepada setiap orang yang datang hendak melihat-lihat kastil ini, lambat laun pasti Anda bisa dipecat gara-gara dia! Sudah. Sekarang jangan sebut-sebut lagi putra Ibu, tapi antar kami berkeliling dengan segera!” “Baik, Nyonya,” sahut perempuan tua itu. Wajahnya ketakutan. Adik-adiknya diam saja, mengikuti mereka dari belakang. Keduanya berwajah masam. “Siapa nama Anda?”tanya Nyonya Arnold ketika mereka melintasi sebuah serambi. “Nyonya Brimming. Adikku Nona Edie Lots dan Nona Hannah Lots,” sahut perempuan bertubuh pendek tadi. “Maaf, apakah teman Anda yang ingin menyewa kastil ini hendak menempati seluruh bagian kastil ini?” “Tentu saja,” sahut Nyonya Arnold. “kecuali tempat yang Anda tinggali di bagian belakang, tentunya. Mengapa?” Nyonya Brimming tidak menyahut. Ia melontarkan pandangan dengan cepat kepada dua orang adiknya. Anak-anak tak sabar. Rasanya Nyonya Brimming kelewat lamban menunjukkan bagian-bagian kastil kepada mereka. Mereka sampai ke sebuah ruangan luas. Jendela-jendelanya bertirai mewah dari bahan renda. Beberapa baju baja kuno nampak mengkilap di sekeliling ruangan. Paul memukul sebuah, bunyinya mendengung. “Aku kepingin mengenakan ini!” katanya. “Topinya akan kutarik hingga menutupi wajah.” “Kau sih terlalu kecil untuk mengenakan pakaian macam begini, Paul,” komentar Jack. “Kalau aku, nah - baru cukupan.” Nyonya Arnold menangkap sinar ketakutan pada wajah Nyonya Brimming. "Tenang saja! Anak-anak ini cuma bercanda. Mereka takkan berani berkeliaran mengenakan pakaian baja seperti itu. Bukan main bagusnya ruangan ini!” “Memang,” sahut Nyonya Brimming sambil mengajak mereka ke sebuah pintu besar. Pintu itu ia buka. Di bagian dalamnya tampak sebuah ruangan indah berperabotan anggun. Warna bantalan-bantalan di situ biru - agak pudar karena sudah tua umurnya. Lantainya di alas karpet. Karpetnya pun sudah agak pudar warnanya. Motifnya indah, dengan warna biru, merah, dan coklat muda. Kaki anak-anak serasa terbungkus oleh karpet ketika mereka lewat di atasnya. “Ibuku pasti sangat menyukai ini,” kata Paul mendadak. “Oh, lihatlah lonceng itu.” Sebuah jam dinding besar tergantung di dinding. Bentuknya seperti gereja - ada menaranya. Sementara anak-anak asyik memperhatikannya, jam itu berdentang tiga kali. “Wah, ada bidadari keluar dari pintunya sewaktu jam itu berbunyi,” kata Peggy. “Bidadari mungil bersayap, membawa terompet!” “Belum pernah aku melihat jam seperti itu!” Nora berkata kagum. “Banyak benda-benda antik di sini,” kata Nyonya Brimming. “Bangsawan bernama Bulan yang tinggal di sini pada akhir abad yang lalu punya kegemaran mengumpulkan barang-barang aneh dari seluruh penjuru dunia. Ada sebuah kotak musik yang bisa menyanyikan lebih dari seratus judul lagu, dan -” “Oh! Di mana benda itu?” seru Peggy kegirangan. Nyonya Arnold melirik arlojinya untuk melihat seluruh kastil saja sudah tak ada waktu - apalagi untuk mendengarkan musik! “Kau boleh mendengarkan seluruh lagu yang bisa dinyanyikan kotak musik itu kelak, kalau kita tinggal di sini,” kata Nyonya Arnold. “Sekarang kita harus cepat-cepat. Bagaimana kalau Anda segera menunjukkan semua kamar yang ada, kecuali kamar di bagian yang Anda tinggali, Nyonya Brimming? Temanku yang ingin menyewa tempat ini adalah Permaisuri Kerajaan Banonia. Dia akan membawa banyak pelayan. Tentunya mereka akan memerlukan dapur pula.” “Oh!” Nampaknya Nyonya Brimming hendak mengatakan sekali lagi, bahwa Ia tak tahu apa yang hendak dikatakan putranya jika Ia tahu nanti! “Dapur-dapurnya cukup besar. Kami cuma menggunakan bagian pojoknya saat ini. Mari, kuantar Anda ke kamar-kamar lainnya, lalu naik ke loteng.” Semua kamarnya indah. Begitu pula kamar-kamar yang terdapat di atas. Perabotannya semua anggun. Dindingnya dihiasi lukisan indah atau hiasan dinding lain yang unik. Yang sangat mengagumkan adalah tirainya. Beberapa kamar bertiraikan bahan indah keemasan. Begitu indah dan berkilauan hingga Peggy berpikir tirai jendela itu terbuat dari kain emas! Tak sebuah perabot pun kelihatan rusak atau disarangi labah-Iabah. Semua bersih dan rapi. Sebutir debu pun tak tampak menempel pada benda-benda yang ada di situ. Walaupun orangnya aneh-aneh, rupanya ketiga kakak-beradik itu merawat isi kastil dengan teliti dan dengan penuh rasa sayang. Di loteng ada sebuah ruangan yang dindingnya digantungi rak penuh dengan buku berjajar-jajar. Melihat ini anak-anak sangat heran. Belum pernah mereka melihat ada buku sebanyak itu di rumah biasa. Yang mereka tahu cuma perpustakaan umum yang mempunyai koleksi buku begitu banyak! “Bukan main!” komentar Mike sambil memandang buku-buku yang ada di situ. “Asyik kalau bersantai di sini jika hari hujan! Diberi waktu berapa pun banyaknya, tak mungkin kita bisa menamatkan buku sebanyak ini” “Buku-buku kuno semua,” ucap Jack. “Kurasa isinya kurang menarik. Buang-buang uang saja - buku sebanyak ini tak pernah dibaca!” “Putraku sering membaca buku-buku itu,” dengan bangga Nyonya Brimming nyeletuk. Tak seorang pun berkomentar. Semua bosan mendengar cerita mengenai putra Nyonya Brimming! Di lantai ketiga terdapat ruangan bawah atap yang dipergunakan sebagai gudang. Di situ tersimpan berbagai perabot tua serta berbagai jenis barang lain yang sudah tidak dipakai. “Kurasa teman yang hendak menyewa tempat ini tak memerlukan ruangan bawah atap ini,” Nyonya Arnold berkata. Sejak tadi Ia sibuk menghitung berapa buah kamar yang ada di Kastil Bulan. “Lantai dasar dan lantai di atasnya sudah cukup. Wah, barang-barang di sini terawat baik sekali rupanya? Apakah semua ini hasil kerja Anda bersama adik-adik Anda—ataukah ada orang lain lagi yang datang membantu?” “Tidak ada,” dengan bangga Nyonya Brimming berkata. Sementara itu kedua adiknya menggeleng-gelengkan kepala. Mereka turun ke bawah, hendak melihat salah satu kamar yang ada di sana. “Sudah bertahun-tahun kami hidup sendiri di sini. Kami sangat cinta akan kastil kuno ini. Nenek moyang kami dari dulu juga di sini - mengerjakan hal yang sama. Itu adalah nenek moyang bangsawan pemilik kastil ini,” ujarnya sambil menunjuk sebuah lukisan. “Ketika beliau menguasal kastil ini, nenek moyang kami mulai mengabdi di sini.” Anak-anak memandang lukisan besar yang tergantung di atas perapian dalam ruangan tempat mereka berada saat itu. Wajah bangsawan dalam lukisan itu kelihatan seram. Rambutnya terjurai sebagian sampai ke dahi. Matanya tajam memandang mereka. “Rupanya dia kurang menyukai kita,” komentar Peggy. “Wajahnya menyeramkan, dan pandangannya menakutkan, Kalau kita jadi tinggal di sini, aku takkan mau masuk kamar ini. Rasanya tak enak dipandang begini oleh nenek moyang bangsawan itu!” Yang lain jadi tertawa. Mendadak terpikir oleh Mike sesuatu. “He, kita belum melihat ke puncak menara - menara besar yang cuma satu-satunya itu! kita harus melihatnya!” Hening. Nyonya Brimming memandang adik-adiknya. Mereka balik memandang si kakak. Tak seorang pun mengatakan sesuatu. “Bagaimana?” Mike bertanya lagi. la kaget karena suasana menjadi begitu hening. “Tak bolehkah kami melihat-lihat menaranya? Ibumu pasti senang duduk-duduk di menara, Paul - menikmati pemandangan indah di sekitar sini. Aku yakin pemandangan indah sekali dilihat dari atas sana. Kita ke sana, yuk!” “Pergilah kalian! Aku akan tinggal di sini, memperbincangkan sesuatu dengan ibu-ibu ini,” kata Nyonya Arnold. Ia malas naik tangga begitu tinggi. “Keadaan menaranya bagus kan, Nyonya Brimming?” “Tentu, Nyonya,” sahut Nyonya Brimming setelah terdiam beberapa saat. “Tak ada yang bagus untuk dilihat di sana sebetulnya. Aku yakin teman Anda takkan ingin menggunakan menara itu. Tangganya terlalu tinggi. Di atas cuma ada ruangan-ruangan kecil berdinding batu dengan jendela yang kecil-kecil pula. Sungguh-sungguh tak ada gunanya!” “Menara itu terkunci,” kata adik Nyonya Brimming secara tak diduga-cluga. “Terkunci rapat.” “Kuncinya di mana?" tanya Mike segera. Ia tak mau kehilangan kesempatan melihat-lihat menara itu! Hening lagi. “Hilang,” jawab adik Nyonya Brimming lagi. “Sudah bertahun-tahun lamanya kunci itu hilang,” kata yang satu lagi. “Tapi, toh tak ada yang bagus buat dilihat di sana.” “Paling tidak, pemandangannya bagus dari situ!” ujar Mike heran. Ia tak percaya akan cerita tentang kunci yang hilang ini. Mengapa ketiga perawat kastil ini tak pernah punya keinginan untuk melihat-lihat menaranya? Mungkin sudah lama menara itu tak pernah dirawat! “Kunci itu harus ketemu sebelum temanku datang,” kata Nyonya Arnold. “Aku yakin temanku ingin menyaksikan pemandangan dari puncak menara. Sekarang aku ingin menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan makanan dan sejenisnya. Bermainlah sesuka kalian, anak-anak! Dua puluh menit! Tapi ingat - jangan bikin ribut!” “Tentu saja!” sahut Peggy, jengkel. “Ayo, Mike.” Dengan suara berbisik ia menambahkan, “Kita lihat menara, yuk!” 5. ORANG TAK RAMAH MEREKA keluar dari ruangan tempat Nyonya Arnold dan ketiga perawat kastil berbincang-bincang. Pintu mereka tutupkan kembali. Keluar dari ruangan tadi, anak-anak berada di ruangan luas tempat baju-baju baja yang berkilauan. Peggy merinding. “Sekarang rasanya aku diperhatikan oleh baju-baju baja ini!” katanya. “Adik-adik Nyonya Brimming membuat aku takut. Keluarga aneh ya, mereka itu!” “Yang paling aneh, anak laki-laki Nyonya Brimming,” sahut Mike. “Rasanya aku takkan bisa menyukai orang itu. Tapi, wah - hebat juga kastil ini! Bagaimana menurutmu, Paul - kau suka kastil ini?” “Sangat suka,” jawab Pangeran Paul dengan mata bersinar-sinar. “lbuku pasti juga suka. Adik-adikku juga, tentunya. Di samping itu kamarnya cukup banyak! Wah, kita bisa bersuka ria!” “Di mana pintu masuk ke menara itu ya?”tanya Jack “Menaranya terletak di sebelah timur kastil. Jadi, letak pintunya pasti di sekitar sini. Ayo!” Semua mengikuti Jack. Jack membawa mereka lewat sebuah lorong gelap. Dinding-dindingnya digantungi semacam permadani. Tapi, karena gelap jadi tak begitu kelihatan. “Sayang aku tak bawa senter,” ujar Mike. “Kalau kita jadi ke sini, jangan lupa bawa senter dan baterai sebanyak-banyaknya. Kelihatannya banyak lampu minyak di sini. Tapi rupanya tak semua dipasang kalau malam!” Mereka sampai di ujung lorong, di sebuah ruangan persegi berukuran kecil. Dindingnya penuh dengan deretan laci kuno. Mike membuka sebuah, menengok isinya. Bau kapur barus mendadak menyengat hidung mereka. Nora tak bisa menahan - ia bersin. “Permadani dan tirai-tirai tua mungkin,” kata Mike sembari mendorong kembali laci tadi dengan keras. “Ketiga orang itu benar-benar merawat baik isi kastil ini! Bagaimana dengan menaranya, ya?” “Nampaknya tak ada jalan masuk dari sini,” kata Jack, melihat berkeliling. Ia menghampiri sebuah permadani yang tergantung di dinding, dari langit-langit hingga ke lantai. Permadani itu menutupi bagian dinding ruangan yang tidak berlaci-laci. Di gesernya permadani penghias dinding tadi, lalu melihat ke baliknya. Mendadak ia berteriak. “He, ini dia pintu menaranya - aku yakin pintu ini menuju menara.” Yang lain berkerumun ingin melihat. Pintunya sempit dan tinggi. Warnanya hitam dan kelihatan kuat walaupun sudah sangat kuno. Ada pegangan terbuat dari besi hitam berbentuk gelang dan sebuah lubang kunci berukuran raksasa. Mike menggerak-gerakkan pegangan pintunya. Terdengar selotnya berbunyi, tetapi pintu itu tetap tak mau membuka, walaupun sudah didorong kuat-kuat sekalipun. “Dikunci,” ucapnya kecewa. “Dan tak ada kuncinya. Kau percaya bahwa kuncinya hilang, Jack?” “Tidak,” sahut Jack. “Kurasa itu cuma alasan. Mereka tak mau kita menggunakan menara ini. Menurutku anak Nyonya Brimming yang menggunakan tempat itu - dipakai menyendiri, jauh dari ibu dan adik-adik ibunya!” “Mungkin dia sedang mengerjakan pekerjaan ilmiah yang penting,” kata Mike sambil nyengir. “Atau bermalas-malasan tanpa ketahuan orang. Aku jadi kepingin tahu kayak apa rupanya. Orang itu pasti tak suka disingkirkan dari tempatnya kalau ibumu datang nanti, Paul. Ya, dia akan terpaksa sekali mengosongkan menara ini. Dengan begitu, kita bisa bebas menikmati pemandangan!” Jack ganti memegang engsel pintu. Ia mencoba mengguncang-guncang sambil mendorong pintu itu kuat-kuat. Tepat ketika itu terdengar langkah orang di lorong yang menuju ruangan kecil tempat anak-anak berada. Anak-anak menoleh, melihat siapa yang datang. Tangan Jack masih memegang pegangan pintu. Seorang lelaki masuk ke situ. Ia mendadak berhenti ketika melihat anak-anak. Dipandanginya mereka dengan keheranan. Tubuhnya pendek, gemuk, dan kulitnya berwarna gelap. Matanya hitam, hidungnya besar, dan bibirnya tipis. Jelek sekali rupanya. Orang itu berteriak keras-keras. “Sedang apa kalian di sini? Berani ya kalian masuk seenaknya kemari? Keluar! Cepat keluar! Lepaskan pintu itu! Pintu itu terkunci. Kalian tak berhak keluyuran di kastilku!” Anak-anak terkesiap. Kastilnya? Apa maksud orang mi? “Ini kastil Lord Moon!” ucap Jack, satu-satunya yang merasa bisa menjawab lelaki yang sedang marah itu. “Apakah kau Lord Moon itu?” “Tak peduli siapa aku!” sahut lelaki tadi, kaget mendengar kata-kata Jack. “Kalian kusuruh keluar. Bagaimana kalian bisa masuk? Tak seorang pun diizinkan masuk kemari! Tak seorang pun!” “Ibuku, Permaisuri Kerajaan Baronia hendak menyewa kastil ini dari pemiliknya,” ujar Pangeran Paul dengan logat yang sering membikin teman-temannya geli. Kali ini mereka tidak tertawa. Mereka malah senang Paul bersikap begitu! Lelaki itu memandang Paul dengan sangat keheranan. Alis matanya menyatu hingga membentuk satu garis. “Cerita apa pula ini?” tanyanya mendadak. “Permaisuri Kerajaan Baronia? Belum pernah aku mendengar namanya! Keluar - sudah kukatakan, keluar kalian semua! Kalau kalian berani-berani kemari lagi, akan kubawa kalian ke puncak menara dan kulemparkan dari sana!” “Tak usah takut,” kata Jack melihat Nora dan Peggy ketakutan. “Nampaknya kau memang berniat naik ke atas melakukan hal itu. Tak usah susah-susah membawa kami ke sana. Kasih tahu saja di mana kuncinya - kami akan naik sendiri. Ibu temanku pasti ingin tahu bagaimana keadaan menara kastil ini. Mana kuncinya!" Lelaki tadi betul-betul kehabisan kesabaran. Sambil menggumamkan sesuatu, ia mengayunkan tangan menghampiri anak-anak. Nora dan Peggy langsung lari ke lorong. Anak laki-laki bertahan sebentar, tetapi akhirnya mereka lari juga! Lelaki itu kuat. Nampaknya dengan mudah ia bisa merobohkan mereka bertiga. Melihat anak-anak lari, Ia lalu mengejar. Anak-anak lari kencang di lorong, masuk ke ruangan besar, dan membuka pintu tempat Nyonya Arnold mengobrol dengan ketiga perempuan perawat kastil. “Astaga!” ucap Nyonya Arnold, jengkel melihat kelakukan anak-anak yang geradag-gerudug. “Sudah kukatakan...” Di belakang anak-anak tampak seorang lelaki memaki-maki. Lelaki itu berhenti di pintu, terperanjat. Lalu Ia nyelonong masuk - menyapa ibunya. “Ada apa sih? Anak-anak ini kutangkap sedang memata-matai kastil. Lalu, siapa pula perempuan ini?” “Guy, tenangkan dirimu,” ucap Nyonya Brimming. Suaranya gemetar. “Nyonya ini membawa surat pengantar untuk melihat-lihat. Teman beliau, Permaisuri Kerajaan Baronia, berminat menyewa tempat ini. Untuk itulah Myonya ini datang kemari. Anak-anak itu adalah putra-putri beliau. Dan yang satu ini - putra sang permaisuri sendiri - Pangeran Paul namanya. Sudahlah, jangan ribut-ribut. Mereka berhak berada di sini!” “Kan sudah kukatakan supaya Ibu tak membiarkan siapa pun masuk?” bentak anaknya. “Mereka mau menyewa? Aku tak percaya sedikit pun.” Nyonya Arnold merasa tak enak. Aneh benar lelaki satu ini! Kepada Mike ia berkata, “Panggil Ranni.” Mike lari ke luar, menuju ke pintu depan yang besar itu. Tadi Ranni tinggal di mobil dekat tangga yang menuju ke pintu itu. Mudah-mudahan saja Ranni masih menunggu di sana! Pmntu depan ternyata dikunci rapat. Ada dua selot dan dua kunci besar tergantung. Mike membuka selotnya lalu dengan susah memutar anak kuncmnya. Dengan suara ribut akhirnya pintu itu terbuka. Ranni masih di halaman, berdiri dengan sabar di samping mobil. Segera terlihat olehnya Mike. Ia menghampiri anak itu dengan berlari-lari menaiki tangga. Ada ekspresi tertentu pada wajah anak itu yang membuat Ranni merasa dibutuhkan dengan segera. “Ibu memanggilmu, Ranni,” kata Mike lalu lari masuk ke ruangan tadi. Ranni yang bertubuh tinggi besar dan kekar mengikuti Mike. Sepatunya membuat suara ribut di lantai marmer. Guy, anak lelaki Nyonya Brimming yang sedang ketakutan, sedang meneliti surat pengantar yang dibawa Nyonya Arnold. Ia merebut surat itu dengan kasar dan Nyonya Arnold ketika beliau hendak menunjukkan surat itu kepadanya untuk membuktikan bahwa apa yang dikatakan Nyonya Brimming adalah benar. Wajahnya cemberut - seolah siap meledak setiap saat. “Mengapa Anda tidak menulis surat dulu mengabarkan kedatangan Anda?” tanyanya. “Tak seorang pun diperkenankan masuk kemari tanpa membuat janji lebih dulu! Di samping itu, perlu rupanya Anda diberi tahu bahwa sudah bertahun tahu tak pernah ada seorang pun yang menyewa kastil ini. Bukan cuma bertahun-tahun - Aku bahkan tak bisa -” "Anda memanggilku, Nyonya?” sela Ranni dengan suara dalam berwibawa. Guy mengangkat kepala dengan segera. Kaget benar ia melihat lelaki kekar berdiri di samping Nyonya Arnold. “Betul, Ranni,” sahut Nyonya Arnold. “Aku sudah memeriksa dan melihat-lihat keadaan kastil ini. Menurutku, Yang Mulia Raja dan Permaisuri Baronia pasti berkenan menyewa kastil ini. Tuan ini putra salah seorang penjaga dari perawat di sini. Kelihatannya Ia kurang suka melihat kedatangan kita. Menurutmu, kira-kira Raja dan Permaisuri akan mengizinkan dia tetap tinggal di sini atau tidak ya? Setahuku, beliau akan membawa pelayan sendiri.” Ranni tahu jawaban apa yang saat itu diharapkan Nyonya Arnold. Dipandangnya Guy dengan rasa tak suka. Dengan mengangguk hormat kepada Nyonya Arnold, Ranni berkata keras, “Nyonya, kurasa Anda tahu keinginan Raja dan Permaisuri. Beliau pasti takkan mengizinkan siapa pun tinggal di sini selain penjaga kastil. Akan kusampaikan pesan rajaku kepada lelaki itu. Dia tak berhak tinggal di sini atau mengemukakan keberatan apa pun.” Anak-anak memandang Guy dengan rasa menang. Untung ada Ranni! Nyonya Brimming terkesiap. “Tapi, dia anakku. Dari dulu dia tinggal bersamaku di sini. Bukan maksudnya bersikap kasar. Dia cuma...” “Sudahlah. Kukira tak ada gunanya kite memperbincangkan hal itu lagi,” ucap Nyonya. Arnold. “Putra Anda harus meninggalkan tempat ini kalau Raja dan Permaisuri Baronia datang menyewa kastil ini. Nampaknya putra Ibu merasa kastil ini kepunyaannya!” Wajah Guy merah padam. Ia melangkah maju sambil membuka mulut. Tak seorang pun tahu apa yang hendak dikatakan lelaki itu, sebab pada saat yang sama Ranni pun maju. Itu sudah cukup! Melihat lelaki perkasa berjenggot merah menyala dan mata memandang tajam. Guy dengan cepat mengubah sikapnya. la menggumamkan sesuatu dengan nada marah, lalu berbalik meninggalkan ruangan. “Kami hendak pamit sekarang,” kata Nyonya Arnold, memungut surat pengantar yang dicampakkan Guy ke atas meja. “Aku akan menghubungi agen penyewaan dengan segera dan meminta mereka menghubungi pemilik kastil ini. Seperti sudah kukatakan tadi, Nyonya Brimming, temanku akan datang kurang lebih sepuluh hari lagi asal persiapannya sudah selesai di sini. Akan kukatakan kepada mereka bahwa kastil ini terawat baik sekali. Aku yakin pelayan-pelayan mereka akan merawat kastil ini sama baiknya dengan Anda.” “Nyonya, jangan katakan kepada Lord Moon mengenai kelakuan putraku yang kasar,” pinta Nyonya Brimming. Matanya mendadak berkaca-kaca. “Dia membantu kami memelihara kastil ini. Dia tak tahu bahwa akan datang seseorang yang hendak membeli atau menyewa kastil ini.” “Kelakuannya tak bisa dimaafkan, Nyonya Brimming,” ucap Nyonya Arnold. “Aku berjanji takkan membuat Anda atau anak Anda susah asalkan dia pun tak bikin situasi jadi susah. Yang jelas, ia harus pergi dari sini kalau temanku berada di sini nanti. Anda, tentu saja kami harapkan tetap tinggal di sini. Tapi, kami takkan mengizinkan anak Anda atau keluarga Anda lainnya tinggal di sini selama kami menyewa tempat ini. Itu akan kami jadikan syarat dalam transaksi sewa-menyewanya nanti.” Nyonya Arnold berpamitan, lalu berjalan ke pintu depan diikuti anak-anak dan Ranni. Nyonya Brimming dan adik-adiknya tak mengikuti mereka. Ketiganya tetap tinggal di ruangan tadi. Wajah mereka suram dan perasaan mereka tak menentu. Dari sebuah jendela di loteng, sepasang mata mengamati mobil biru keperakan yang meninggalkan halaman kastil. Tak seorang pun - selain Ranni - tahu akan hal itu. Tetapi Ia tak mengatakan apa-apa kepada yang lain. 6. RENCANA SESAMPAINYA di rumah kembali, anak-anak mendapati Kapten Arnold ada di sana. Beliau baru saja kembali dari suatu penerbangan, dan benar-benar gembira bertemu dengan mereka. Peggy dan Nora diangkatnya tinggi-tinggi bergantian. Anak-anak lelaki menggerombol di sekeliling Kapten Arnold, senang bersamanya lagi. “Dan mana saja kalian ini?” tanya Kapten Arnold. “Ketika pulang, aku membayangkan disambut oleh istri dan anak-anak. Nyatanya tak seorang pun ada di rumah, kecuali Dimmy!” “Aku berusaha sebisa-bisanya menyambut kedatangannya,” Dimmy berkata kepada Nyonya Arnold. “Tapi, jangan kuatir - dia baru sepuluh menit yang lalu datangnya! Belum lama menunggu!” Ketika itu jam sudah menunjukkan pukul delapan. Semua merasa lapar. “Nanti kami ceritakan - setelah semua cuci tangan dan duduk rapi di ruang makan,” ujar Nyonya Arnold. “Hari ini banyak benar yang kami alami.” Maka mereka pun menceritakan kepada Kapten Arnold apa sebabnya mereka mengunjungi kastil Bulan. Tak lupa mereka ceritakan pula keindahan, kemegahan, kesunyian serta betapa bagusnya perawatan kastil itu. Juga tentang ketiga wanita yang bekerja sebagai pemelihara kastil dan anak Nyonya Brimming yang sewot. “Wah! Kupikir anak itulah yang selama ini menakut-nakuti orang hingga tak pernah ada yang berani mendekati kastil itu!” ucap kapten Arnold. “Dia ingin dianggap penguasa kastil itu - mengajak teman-temannya sendiri bersenang-senang di sana hingga dia disanjung-sanjung. Seandainya aku jadi pemilik kastil itu, tentu akan kuselidiki mengapa tak ada orang yang mau menyewa selama ini. Pasti ketahuan bahwa anak pelayan itu membawa banyak teman yang tinggal di sana berbulan-bulan! Kedengarannya anak itu tak menyenangkan dan jahat!” “Tapi dia mendadak berubah sikap ketika melihat Ranni,” sahut Mike, nyengir. “Setelah itu dia tak mengucapkan sepatah kata pun.” “Tempatnya indah sekali,” komentar Nyonya Arnold. “Besok pagi akan kutelepon agen penyewaannya. Biar mereka segera menghubungi ayah Paul. Melihat tempatnya, kita bisa masuk setiap saat. Aku bisa memesan makanan dan barang-barang lain yang diperlukan. Di Bolingblow sudah kutanyakan toko apa yang harus kudatangi kalau hendak membeli barang-barang itu.” “Mungkinkah kita sudah mulai berlibur di sana minggu depan?” tanya Paul penuh harap. “Mengapa tidak?” sahut Nyonya Arnold. “Menurutku, keluargamu akan segera terbang kemari, Paul. Mudah-mudahan cuaca bagus musim panas ini! Indah sekali alam di sekitar kastil itu - pemandangannya khas Inggris. Aku yakin ibumu akan menyukainya.” “Apakah kami boleh langsung tinggal bersama kalian begitu keluargamu datang?” tanya Nora, berpaling kepada Paul. “Tidak, tidak,” Nyonya Arnold langsung menjawab. “Tentu saja tidak secepat itu. Mula-mula Paul dulu yang akan bergabung dengan keluarganya. Kita harus memberi waktu kepada keluarga Paul untuk membiasakan diri dengan keadaan kastil itu! Beberapa saat kemudian, barulah kita bergabung.” “Yah, jadinya Paul bisa melihat menaranya lebih dulu daripada kita,” Peggy berkata iri. “Jangan lupa tulis surat menceritakan segalanya ya, Paul. Tentang menara itu - apakah kuncinya sudah ketemu, dan apakah si Guy sudah menyingkir dari sana.” “Orang itu harus pergi,” ucap Nyonya Arnold. “Aku takkan membiarkan ia berkeliaran di sekitar tempat itu. Menurutku orang itu agak kurang waras. Pemelihara kastil yang tiga orang itu pun harus memisahkan diri, tentunya - jangan mengganggu pelayan-pelayan ibu Paul. Mereka sih bisa diatur, asal anak lelaki Nyonya Brimming sudah tak ada di situ. Nampaknya ketiga perempuan itu sangat takut pada Guy.” “Pokoknya, kalau kalian datang, aku akan mengajak kalian melihat-lihat seluruh bagian istana,” Paul berjanji. Dimmy merasa tertarik mendengar kisahnya. Ia tak punya rencana untuk tinggal bersama keluarga Paul di Kastil Bulan, tetapi Paul mengundangnya agar datang mengunjungi mereka paling tidak sehari saja. Paul suka akan Dimmy. Ia lalu berpaling kepada Kapten Arnold. Ada sebuah gagasan muncul di kepalanya. “Pak, Bapak bisa datang juga ke sana? Apakah Bapak sedang cuti?” “Mudah-mudahan bisa,” sahut kapten Arnold sambil menyendok makanan. “Tapi, aku belum terlalu yakin. Siapa tahu aku sibuk dengan pekerjaan baru.” “Pekerjaan apa?” tanya semuanya. Tetapi Kapten Arnold cuma menggeleng. “Aku takkan mengatakan sebelum aku sendiri tahu pasti,” sahutnya. “Mudah-mudahan saja hal itu terjadi setelah kita pulang dari Kastil Bulan.” Nora menguap lebar. Ia berusaha menutupi mulutnya dengan tangan. “Maaf. Aku ngantuk benar. Apalagi setelah makan. Aku kuatir tak bisa makan lebih banyak lagi. Sayang!” “Makanannya takkan mubazir, kok. Aku akan memakannya!” komentar Paul. Mike dan Paul berebut makanan. Akhirnya makanan tumpah di meja. “Sudah kuduga begini akhirnya,” ucáp Dimmy. “Tapi tak apa! Puas rasanya melihat semua piring jadi licin - mencucinya mudah! Nah, sekarang Peggy menguap - Paul juga!” “Nah, pergilah tidur!” kata Nyonya Arnold. “Aku ingin duduk-duduk dengan tenang bersama ayah kalian! Sudah lama aku tak bertemu dengannya.” Kelima anak itu lari ke atas, ke kamar tidur. Semuanya menguap. Mike kepingin ngobrol mengenai Kastil Bulan. Tetapi, Jack dan Paul langsung tertidur begitu kepala mereka menyentuh bantal. Karena itu Mike cuma bisa berbaring diam-diam sambil berpikir. Kastil Bulan! Heran bisa ada kastil seperti itu - kuno, ya, sangat kuno - tetapi begitu terawat - dan penuh dengan benda-benda aneh. Teringat olehnya jam dinding berbentuk gereja yang kalau berbunyi keluar bidadari dari pintunya. Ia tak boleh lupa melihat kotak musik yang katanya bisa menyanyikan seratus lagu yang berbeda, kalau jadi berlibur di sana nanti. Dan, siapa tahu mungkin bisa dicobanya pula pakaian logam di sana? Dan - dan... Tapi, seperti yang lain, kini Mike pun tertidur. Di bawah, Nyonya Arnold duduk, mengobrol dengan suaminya yang sering bepergian jauh. Kapten Arnold adalah salah seorang pilot terbaik di dunia. Sudah berapa kali ia terbang mengelilingi dunia? Wah, sudah tak terhitung lagi! Nyonya Arnold pun seorang pilot. Sudah berkali-kali ía terbang bersama suaminya. Pengetahuannya mengenai pesawat terbang tak kalah banyaknya dengan pengetahuan suaminya. “Pekerjaan baru yang kaukatakan tadi,” ujarnya kepada Kapten Arnold, “Penting sekalikah? Kau mau menceritakan kepadaku?” “Ya,” sahut suaminya. “Menerbangkan sebuah pesawat baru - aneh bentuknya, tetapi bukan main cantiknya! Pesawat itu sungguh-sungguh mengagumkan. Bisa langsung membumbung ke udara dengan kecepatan tinggi, lagi pula naiknya hebat sekali.” “Wah!" komentar Nyonya Arnold. “Jadi, kau akan mendapat tugas mentes pesawat itu? Kapan selesainya? Kau tahu?” “Aku belum tahu kapan pesawat itu akan selesai,” sahut Kapten Arnold. “Tapi, yang kaukatakan benar. Ini memang suatu penerbangan uji coba. Dan kalau aku yang menguji, kau boleh yakin pesawat itu akan kucoba terbang dengan berbagai cara yang paling membahayakan! Kecepatannya - wah, benar-benar menakjubkan! Aku harus mengenakan pakaian khusus serta peralatan macam-macam di kepalaku. Pertama, karena kecepatannya sangat tinggi - lebih tinggi dari kecepatan suara!” “Paling tidak, aku ingin melihat keberangkatanmu,” ucap Nyonya Arnold. “Selama ini aku selalu menjadi dewi keberuntunganmu, kan? ketika sekali saja aku tak mengantarmu berangkat, kau mendapat kecelakaan. Pokoknya, aku harus mengantarmu sampai ke pintu pesawat, kali ini! Ini benar-benar tugas yang penting dan khusus pula!” “Benar kau harus mengantarku,” Kapten Arnold berkata sambil mengetuk-ngetuk pipa rokoknya. “Mudah-mudahan saatnya tidak bersamaan waktunya dengan rencana berlibur di Kastil Bulan bersama keluarga Paul.” “Tapi, kalau memang saatnya bersamaan aku pilih ikut terbang denganmu. Biar saja anak-anak pergi bersama Dimmy,” sahut istrinya. “Ya, rasanya aku harus menyertaimu - supaya kau sukses dalam uji coba ini.” Keduanya masuk ke kamar. Tak lama kemudian suasana rumah pun menjadi hening. Entah berapa banyak orang yang bermimpi mengenai Kastil Bulan pada malam itu? Yang pasti, kelima anak yang tidur di loteng punya mimpi yang sama. Hal itu pula yang pertama-tama terpikir oleh mereka ketika terbangun esok paginya. Mereka mendesak-desak Nyonya Arnold agar segera menelepon agen penyewaan pagi itu juga. Nyonya Arnold berkata, “Aku harus menelepon ibu Paul dulu! Dapat sambungan yang bagus ke Baronia memakan waktu tidak sedikit.” Akhirnya telepon-menelepon pun selesai. Permaisuri setuju sekali. Beliau malah sempat berbicara dengan Paul. Mendengar suara ibunya begitu jelas di telepon, Paul girang bukan buatan. “Paul!” ujar ibunya. “Sebentar lagi kita bisa bertemu. Adik-adikmu sudah tak sabar ingin melihat negeri lnggris - yang begitu mempesona! Nyonya Arnold berbaik hati. Beliau berjanji hendak mengurus segalanya secepat mungkin." Agen penyewaan gembira juga karena akhirnya ada yang mau menyewa kastil Bulan. "Ini adalah yang pertama sejak bertahun-tahun,” mereka berkomentar kepada Nyonya Arnold. “Sukar sekali berusaha menyewakan tempat itu. Beberapa orang pernah kami kirim ke sana untuk melihat-lihat. Tetapi, mereka kembali dengan membawa berbagai cerita yang aneh. Sulit masuk. Atau, mereka merasa dipersulit. kami sendiri kurang tahu apa yang terjadi sebenarnya. Mudah-mudahan permaisuri kerajaan Baronia merasa senang tinggal di sana. Kami gembira mendengar bahwa kastil itu sangat terpelihara. Mungkin, mulai saat ini kami bisa lebih sering menyewakan kastil Bulan.” Nyonya Arnold langsung berpikir bahwa Guy Brimming-lah yang menjadikan segalanya sulit! Ia tak mengatakan apa-apa kepada pengurus kantor agen, tetapi berjanji hendak bersikap keras kepada Guy jika Ia tak mau menyingkir dari sana seperti yang dimintanya! “Ternyata kita tak perlu berhubungan dengan pemiliknya." kata Nyonya Arnold kepada anak-anak. “Rupanya si pemilik telah menyerahkan segalanya kepada agen itu. Mereka diberi hak untuk menilai apakah calon penyewanya dianggap cukup bertanggung jawab dan diberi hak pula untuk menentukan kapan si penyewa boleh mulai masuk. Jadi, telah kuputuskan untuk menyewa kastil itu untuk ibumu, Paul! Kita bisa masuk minggu depan!” “Bagus!” seru Paul gembira. “Tujuh hari lagi! ibuku pasti akan segera memberi tahu ketiga pemelihara kastil itu, mengenai bagaimana Ibu menginginkan makanan dan sebagainya - atau, Andakah yang akan memberi tahu hal itu, Nyonya Arnold?” “Oh, itu tugasku,” kata Nyonya Arnold. “Ketiga perempuan itu pasti kaget melihat bahan makanan datang bertumpuk-tumpuk setiap hari! Mereka pasti bingung di mana hendak ditaruh banang-barang itu semua!” “Mahalkah sewa kastil itu, Bu?” tanya Mike. Ia jadi ingin menyewa kastil juga, kapan-kapan. “Astaga! Tentu saja!” sahut ibunya. “Mengapa kau bertanya, Mike? lngin menyewa? Kalau memang benar begitu, tabung dulu beberapa ribu pound!” “Wow!” komentar Mike. Keinginan untuk menyewa kastil segera lenyap dari kepalanya. “Bu, Ibu akan ikut ke Kastil Bulan, kan? Kedengarannya tadi pagi Ibu mengatakan sesuatu kepada Dimmy - bahwa mungkin lbu takkan bisa ikut,” “Yah, ada kemungkinan ayahmu ingin aku menyertai beliau kalau beliau pergi menunaikan tugas barunya” sahut Nyonya Arnold. “Tapi, aku pasti akan bergabung setelahnya. Seandainya benar aku harus menyertai ayahmu, Dimmy akan menemani kalian ke Kastil Bulan. Itu, kalau waktunya tepat bersamaan. Mudah-mudahan ayahmu cepat tahu kapan beliau harus pergi! Begitu kudengar kabar dari Ayah, kau akan kuberi tahu.” Malam itu Kapten Arnold datang membawa kabar yang mereka tunggu-tunggu. “Beres,” ujar beliau. “Aku harus berangkat minggu depan. Lamanya kira-kira cuma seminggu. Jadi, aku pasti sudah pulang pada saat orang tua Paul mengundang kita berlibur ke Kastil Bulan. Kami akan berada di sana dua minggu lamanya!” “Bagus!” seru Mike. “Paul pasti harus ke sana minggu depan, kalau keluarganya datang. Seminggu kemudian baru kita menyusul. Kukira mereka sudah mapan dalam waktu seminggu.” “Kalau begitu, nikmatilah seminggu ini di sini,” kata Dimmy. “Kalian masih punya waktu seminggu untuk bersenang-senang bersama. Minggu depan, kalian cuma berlima saja denganku!” “Tak bolehkah kami ikut melihat uji cobanya, Yah?” tanya Peggy. “Mengapa?” “Wah, perusahaan yang punya pesawat terbang itu masih merahasiakan hal ini!” sahut ayahnya. “Tak seorang pun diperbolehkan melihat. Tapi kalian tak usah bersedih - rencana kita akan terlaksana semua dalam liburan ini! Aku yakin segalanya akan beres!” Ternyata Kapten Arnold terlalu optimis. Belum sampai minggu berakhir, sudah ada yang kurang beres! 7. DI LUAR DUGAAN YANG pertama terjadi tiga hari kemudian, ketika Nyonya Arnold menerima surat dari Ibu Paul. “Ada kabar apa dari ibuku?” tanya Paul bersemangat. “Kok panjang sekali suratnya, Nyonya Arnold?” “Memang panjang,” sahut Nyonya Arnold. “Wah, seorang adikmu sakit, Paul. Si Boris yang rencananya akan ikut berlibur di Kastil Bulan beberapa hari lagi!” “Oh.” Paul nampak sedih. “Sakit apa dia? Tidak parah, kan?” “Nampaknya tidak. Tapi, ibumu kuatir dia kena campak,” lanjut Nyonya Arnold. “Yah, sayang sekali ya! Adik lelakimu yang satu lagi juga belum pernah kena campak. Jadi, kalau Boris kena, kakaknya harus diawasi juga.Mereka berdua selalu bersama-sama.” “Jadi, ini berarti Ibu takkan bisa kemari, Nyonya Arnold?” tanya Paul kecewa. “Lalu, bagaimana rencana kita menyewa Kastil Bulan? Bagaimana mengenai—” “Kita tak perlu terlalu kuatir sebelum ada kabar pasti bahwa Boris memang terserang campak,” kata Nyonya Arnold. “Ibumu mengatakan, ada kemungkinan penyakitnya bukan campak. Mungkin ibumu akan kemari dengan adik-adikmu yang lain. Boris dan kakaknya ditinggalkan di Baronia, kalau benar mereka terkena campak Sudahlah. Jangan terlalu kuatir.” Tentu saja Paul merasa kuatir. Kalau ibunya tak jadi datang, bagaimana jadinya rencana liburan yang sudah ditunggu-tunggu? Gara-gara Boris! Anak itu selalu ada-ada saja! Sekarang, gara-gara dia - rencana berlibur di Kastil Bulan bisa gagal! Padahal, di sana pasti asyik! Mike dan saudara-saudaranya juga kecewa. Kalau sampai acara kunjungan ke Inggris gagal, mereka takkan bisa pergi ke Kastil Bulan dan bersenang-senang di sana! “Satu-satunya orang yang gembira mendengar ini pasti si Guy yang tengik,” Mike berkata dengan wajah suram. *** Dua hari lewat. Setiap ada surat datang, Paul bertanya kepada Nyonya Arnold, “Apakah ada kabar lagi dan ibuku, Nyonya Arnold? Menurut rencana semula, kita sudah harus berada di Kastil Bulan dua hari lagi. Bagaimana kalau akhirnya ibuku memutuskan takjadi datang? Apakah Anda akan memberi kabar begitu saja kepada Nyonya Brimming dan adik-adiknya? Atau, bagaimana?” “Sudahlah, Paul - jangan terlalu bingung memikirkan hal itu,” sahut Nyonya Arnold. “Ibumu pasti meneleponku hari ini, sesudah makan siang. Nanti sore kita sudah tahu bagaimana keputusannya.” Telepon berdering tepat setelah mereka usai bersantap siang. Anak-anak langsung berlari ke ruang tengah. Sambil mendorong anak-anak dari dekat tempat telepon, Nyonya Arnold mengangkat gagangnya. Terdengar olehnya suara dari dalam telepon. “Telepon pribadi dari Baronia untuk Nyonya Arnold” "Oh, aku sendiri Nyonya Arnold,” jawabnya. Lalu kedengaran bunyi telepon disambungkan di sebelah sana. Anak-anak menanti dengan berdebar-debar. Mereka memasang telinga tajam-tajam, ingin bisa mendengar yang dikatakan ibu Paul kepada Nyonya Arnold. Nyonya Arnold mendengarkan dengan sungguh-sungguh kadang-kadang beliau mengangguk-angguk sambil mengatakan, “Ya, ya, ya. Wah, bagus sekali. Benar. Oh, tentu saja tak apa-apa. Ya, saya setuju.” Anak-anak tak tahu apa yang sedang dibicarakan lewat telepon saat itu. Mereka benar-benar tak sabar menanti. Paul berdiri dekat sekali dengan Nyonya Arnold. Ia berharap bisa menangkap kata-kata yang diucãpkan ibunya di sebelah sana. Tetapi, sepatah kata pun tak tertangkap olehnya. Akhirnya Nyonya Arnold mengucapkan kata perpisahan, lalu mengembalikan gagang telepon di tempatnya. Paul langsung meraung. “Mengapa aku tak diberi kesempatan bicara dengañ ibuku?” “Telepon tadi ditujukan kepadaku pribadi, Paul. Lagi pula yang berbicara tadi bukan ibumu!” Nyonya Arnold geli melihat wajah Paul murka. “Sekarang dengarkan baik-baik. Kabarnya begini. Tidak sejelek yang kita duga.” “Bagaimana? Ayo, cepat ceritakan, Bu!” seru Mike. “Yang menelepon tadi sekretaris ibumu,” kata Nyonya Arnold kepada Paul. “Boris memang terserang campak. Gregor, adikmu yang seorang lagi - menunjukkan tanda-tanda yang sama dua hari yang lalu. Untunglah penyakitnya tak parah. Menurut perkiraan, tak lama lagi mereka juga sehat” “Mengenai rencana semula lalu bagaimana? Apakah ibuku akan terbang kemari meninggalkan mereka?” tanya Paul. “Tidak. Ibumu tak mau meninggalkan mereka. Walaupun begitu, ibumu yakin kira-kira sepuluh hari lagi beliau bisa kemari. Adik-adikmu pun akan dibawa,” sahut Nyonya Arnold. “Rencana yang ditawarkan ibumu begini jadinya. Karena ibumu toh sudah menyewa Kastil Bulan dan berhak masuk ke sana dua hari lagi, jadi beliau mengusulkan agar kita masuk lebih dulu dan menunggu kedatangan keluargamu di sana!” “Bagus!” seru Peggy dan Nora bersamaan. Tetapi mendadak Mona nampak suram. “Tapi, Bu,” ucapnya. “Ibu dan Ayah bagaimana? Katanya tak lama lagi Ibu dan Ayah akan pergi - menguji pesawat terbang baru itu? Apakah Ibu tak jadi ikut terbang?" “Kurasa, aku harus menyertai ayahmu,” ujar ibunya. “Kalau aku ikut, Ayah merasa tenang. Dengan begitu, Ayah bisa menunaikan tugasnya dengan baik. Dimmy akan menemani kalian di kastil Bulan. Kau bersedia kan, Dimmy? Toh ada Ranni juga. Sebentar - tidak lama. Paling lama juga seminggu. Ibumu tentu senang kalau datang melihat kalian sudah mapan di sana. Dimmy bisa membantu mengatur segalanya.” “Aku senang sekali kalau bisa melakukan itu,” kata Dimmy. Sejak tadi perempuan itu mendengarkan dengan penuh perhatian. “Aku belum pernah melihat kastil Bulan yang indah itu. Sekarang aku jadi bisa melihat? Tapi, kapan pelayan-pelayan Paul datang dari Baronia? Rasanya aku takkan bisa berbicara dengan mereka dalam bahasa Baronia. Aku sama sekali tak mengenal bahasa itu. Bahkan dengan dibantu Ranni pun rasanya aku takkan bisa.” “Mereka baru akan datang sehari sebelum kedatangan Permaisuri,” sahut Nyonya Arnold. “Kurasa anak-anak bisa merawat diri masing-masing dengan bantuanmu, Dimmy! Banyak makanan yang akan datang. Aku sudah terlanjur memesannya. Kau akan kuberi daftar supaya tahu apa saja yang akan datang itu. Nah, bagaimana komentar kalian, Anak-anak?” “Hore! Asyik!” seru anak-anak serentak. Peggy langsung memeluk ibunya. “Lebih asyik lagi kalau Ibu ikut, Bu,” katanya. “Tapi, Ibu janji akan datang kalau Permaisuri datang kan, Bu? Pasti ketika itu uji coba pesawatnya sudah selesai.” “Akan kuusahakan,” kata ibunya. “Nah, sekarang banyak yang harus kita kerjakan. Pakaian kalian harus dipak - agen harus ditelepon - dan Nyonya Brimming harus ditulisi surat, memberi tahu bahwa rencana kita berubah - bahwa untuk sementara cuma kalian anak-anak yang akan tinggal di sana.” “Biar kubantu membereskan pakaian mereka,” kata Dimmy. “Cuacanya panas. Jadi, takkan banyak yang perlu mereka bawa. Anak-anak, kalau kalian ingin membawa buku atau mainan tertentu, cepat ambil. Berikan kepadaku supaya bisa kupak dengan segera. Tapi ingat Mike, jangan kaupikir aku memperbolehkan kau membawa satu set lengkap mainan kereta api-kereta apian atau sejenisnya!” “Seorang boleh bawa berapa buku, Dimmy?" tanya Jack. Lalu ia teringat akan perpustakaan besar yang terdapat di kastil Bulan. “Eh, tapi - tunggu dulu! Di sana kan ada perpustakaan! Bukunya banyak. Jadi tak perlu membawa lagi kukira.” “Aku sih ingin bawa bukuku sendiri,’ kata Mike. “Buku-buku kuno yang terdapat diperpustakaan kastil Bulan mungkin terlalu membosankan buat kita baca. Aku hendak membawa buku-buku petualangan.” “Mestinya kita menulis buku mengenai petualangan kita sendiri,” ujar Nora. Ia naik ke loteng bersama Peggy. “Pasti bukunya mengasyikkan.” “Kalau orang membacanya, mereka ingin berkenalan dengan kita - dan ingin ikut bertualang!” tambah Paul. “Aku yakin banyak anak yang ingin mengunjungi Pulau Rahasia kita - pulau yang kita pakai bersembunyi ketika aku pertama kali bertemu dengan kalian. Ingat, kan?” “Ayo cepat - jangan ribut saja!” seru Dimmy sambil mendorong anak-anak supaya cepat naik. “Coba kulihat baju kalian supaya aku bisa cepat memperhitungkan berapa lama kuperlukan untuk mencuci, menyetrika, dan menjahit. Kalau banyak, kau terpaksa harus membantuku, Peggy, Nora!” “Oh, tentu saja kami akan membantu, Dimmy,” janji mereka. Keduanya begitu gembira hendak pergi ke kastil Bulan. Mereka tak berkeberatan mengerjakan apa pun asal bisa ke sana. Ketika kapten Arnold datang malam harinya, beliau diberi tahu mengenai perubahan rencananya. “Untunglah campak yang menyerang adik-adik Paul tidak berat,” katanya. “Kalau sampai rencana mengunjungi Kastil Bulan dibatalkan, wah, kalian tentu akan sangat kecewa. Kukira anak-anak aman berlibur di sana bersama Dimmy untuk sementara.” Sibuk benar mereka selama dua hari itu. Nyonya Arnold ke sana kemari, mencari barang-barang yang diperlukan. Dimmy mencuci baju anak-anak, menyetrika, dan menjahit dengan tiada henti-hentinya. Anak-anak lelaki sibuk mengepak buku-buku dan mainan di bagian bawah kopor mereka. Peggy dan Nora mulai mendendangkan lagi lagu konyol mengenai Kastil Bulan! “0 Kastil Bulan, Tak lama lagi kami ke sana!” Mike menimpali setelah berpikir beberapa lama, “Berjam-jam bermain gembira Di puncak menara!" “Ayo tebak - si Guy. sudah pergi belum?” ujar Jack tiba-tiba. “Kurasa belum. Nyonya Arnold, apakah Anda sudah menulis surat kepada Nyonya Brimming? Belum ada balasan, ya?” “Mana cukup waktunya kalau mereka harus membalas surat kita segala,” kata Nyonya Arnold. “Pokoknya, aku sudah menulis kepadanya. Mengapa, Jack?” “Aku teringat lelaki bernama Guy itu,” sahut Jack. “kira-kira dia sudah pergi dari sana atau belum, ya?” “Tentu saja dia harus pergi,” kata Nyonya Arnold. “Kepada agen kukatakan, bahwa kita takkan menyewa kastil itu kalau Guy tidak pergi dari sana. Kau tak perlu kuatir memikirkan dia. Nyonya Brimming dan adik-adiknya pun akan jarang kalian lihat, kecuali kalau mereka sedang menyapu dan merawat barang-barang perabotan. Mereka akan tetap melakukan hal itu sampai pelayan-pelayan Permaisuri tiba.” “Yang memasak siapa?" tanya Peggy. “Dimmy? Apakah Nyonya Brimming akan mengizinkan Dimmy memakai kompor mereka yang ada di dapur?” “Wah, itu aku kurang tahu,” sahut Nyonya Arnold. “Dalam surat kukatakan, bahwa mereka boleh pilih - memasak buat kalian dan menerima imbalan dari kita, atau membiarkan Dimmy memakai dapur mereka. Kurasa mereka akan pilih memasak buat kalian. Dengan begitu, mereka bisa dapat yang tambahan. Mudah-mudahan begitu. Supaya Dimmy tak terlalu sibuk.” “Ah, lama benar menanti besok,” ucap Nora yang muncul membawa setumpuk pakaian yang sudah selesai disetrika. “Itu lagi, itu lagi,” komentar Mike. “Dan pagi sudah dua belas kali kaukatakan hal itu, Nora. Jam berapa sekarang? Wah, sudah hampir waktu minum teh. Jam sekian besok, kita sudah berada di kastil Bulan.” Akhirnya semua sudah masuk ke dalam kopor. Kopor-kopor mereka pun ditutup. Dimmy mengamati sekelilingnya, mencari kalau-kalau ada sesuatu yang lupa belum dimasukkan. Nyonya Arnold dan suaminya juga akan berangkat besok. Anak-anak belum diberi tahu alamat mereka selama menjalankan tugas. Hal itu disebabkan perusahaan yang menyewa Kapten Arnold tak mau uji coba itu diketahui umum. kapten Arnold sendiri pun tak tahu ke mana ia harus pergi keesokan harinya. “Nah, sebaiknya kita semua tidur sore-sore,” kata Kapten Arnold sehabis makan malam. "Aku ingin merasa segar besok pagi, dan kau nampaknya sangat lelah, Bu!” tambahnya sambil berpaling kepada Nyonya Arnold. “Kau juga, Dimmy.” “Kami tidak lelah,” cetus Mike. “Tapi kami akan segera tidur - supaya besok lebih cepat tiba! Jam berapa Ranni akan membawa mobilnya kemari?” “Kira-kira setengah sebelas,” jawab Nyonya Arnold. “Kalian makan siang di hotel yang dulu itu saja - di Bolingblow. Di samping itu, aku ingin berpesan supaya kalian berhati-hati dengan barang-barang indah yang terdapat di Kastil Bulan. Dan...” “Jangan kuatir, Bu. Kami akan bersikap seperti putra-putri raja!” Mike berkata sambil tertawa. “Ayo, kita tidur, yuk! Hore! Besok kita ke Kastil Bulan!” 8. DI KASTIL LAGI Esok harinya serba terburu-buru. Rumah akan ditinggalkan kosong untuk sementara. Nyonya Hunt pembantu rumah tangga mereka diizinkan pulang. Walaupun begitu, Ia diminta tetap datang setiap hari untuk membersihkan rumah dan membuka jendela supaya udara segar masuk. Di samping itu, Ia juga dimintai tolong memberi makan ayam peliharaan Nyonya Arnold. Kapten Arnold sudah siap dengan tasnya. Begitu juga Nyonya Arnold. Beliau menyiapkan pakaian yang hendak dibawa dalam sebuah tes yang tidak begitu besar. Mike ingin membuka kopor yang sudah ditutup, karena hendak memasukkan dua buah buku yang sekonyong-konyong ingin Ia bawa. “Jangan dibuka,” cegah Dimmy. “Sudah dua kali kopor itu kaubuka. Akibatnya segala sesuatu di dalamnya jadi acak-acakan. Terpaksa kuncinya kusembunyikan sekarang!” “Sialan!” umpat Mike, lalu mencoba membuka kopor Paul. Kopor itu kecil dan dibawa-bawa sendiri oleh Paul. Tapi rupanya Dimmy juga menguncinya. Pukul setengah sebelas, Ranni datang dengan mobil berkilauan. Ia nyengir ketika melihat anak-anak yang sudah gelisah - tak sabar menunggu. “Kita jadi kembali ke Kastil Bulan, ya!” komentarnya. "Kasihan mobil ini - ia harus terantuk-antuk lagi di sepanjang jalan.” “Mobil buatan Baronia tak peduli jalan rusak,” kata Paul. “Kau sendiri yang bilang begitu, Ranni! Aku senang kok terguncang-guncang sedikit. Selamat tinggal, Kapten Arnold! Selamat menunaikan tugas! Aku ikut berdoa agar Anda sukses!” “Terima kasih, Paul,” ucap Kapten Arnold. “kalau kau mendadak mendengar bunyi seperti orang bersin yang langsung hilang lagi bunyinya, pasti itu bunyi pesawat yang sedang kuuji.” Semua tertawa. Nora memeluk ayahnya. “Hati-hati ya, Yah!” pesannya. “Sukses!” Akhirnya acara berpamitan pun selesai. Mobil mereka meninggalkan halaman rumah. Kapten dan Nyonya Arnold berdiri sambil melambai-lambaikan tangan. Anak-anak duduk agak berdesakan di dalam mobil. Tetapi, tak seorang pun merasa keberatan kecuali Dimmy. Dimmy mengatakan, belum pernah ía duduk berdampingan dengan orang yang selalu sibuk seperti Nora. Tetapi ketika Peggy ganti duduk di tempat Nora, Dimmy segera mengubah pendapatnya mengenai Nora. Ternyata Peggy lebih parah dibanding Nora. Anak-anak mengobrol tak henti-hentinya. Sambil mengobrol, mereka melongokkan kepala ke jendela dan dorong-mendorong. Di Bolingblow mereka berhenti - makan siang, di hotel tempat mereka makan siang tempo han. Yang melayani kebetulan pelayan yang dulu juga. “Kami jadi pergi ke Kastil Bulan waktu itu,” kata Peggy. “Wah, indah sekali kastilnya!” “Sekarang kami hendak ke sana lagi - berlibur di sana!” tambah Nora. Pelayan itu tertawa. Ia tak percaya akan pernyataan Nora. “Tak mungkin! Tak ada orang yang mau tinggal di sana. Jangan coba-coba membohongiku. Kastil Bulan sudah terkenal sebagai tempat jelek.” “Mengapa?” tanya Mike segera. “Yah - orang bilang banyak hal aneh terjadi di situ,” kata si pelayan dengan gaya berahasia. “Aku kan pernah bilang bahwa ada ilmuwan yang datang ke sana hendak meminjam buku lalu lari pulang dengan ketakutan setengah mati.” “Ya, katanya buku-buku pada berjatuhan dan raknya menimpa dia,” komentar Peggy sambil tertawa cekikikan. “Mudah-mudahan hal seperti itu terjadi waktu kami di sana nanti! Tapi, kau harus percaya bahwa kami benar-benar akan pergi ke sana sekarang ini.” Pelayan tadi melongo. Ia masih belum percaya. “Kudengar kalian sudah memesan bahan makanan untuk dikirim ke sana,” katanya. “Jadi, kalian memang benar akan tinggal di sana?” “Tentu saja,” kata Peggy. “Kau punya cerita lain lagi mengenal kastil itu?” “Suara-suara!” sahut si pelayan, berbisik. Nampaknya ia takut mengatakan hal itu. “Suara-suara! Katanya di sana sering terdengar suara-suara aneh.” “Aneh bagaimana?” tanya Mike, tertarik. “Aku kurang tahu. Kurasa tak ada orang yang tahu pasti,” katanya pula. “Pokoknya di sana sering terdengar suara-suara aneh. Sudah! Kalian jangan ke sana! Pulang saja, sebelum terlanjur!” Si pelayan pergi membawa piring kotor bekas mereka. Peggy tertawa. “Wah, ini menarik! Aneh ya - tempat kuno dibilang bisa bersuara. Pasti si Guy yang menyebar cerita-cerita konyol itu. Tujuannya, supaya orang tak berani dekat-dekat tempat itu. Menurutku, sebenarnya tak ada apa-apa di sana!” “Aku pun berpendapat begitu,” komentar Mike. “Semuanya itu cuma dongeng. Pokoknya, sebentar lagi kita tahu sendiri apakah cerita itu benar atau tidak. Dalam hati sih, aku senang kalau ada yang terjadi.” “Kau senang mendengar suara-suara aneh? Bohong!” cetus Flora. “Hi, aku sih ogah mendengar suara-suara yang tak ketahuan dari mana asalnya.” “Seperti kursi di kamar kita,” tambah Peggy. “Kalau malam kadang-kadang berbunyi, seperti ada orang yang duduk di situ. Tapi, kalau kunyalakan lampu tak ada siapa-siapa.” “Terang saja tak ada.” kata Dimmy. “Kursi itu berbunyi karena kembali ke bentuknya semula setelah menopang berat tubuhmu beberapa lama, Peggy!” Saat itu mereka menikmati es krim. Lezat benar es krimnya, hingga Dimmy memesan lagi. Nora menepuk lengan Dimmy. “Aku suka melihat kebiasaanmu itu, Dimmy,” katanya. “Ikut memesan es krim tambahan, dan pura-pura tidak melihat kalau ada di antara kami yang minta tambah untuk kedua kalinya.” “Hus, dua sudah cukup,” kata Dimmy tegas. “Akan kupanggil pelayan sekarang juga - supaya membawakan bon makanan kita!” Anak-anak menyeringai. Sebenarnya mereka tak ingin makan es krim lagi. Mereka cuma ingin menggoda Dimmy. Tak lama kemudian datang si pelayan membawa bon mereka. “Aku baru mengobrol dengan temanku yang di sebelah sana itu mengenai Kastil Bulan,” ucapnya berbisik-bisik. “Dia keponakan pemilik toko bahan makanan yang diminta mengantar bahan makanan ke sana. Katanya, sopir yang membawa truk pengangkut bahan makanan begitu ketakutan waktu sampai di sana. Bahan makanan yang hendak ia antarkan lalu diturunkan begitu saja di halaman sambil berteriak, "Ini pesanannya!” Dia langsung lari masuk kembali ke dalam mobilnya dan melarikannya kencang-kencang seperti dikejar beratus-ratus ekor anjing.” “Takut apa dia?” tanya Nora keheranan. “Di pintu depan tak ada sesuatu pun yang mengerikan! Sopir itu gila barangkali!” “Percayalah kepadaku - tempat itu menakutkan,” ulang si pelayan. “Kemarilah lagi setelah satu-dua hari tinggal di sana. Aku yakin kalian punya cerita aneh mengenai kastil itu!” Anak-anak tertawa. “Di sana cuma ada tiga perempuan yang bertugas merawat kastil itu sekarang,” Mike berkata. “Kalau benar terjadi hal-hal yang aneh, merekalah yang pasti lebih dulu jadi ketakutan.” “Tiga perempuan merawat kastil! Tiga - aneh!” komentar si pelayan. “Mengapa? Apakah kaupikir mereka suka gentayangan naik sapu terbang pada malam hari?” tantang Jack sambil nyengir. Si pelayan naik darah. Dengan kasar Ia menumpuk piring kotor lalu membawanya pergi. “Yuk,” ujar Mike. “kita meneruskan perjalanan ke Kastil Bulan. Toh tak lama lagi kita sudah sampai.” Mereka masuk ke dalam mobil. Ranni sudah menunggu di belakang kemudi. Nampaknya ia mulai tak sabar. Walaupun begitu lega rasanya anak-anak melihat Ranni di sana, sehabis mendengar cerita konyol si pelayan. Di dalam mobil mereka merasa kenyang sekali. Ranni menjalankan mobilnya. Mereka melewati jalan-jalan yang dulu mereka lewati. Jelek dan berlubang-lubang. Ranni mengendarai mobilnya dengan sangat berhati-hati. Nora dan Peggy mencari-cari persimpangan jalan yang menuju ke desa kuno yang sudah rusak itu. “Tadinya aku berniat menanyakan kepada pelayan tadi,” ujar Nora menyesal. “Sayang - lupa! Pasti dia tahu cerita menarik mengenai desa itu.” “Itu dia persimpangannya,” ujar Peggy. “kapan-kapan kita ke situ, yuk! Paling-paling jaraknya cuma satu mil dari sini Aku kepingin melihat-lihat bekas reruntuhan rumah-rumah kuno di situ!” Persimpangan jalan yang dilihat Peggy tadi segera terlewati. Tak lama kemudian terlihat oleh anak-anak rumah-rumah yang sudah ambruk atapnya. Sekarang mereka sudah berada di jalan menanjak yang menuju kastil. Jalannya berliku-liku, mendaki leneng bukit. Bunyi mesin mobil menderu memekakkan telinga. Mobil terbagus buatan Baronia pun terpaksa merambat di jalan seperti itu. Pintu gerbang di pagar kastil tertutup seperti dulu. Mike terpaksa turun dari mobil dan membukakan pintu itu lagi. Mobil masuk ke halaman kastil, lalu berhenti di depan pintu utama. Seperti dulu, pintu itu pun tertutup. “Nah, kita sudah sampai,” Mike berkata sambil memandang kastil yang menjulang tinggi di depannya. “Wah, besar sekali kastil ini kalau dilihat dari jarak sedekat ini! Sekarang bagaimana? Kita bunyikan bel lagi? Oh, tak mungkin! Rantainya sudah putus - diputuskan Ranni tempo hari! Mudah-mudahan saja kita tak perlu berkeliling ke belakang lagi seperti dutu.” “Rantai belnya sudah diperbaiki,” kata Ranni. Anak-anak segera melihat ke tempatnya. Ranni benar. “Kita bisa masuk dari depan kali ini!” Jack berlari-lari menaiki tangga lebar, mendapatkan pegangan besi yang tergantung di ujung rantai. Ditariknya rantai itu. Kali ini terdengar bel berbunyi! Bunyi nyaring terdengar dari dalam kastil. Kedengarannya bel itu besar, tetapi sudah agak rusak. Ranni mengangkat kopor-kopor naik ke teras depan. Dengan sabar mereka menanti pintu dibuka. Tetapi lama benar. Jack jadi kehilangan kesabaran. Dibunyikannya bel sekali lagi. Mendadak Ia melompat kaget. Pintu di depannya membuka sendiri, sangat pelan tanpa mengeluarkan bunyi sedikit pun. Tak seorang pun kelihatan menyambut mereka di sana! Anak-anak berdiri, menunggu salah seorang dari ketiga perempuan yang dulu ada di sana muncul. Tetapi tak seorang pun yang keluar. Ada seseorangkah di balik pintu? Jack lari ke dalam, melihat. Ruangan depan kosong. “Aneh!” ucap Dimmy. “Pasti ada orang yang membukakan pintu barusan. Tapi, mengapa mendadak menghilang?” “Satu peristiwa aneh terjadi sudah.” kata Mike, tertawa. “Kurasa Nyonya Brimming atau salah seorang adiknya memang datang membukakan pintu tadi. Tapi, melihat Ranni yang bertubuh besar dan berjenggot lebat berwarna merah Ia ketakutan dan langsung bersembunyi. Ruangan ini gelap. Kalau ada orang yang dengan cepat melompat masuk takkan terlihat dari luar. Perlu kubantu, Ranni?” Ranni tak membutuhkan bantuan. “Cari saja penjaga kastil ini dan tanyakan apakah segalanya sudah siap untuk kita,” katanya, berdiri di ruang depan. Jack memandang Dimmy. “Bolehkah aku masuk mencari Nyonya Brimming?” tanyanya. Dimmy mengangguk Jack pun segera masuk sambil mencoba mengingat-ingat jalan yang harus Ia lalui. Tak lama kemudian Jack kembali bersama Nona Edie Lots, salah seorang adik Nyonya Brimming. Perempuan itu kelihatan agak takut. “Ini dia,” kata Jack lega. “Katanya dia tidak mendengar bunyi bel dan dia yakin tak ada orang yang membukakan pintu.” “Omong kosong!” komentar Dimmy. “Nona Lots, sudah siapkah segala sesuatunya? Kuharap Anda sudah menerima surat Nyonya Arnold serta surat dari agen penyewaan yang mengatakan mengenai perubahan rencana kami.” “Oh, ya - sudah kami terima,” sahut Nona Edie. Napasnya agak tersengal. “Katanya, cuma anak-anak yang akan tinggal di sini, bersama Nona Dimity. Ya. Semua sudah siap. Kalian bisa memilih sendiri kamarnya. Pesanan makanan sudah datang semua. Banyak sekali. Semua ada di dapur. Ya.” “Terima kasih,” sahut Dimmy. “Kalau begitu, kita bisa langsung masuk sekarang,” tambahnya kepada anak-anak. “Setelah itu aku akan memeriksa barang-barang yang ada di dapur. Nah, kita naik, yuk - coba tunjukkan kamar-kamarnya. Bukan main indahnya kastil ini!” Sambil tak henti-hentinya berceloteh, anak-anak naik ke loteng. Betapa gembira hati mereka! 9. TINGGAL DI KASTIL RANNI mengikuti mereka dengan membawa kopor-kopor. Dimmy merasa ia harus dengan cepat mengikuti anak-anak, sebelum mereka memilih kamar yang kurang cocok! Sambil mendaki tangga lebar yang menuju loteng, tak henti-hentinya Ia mengagumi keindahan kastil itu! “Astaga! Indahnya karpet ini! Dan - oh, bukan main! Bagus benar tirai itu! Lukisan-lukisannya juga - wah, bukan main!” pikirnya sambil bersandar pada pegangan tangga dan memperhatikan ruangan di bawahnya. Pintu depan masih terbuka. Cahaya matahari masuk ke dalam - membuat baju-baju baja yang banyak terdapat di sana jadi berkllau-kilauan. “Tak ada debu sedikit pun!” pikir Dimmy terkagum-kagum. “Meskipun nampaknya aneh, rupanya Nyonya Brimming dan adik-adiknya sangat hebat dalam hal merawat perabotan! Ranni meletakkan kopor-kopor yang dibawanya di ujung tangga. Ia turun lagi - melewati Dimmy - hendak mengambil sisa kopor yang belum terangkat di bawah. “Aku ingin diberi kamar kecil yang letaknya dekat dengan kamar Paul,” ujarnya kepada Dimmy dengan sangat sopan. “Kalau bisa, yang punya pintu penghubung dengan kamarnya.” “Baiklah, Ranni. Akan kuusahakan,” sahut Dimmy. Ia heran dan sekaligus kagum melihat betapa setianya Ranni kepada Paul. Pelayan - teman - pengawal! Ya, Ranni merupakan semuanya itu buat Paul! Dimmy bergegas naik, mengikuti celoteh anak-anak. Di mana mereka? Mereka berada di sebuah kamar tidur berukuran besar dengan jendela menghadap ke pemandangan alam yang bukan main indahnya. Nora berpaling kepada Dimmy. Matanya bercahaya. “Dimmy! Bolehkah aku dan Peggy tinggal di kamar ini?” tanyanya. “Lihatlah, betapa bagusnya pemandangan di luar sana.” “Kurasa tidak,” sahut Dimmy, kaget melihat betapa luasnya kamar itu. “Ini pasti kamar yang paling besar. Karena itu, kamar ini harus kita sediakan untuk ibu Paul." “Oh, ini bukan yang paling besar, Dimmy! Banyak yang lebih besar lagi!” Nora memprotes. “Lihat saja!” Dengan takjub, Dimmy mengikuti Nora - masuk dari satu kamar ke kamar lainnya. Semua berperabot lengkap - indah - dan sangat terawat. Begitu pula pemandangan dan jendela-jendelanya! Luar biasa indahnya. Akhirnya mereka sampai ke kelompok kamar-kamar yang ukurannya agak kecil dibanding dengan yang lain. Kamar-kamar itu berhubungan satu sama lain, tetapi masing-masing mempunyai pintu keluar tersendiri. Ada tiga kamar, dua di antaranya mempunyai dua tempat tidur. Yang satu lagi hanya mempunyai sebuah tempat tidur. “Nah, ini cocok sekali buat kalian berlima,” ucap Dimmy segera. “Hus! Jangan berkomentar dulu, Nora! Kamar yang kauinginkan tadi terlalu besar. Ingat - kalian mungkin harus memelihara sendiri kamar itu, menjaga supaya tidak kotor barang sedikit pun! Itu, kalau ternyata Nyonya Brimming dan adik-adiknya menolak bekerja untuk kita. Lebih baik kalian memilih kamar-kamar yang agak kecil ini. Lebih mudah dibersihkan!” “Yah,” Nora mengeluh kecewa. “Tapi, mungkin kau benar juga, Dimmy. Di samping itu, enak kalau kamarnya berdekatan begini.” Nora lari ke pintu, lalu berteriak, “Peggy! Mike! Kemarilah - ada kamar buat kita semua di sini!” Yang lain datang berlari-lari. Jack langsung setuju. “Betul! Aku dan Mike di kamar yang ini - yang ditengah. Nora dan Peggy di kamar yang sebelah kiri - dan Paul yang di sebelah kanan - sendirian. Wah, bagus!” Ia menghampiri jendela, melihat ke luar. “Mm, belum pernah aku melihat pemandangan seindah ini,” katanya. “He! Yang di sana itu - kalau tak salah, itu desa runtuh yang kita lihat di jalan tadi!” Semua bergerombol di dekat jendela. “Benar!” ucap Mike. “Memang betul! Lihat - itu jalannya kelihatan juga dari sini. Tepat di persimpangan. kita harus ke sana kapan-kapan!” Sementara itu Dimmy ngeluyur sendirian, mencari-cari kamar yang cocok untuk dirinya sendiri, dan juga untuk Ranni. Untuk Ranni ia menemukan sebuah kamar mungil. Letaknya hampir di ujung gang. Sayangnya jendela kamar itu menghadap ke belakang. Pemandangan yang terlihat dari situ adalah bukit yang terdapat di belakang kastil - menjulang tinggi hingga membuat kamar itu terasa gelap. Maklum, jarak jendela ke bukitnya sendiri sangat dekat. Satu-satunya bagian kastil yang menjulang tinggi melebihi puncak bukit adalah menaranya. Dimmy berpikir, alangkah indahnya pemandangan dari puncak menara! Ia meneruskan kegiatannya mencari kamar dan berharap mendapatkan kamar yang mempunyai pemandangan ke luar yang bagus. Di ujung gang ada sebuah kamar mungil. Tak ada tempat tidur di situ. Kamar itu lebih menyerupai ruang duduk-duduk. Dimmy berniat memindahkan sebuah tempat tidur dari salah satu kamar yang tidak terpakai ke kamar itu. Ruangan ini benar-benar cocok untuk dijadikan kamarnya. Ia lebih menyukai kamar mungil dengan jendela menghadap pemandangan indah itu daripada kamar besar yang tak mempunyai pemandangan bagus. Dimmy kembali mendapatkan anak-anak. Mereka telah memangil Ranni, dan Ranni nampak sedang mengangkuti barang-barang mereka. Dimmy tersenyum kepada lelaki bertubuh tinggi besar dan berjenggot merah itu. “Aku sudah menemukan kamar buatmu, Ranni,” ujarnya. “Tak jauh dari sini. Tapi, pemandangan dari jendelanya hampir tak ada.” Ranni lahir dan dibesarkan di daerah pegunungan. Karenanya Ia tak terlalu ingin melihat pemandangan pegunungan. Di Baronia ia sudah kenyang melihat alam pegunungan! Ranni nampak puas melihat kamarnya yang mungil, sebab kamar itu dekat dengan kamar Paul. “Wah, tak ada keran untuk cuci tangan,” komentar Nora sambil memperhatikan baskom besar di atas tempat berkaki tinggi. “Apa kita harus pakai guci-guci raksasa itu kalau hendak mencuci tangan? Mana kuat kita menuang air dari dalamnya!” “Ah, cuci tangan di kamar mandi saja,” usul Mike. “kuhitung-hitung, sudah ada tujuh kamar mandi di lantai ini! Di seberang kamar kita ada satu. Lengkap dengan pancuran air segala.” “Asyik ya, Dimmy!” ucap Nora. “Kau sudah dapat kamar? Baguskah kamarmu? Wah, pasti asyik sekali tinggal di kastil ini ya, Dimmy. Aku tak tahu berapa lama aku mesti mempelajari tata letak ruangan-ruangannya hingga hafal.” Mula-mula Dimmy pun mempunyai perasaan begitu. Tetapi, ternyata cukup cepat juga mereka mengenal letak kamar-kamar di Kastil Bulan dan jalan yang paling cepat kalau hendak menuju ke masing-masing tempat yang ada di sana! Ada dua buah tangga yang tinggi dan kira-kira dua atau tiga buah yang kecil. “Asyik kalau main kejar-kejaran atau petak umpet di sini,” kata Mike. “Banyak tangga untuk sembunyi! Untung saja ibumu menyuruh kita kemari duluan, Paul. Kalau langsung masuk bersama-sama, kurang asyik jadinya. Semua kamar sudah terisi dan lagi mereka takkan senang kalau kita berkejar-kejaran di dalam rumah.” “Kau benar,” sahut Paul. Ia berpikir bahwa ia takkan bersikap sebebas sekarang seandainya orang tuanya ada di situ bersama mereka. “Kita puas-puaskan saja bermain dalam minggu ini.” Dimmy ke belakang, menemui Nyonya Brimming dan adik-adiknya. Dari sebuah ruangan yang menyerupai ruang kerja, ia membunyikan bel, tetapi tak ada yang datang. Karenanya, Dimmy langsung menuju ke dapur. Di dapur yang paling besar terdapat dua buah perapian. Sebuah dinyalakan, yang lain sedang tidak dipakai. Di sepanjang dinding terlihat kompor besar berjajar-jajar. Kira-kira enam sampai tujuh buah bak pencuci piring nampak di sana-sini. Dimmy berhenti di pintu. Astaga - luasnya! Di muka jendela yang sedang terbuka, duduk Nyonya Brimming dan kedua adiknya. Jendela itu terletak di ujung sebelah sana dapur. Salah seorang di antara mereka, Edie Lots, sudah dikenal Dimmy. Ia lalu menghampiri mereka. Ketika Dimmy sampai ke dekat mereka, ketiganya langsung berdiri. Wajah mereka ketakutan. “Duduk saja,” ujar Dimmy. Dalam hati ia berkata, “Ganjil amat mereka bertiga.” Kepada Nyonya Brimming dan adik-adiknya Ia berkata, “Aku akan ikut duduk-duduk dengan kalian, merundingkan apa yang sebaiknya kita lakukan sementara menunggu kedatangan permaisuri Baronia yang baru akan datang minggu depan.” Semuanya lalu duduk. Tak sepatah kata pun diucapkan Nyonya Brimming maupun adik-adiknya. Dimmy tak peduli. Ia mengobrol dengan ramah. Akhirnya berhasil juga ia membuat Nyonya Brimming mau bicara. Dimmy meminta Nyonya Brimming dan adik-adiknya memasak untuk anak-anak, Ranni, dan dia sendiri. Di samping itu, mereka diminta tetap merawat dan membersihkan kastil sebagaimana biasanya sampai pelayan-pelayan dari Baronia datang. “Kalau mereka datang dan menggantikan kami, pasti segala sesuatu jadi berantakan dan rusak!” kata Nyonya Brimming tiba-tiba. “Anakku bilang begitu. Pelayan-pelayan asing itu tak bisa dipercaya.” “Jangan berkata begitu,” tutur Dimmy. "Lihat saja oleh kalian sendiri nanti. Pelayan-pelayan Baronia akan merawat kastil ini sebagus kalian. Lagi pula, itu sebetulnya bukan urusan kalian. Percayalah, Permaisuri takkan membiarkan mereka sembrono. Nah, sekarang tak usah bermuram begitu. Harusnya kalian ikut senang, Lord Moon mendapat uang setelah begitu lama tak ada orang yang menyewa kastilnya ini.” (Moon: Bulan, jadi kastilnya disebut Moon Castle atau Kastil Bulan) “Kata anakku, kalau beliau tahu yang menyewa orang asing, beliau takkan mengizinkan tempat ini disewakan,” komentar Nyonya Brimming.“Katanya, cuma gara-gara agen penyewaan kalian bisa menyewa tempat ini. Harusnya, agen itu minta izin dulu pada Lord Moon. Anakku mengatakan -! " Seperti Nyonya Arnold, Dimmy pun segera merasa jengkel pada anak lelaki Nyonya Brimming yang sok tahu dan terlalu banyak ikut campur. “Wah, kurasa ini semua tak ada sangkut pautnya dengan anak Anda, Nyonya Brimming,” katanya. Dimmy lalu teringat bahwa Nyonya Arnold mensyaratkan anak Nyonya Brimming harus meninggalkan kastil selama mereka menyewa kastil itu. “Anak Anda tak ada di sini lagi, bukan?” tanyanya. “Tentu saja tidak," ucap Nona Edie Lots. Suaranya keras. Matanya memandang Dimmy setengah mendelik Nampaknya perempuan itu mengucapkan lagi sesuatu. Tetapi Nyonya Brimming dengan cepat menyentuh lengan adiknya hingga ia tak jadi bicara. Tak lama kemudian Dimmy meninggalkan mereka. “Pasti ketiganya sangat mengagumi si Guy,” pikirnya sementara Ia berjalan ke kamar anak-anak hendak membantu mereka membongkar kopor. “Syukurlah dia sudah pergi dari sini. Yang pasti, si Guy tak ada di dápur. He - mana jalan ke kamar anak-anak, ya? Astaga, jauh benar!” Anak-anak mulai membongkar kopor. Mereka menolak ketika Dimmy hendak membantu. “Sudahlah, Dimmy - kau sendiri harus membongkar kopormu,” ucap Nora. “Kami sudah biasa membongkar kopor di asrama! Percayalah, kami bisa membereskan isinya sampai rapi.” “Jam berapa kita minum teh - di mana?” tanya Mike. “Aku sudah lapar rasanya.” “Sudah kuatur. Jam setengah lima hidangan akan siap,” sahut Dimmy. “Kita akan menggunakan ruangan paling kecil di sebelah kanan aula - ruangan yang dindingnya banyak digantungi berbagai alat musik.” “Oh, aku tahu tempatnya,” ucap Peggy. “Bentuk ruangannya agak aneh - seperti huruf L.” “Persis,” komentar Jack “Bagian bawah huruf L-nya berjendela menghadap pemandangan di lembah. Pasti di situ mejanya dlletakkan - hingga kita bisa melihat pemandangan di luarnya. Wah - asyik! Kita bisa menyaksikan pemandangan indah sejauh mata memandang!” Semua kopor mereka bongkar. Isinya mereka pindahkan ke laci-laci yang terdapat di lemari dalam kamar mereka. Lebih dari separuhnya masih kosong. Pakaian mereka hanya menempati sebagian kecil saja dari tempat yang tersedia. “Lacinya besar-besar sekali. Aku bisa masuk ke dalamnya!” cetus Paul ketika masuk ke kamar anak-anak perempuan. Kamar Nora dan Peggy terletak di tengah-tengah di antara kamar Paul dan kamar anak-anak lelaki. “Sudah selesai? Pakaianku lebih banyak, tapi aku selesai duluan!” “Kami juga bisa selesai lebih dulu kalau cuma melempar-lemparkan semua isi kopor ke dalam laci seperti kau, Paul,” kata Peggy. “Minggir - jangan kau injak mantelku. Tuh, di sana ada karpet kalau tak kepingin berdiri di lantai!” “Galak amat sih!” komentar Paul. “Jam berapa minum teh? Aku sudah lapar nih!” Seperti yang lain, Paul pun harus menunggu sampai pukul setengah lima. Setelahnya, main apa enaknya? Mike langsung dapat gagasan. “Kita ke menara! Mungkin sekarang sudah tidak dikunci lagi. Mestinya sih sudah!” 10. PERISTIWA ANEH NYONYA Brimming menyiapkan meja. Hidangan minum teh sore itu luar biasa lezatnya. Anak-anak senang sekali. Mereka memuji hidangan yang disajikan Nyonya Brimming dengan suara keras sampai-sampai Nyonya Brimming tersenyum dibuatnya! “Terima kasih, Brimmy,” ujar Nora tanpa diduga-duga. Dimmy mendelik. Sementara itu yang lain memandang Nyonya Brimming. Mereka yakin perempuan itu marah dipanggil begitu. Rupanya Nyonya Brimming sama sekali tak berkeberatan dipanggil 'Brimmy'. Ia bahkan tersenyum sekali lagi. “Lucu, kau bisa memanggilku begitu! Sudah lama sekali tak ada orang yang memanggilku 'Brimmy'! Yang terakhir kali aku dipanggil begitu ketika aku masib mengasuh anak bungsu Lord Moon - wah, sudah bertahun-tahun yang lalu! Pada zaman itu orang memanggilku 'Brimmy'!” Mendadak ia menyelinap ke luar. Rupanya ia sendiri kaget bisa bicara panjang begitu. Anak-anak pun keheranan. “Dasar bandel kau,” komentar Mike pada Nora. “Masa panggil 'Brimmy' begitu cepat, kan kau baru ketemu dia dua kali! Tapi kita jadi tahu titik lemahnya. Ya kan, Dimmy?” “Wah, sekarang ada Brimmy dan Dimmy,” Nora berkata sambil tertawa cekikikan. “Kayak puisi saja.” “Hus, jangan begitu,” Dimmy mengingatkan. “Aku sih sudah terbiasa akan sikap kalian yang seenaknya. Tapi, Nyonya Brimming tak tahu kebiasaan kalian yang aneh-aneh. Jangan sekali-kali kalian berpantun mengenai dia, ya!” “Ya deh,” sahut Nora. “Wow, lezat sekali kue coklatnya. Enak rasanya, dan bukan main besarnya. Kita bisa makan dua iris seorang dong!” “Jangan habiskan semuanya hari ini,” kata Dimmy. “Siapa tahu Nyonya Brimming sengaja membuat yang besar supaya tahan untuk seminggu.” “Pokoknya, dalam waktu kurang dari seminggu Brimmy pasti tahu bagaimana kita,” ucap Mike. “Dari mana biskuit ini? Kelihatannya bukan buatan sendiri.” “Dari tumpukan kaleng makanan yang sudah datang,” kata Dimmy. “Nyonya Brimming sudah kuberi izin untuk membuka kaleng mana saja yang kira-kira cocok buat kita. Tapi, hari ini dia sudah terlanjur membuat kue coklat istimewa ini.” “Kurasa Nyonya Brimming tak sejelek yang kita kira sebelumnya,” Jack berkata. “Bagaimana pendapatmu, Paul?” Siapa saja yang bisa membuat kue coklat seenak kue coklat yang sedang ia nikmati, menurut Paul orangnya baik. Dimmy jadi tertawa. Sambil mendengarkan celoteh kelima anak asuhannya, Dimmy menuangkan teh lagi ke cangkir mereka masing-masing. Sesudah itu dipotongnya lagi kue spons yang masih tersisa. “Apa yang akan kalian lakukan setelah ini.” tanyanya. “Kami ingin melihat-lihat menara,” sahut Mike dengan cepat “Mestinya kuncinya sudah dibuka sekarang. Kau mau ikut, Dimmy?” “Kali ini tidak dulu,” sahut Dimmy. “Aku ingin memeriksa apakah tempat tidur kita sudah diberi seprai. Kurasa Nyonya Brimming belum tahu kamar mana saja yang hendak kita pakai. Pergilah kalian melihat-lihat. Aku akan menyelesaikan tugasku dulu.” “Ya sudah - kalau begitu, kita tinggalkan saja Dimmy dan Brimmy. Biar mereka bisa mengobrol sampai puas sambil menyarungi bantal dan guling,” kata Mike. Anak itu bangkit dan kursinya. “Semua sudah selesai, kan? Oh, maafkan aku, Dimmy! Minummu belum habis.” Mike duduk lagi. “Tak perlu menunggu sampai aku selesai,” kata Dimmy. “Aku senang menikmati sisa tehku sendirian. Pergilah!” “Dimmy senang kita pergi. Dia jadi bisa makan kue dengan tenang,” ujar Nora sambil mencoel belakang leher Dimmy ketika lewat di belakang kursinya. “Kalau ada kita, dia terpaksa sibuk meladeni kita. Kalau perlu dibantu membereskan tempat tidur, panggil saja kami, Dimmy.” Berbondong-bondong anak-anak meninggalkan ruangan. Dimmy duduk tenang, lalu menuang teh lagi ke dalam cangkirnya. Hidangan minum teh sore itu disajikan di ruangan aneh berbentuk huruf L sebagaimana direncanakan semula. Meja diletakkan di bagian bawab huruf L, menghadap ke jendela. Dimmy memandang ke luar jendela, menikmati pemandangan. Hening suasana di ruangan itu. Suara anak-anak pun tak kedengaran oleh Dimmy. Yang terdengar olehnya hanyalah bunyi sendok beradu dengan cangkir. Ia sedang mengaduk gula dengan perlahan-lahan. TANG! Dimmy terlonjak. Suara itu datang secara tiba-tiba sekali dan tanpa diduga-duga. Beberapa saat lamanya Dimmy tak tahu bunyi apa yang didengarnya barusan! TANG! Bunyi yang sama terdengar lagi. Bunyi apa? Dimmy lalu teringat akan berbagai alat musik yang tergantung di dinding pada sisi lain ruangan itu - pada sisi yang panjang dan huruf L. Ia tersenyum. “Dasar anak-anak bandel!” pikirnya. “Pasti salah seorang sengaja kembali mengendap-endap hendak membikinku kaget. Kurasa si Mike yang konyol kali ini! Dia sengaja menjentik senar alat musik. Dasar anak konyol!” Dimmy kembali mengaduk tehnya. Ia memasang telinga, mengira hendak mendengar tawa cekikikan anak-anak. TANG! TANG! “Aku tahu itu kalian!” seru Dimmy dengan suara riang. “Bunyikan saja semua alat musik yang ada di situ. Tak apa-apa!” DUNG! “He, keluarlah kalian! Main sana!” seru Dimmy lagi. “Dasar anak konyol!” DUNG! Dimmy jadi kepingin tahu alat musik mana yang bunyinya 'dung' tadi. Bunyinya benar-benar ganjil. Tapi, alat musik yang terlihat olehnya tergantung di dinding ruangan tadi bentuknya memang aneh-aneh dan sudah sangat kuno. Mungkin bunyi 'dung' tadi adalah bunyi alat yang berbentuk seperti tong tapi bersenar. Walaupun begitu Dimmy merasa enggan bangkit melihat ke sana. DUNG! “Cukup,” seru Dimmy. “Banyolan kalian sudah tak lucu lagi.” Dimmy memasang telinga. Tetapi tak terdengar suara anak-anak tertawa mengikik seperti biasanya. Ia juga tidak mendengar bunyi langkah mereka pergi meninggalkan ruangan itu. Dimmy Lalu meneguk tehnya. Bunyi 'tang' dan 'dung' tak kedengaran lagi olehnya. Ia merasa yakin bahwa siapa pun di antara anak-anak yang berbuat konyol tadi telah pergi dari sana. Dimmy pergi memeriksa tempat tidur anak-anak. Tak lama kemudian ia sudah asyik mengobrol dengan Nyonya Brimming, merundingkan seprai mana yang hendak dipakai dan untuk kamar yang mana. Dimmy yakin anak-anak sedang asyik melihat-lihat menara. Ternyata tidak! Mereka sedang marah-marah, karena ternyata pintu menaranya masih terkunci! Mereka telah menyusur gang yang dinding-dindingnya dihiasi permadani dan masuk ke ruangan berbentuk bujur sangkar tempat pintu menuju ruangan menara terdapat. Seperti dulu, pintunya masih ditutup dengan permadani. Mike menyibakkan permadani yang menutupi pintu itu. Ia terkejut bukan main. Pintunya tak ada lagi di sana. Ia memandang ke belakang, kepada yang lain. “Tak ada! Pintunya sudah hilang!” Anak-anak segera melihat ke sekeliling ruangan itu. Tak ada sebuah pintu pun. Dinding sekelilingnya penuh tertutup oleb laci-laci. Tetapi, kira-kira setengah meter dari tempat permadani yang tergantung tadi, ada sebuah lemari dinding yang sangat tinggi. Paling tinggi jika dibanding dengan yang lain. “Pasti di balik lemari itu!” kata Jack sambil bergegas ke sana. “Waktu masuk kemari tadi, aku merasa permadaninya digantung di tempat yang berbeda dari dulu. Bantu aku, Mike - kita geser lemari ini.” Keduanya mencoba menggeser lemari tadi. Ternyata beratnya bukan main. Terpaksa kelima anak yang ada di situ bekerja keras. Tak seorang pun mempunyai gagasan untuk mengosongkan isi lemari itu supaya tidak berat! Di balik lemari - persis seperti yang diduga Jack - berdiri pintu menara. Tinggi, sempit - dan terkunci! “Pasti perbuatan si Guy keparat itu!” umpat Jack sambil menarik pegangan pintu yang berbentuk bulat seperti gelang besi. “Apa sih maunya? Aneh rasanya - sampai menyembunyikan pintu di balik lemari seberat ini dan sengaja menggantung permadaninya di tempat lain. Gila barangkali orang itu! Apa maksudnya sih?” “Dia tak mau ada orang yang ke menara, karena ia menyembunyikan sesuatu di sana,” ucap Mike. Yang lain mengangguk-angguk setuju. Nora mengguncang-guncang pegangan pintunya, lalu membungkuk, mengintip lewat lubang kunci. “Ada tangga di balik pintu ini,” katanya. “Kurang ajar si Guy itu! Akan bilang apa ibumu, Paul, kalau beliau tahu perbuatan si Guy yang begini ini?” “Siapa tahu pada saatnya ibu Paul datang nanti pintunya sudah dibuka,” Jack berkata perlahan-lahan. “Mungkin Tuan Guy belum selesai memindahkan barangnya dari menara. Dia kira kita bisa dikibuli dengan cara begini.” “Ya, kukira memang begitu,” sahut Paul. “Mungkin menara itu memang tempat yang sehari-hari dipakai oleh si Guy sebagai rumahnya. Payahnya, dia sudah menganggap menara ini miliknya sendiri. ltulah sebabnya ia tak suka kita datang. Mungkin perabotannya masih ada di sana.” “Benar. Kalau tiba-tiba saja kuncinya kita temukan tergantung di lubangnya dan waktu kita naik menaranya sudah kosong, kita tahu bahwa dugaan kita benar. Si Guy memang pindah ketika tengah malam.” “Sebal,” gerutu Peggy sambil mengguncang-guncang pegangan pintu. Dia kira kemarahannya bisa membuat pintunya jadi terbuka. Peggy menempelkan bibir ke lubang kunci. “GUY!” teriaknya. “Kami tahu kau ada di atas! Turunlah - bukakan pintu!” Jack menarik Peggy dengan segera. “Jangan konyol kau, Peggy,” bentaknya. “Bagaimana kalau mendadak dia turun, membuka pintu sambil mendelik dengan matanya yang kejam itu?” Peggy memandang ke pintu. Wajahnya ketakutan. “Tidak! Tak terdengar langkah kakinya!” ujarnya sambil tertawa. “Mana bisa dia mendengar teriakanku barusan. Pintunya tebal, dan lagi dia pasti ada di atas.” Sementara itu Mike asyik memeriksa isi lemari besar yang beberapa saat sebelumnya berhasil mereka geser dengan susah payah. “Aku jadi ingin tahu mengapa lemari ini beratnya setengah mati,” katanya. “Hampir tak tergeser oleh kita berlima. Lihat - karpet - lipatan kain - dan, apa yang di bawah itu - dibungkus dengan kain tirai biru?” Mike berlutut meraba-raba bungkusan di bagian bawah lemari. Yang lain berkerumun di belakangnya. Mike mencoba membuka bungkusan berat yang hampir tak bisa digeser dari tempatnya. Semua jadi benar-benar kepingin tahu apa isinya. Jack mengeluarkan pisau lipat dari sakunya, lalu merobek pembungkusnya. Disibakkannya bagian yang telah robek, dan ia bersiul. “Batu! Wah, besar-besar sekali! Astaga - si Guy pasti kerja keras mengangkuti batu sebesar ini kemari. Konyolnya, cuma untuk memberati lemari ini. Heran lemarinya tidak rusak Kayunya kayu kuno sih - jadi kuat!” “Pantas kita hampir tak bisa menggeser tadi,” kata Paul. “Sekarang, apa yang hendak kita lakukan.” “Biarkan saja lemarinya di situ. Tak perlu dikembalikan ke tempatnya. Dengan begitu si Guy tahu kita sudah menemukan banyolannya yang tidak lucu,” sahut Jack. “Kurasa dia tak menyangka kite berlima - hingga kuat menggeser. Pokoknya, kita harus bisa masuk ke menara - dan itu tidak gampang!” 11. SUARA-SUARA TERDENGAR LAGI! LEMARI besar dibiarkan di tempatnya yang sekarang oleh anak-anak. Mereka tidak mengembalikan lemari itu ke tempatnya di depan pintu. Dengan begitu Guy Brimming pasti tahu bahwa mereka telah menyelidiki dan menemukan di mana letak pintu menuju ke menara. Apa yang akan dia perbuat ketika mengetahui hal itu? Yah, anak-anak cuma bisa menunggu bagaimana nanti. Mereka setuju untuk kembali ke ruangan berbentuk huruf L tempat minum teh tadi. Dimmy akan diberitahu mengenai penemuan itu. Tetapi, Dimmy tak ada lagi di sana. Anak-anak bergegas naik ke kamar. Mereka tahu Dimmy berniat membereskan tempat tidur mereka. Persis seperti yang mereka duga, Dimmy ada di sana. Ia baru saja selesai membereskan tempat tidur Paul. Dimmy sendirian di kamar Paul. “Oh Dimmy - semuanya ini kaukerjakan seorang diri?” ucap Nora. “Maaf, Dimmy! Mengapa tidak kaupanggil saja Peggy atau aku. Kan tadi sudah janji begitu?” “Beres! Aku tadi dibantu Nyonya Brimming dan seorang adiknya,” sahut Dimmy. “Aku kurang yakin yang mana yang datang membantu tadi. Kedua adik Nyonya Brimming sangat mirip satu sama lain. Mereka baru saja pergi dari sini.” “Yah, kami tak bisa ke menara, Dimmy,” Peggy bercerita dengan nada jengkel. “Pintunya masih terkunci,” sambung Mike. “Lucunya, pintu itu disembunyikan di balik sebuah lemari besar yang beratnya bukan main,” tambah Paul. “Ada orang yang sengaja menutupi pintu itu. Bagaimana pendapatmu, Dimmy?” Dimmy tertawa melihat wajah anak-anak yang begitu serius. “Pendapatku? Mungkin di sana masih ada yang perlu dibersihkan. Mungkin juga ada barang-barang yang masih harus dipindahkan. Siapa tahu selama ini menaranya dipakai untuk tempat menyimpan barang. Tapi kita tak perlu terlalu memikirkan hal itu. Aku yakin pada saat keluarga Paul datang, menara itu siap dikunjungi oleh siapa saja.” “Tak mungkin, Dimmy,” sanggah Jack. “Pasti ada sesuatu yang dirahasiakan di sana. Dan itu ada hubungannya dengan si Guy.” “Ah, kalian berpikir yang bukan-bukan,” kata Dimmy. “Coba nanti kutanyakan pada Nyonya Brimming. Paling-paling jawabannya biasa saja. Mungkin kuncinya hilang - seperti yang dia katakan waktu itu.” “Tapi, mengapa kali ini pintunya disembunyikan?” Jack bersikeras. “Mengapa pula lemari yang dipakai untuk menutupi pintu itu diperberat dengan batu hingga lemarinya hampir tak bisa digeser?” “Apa? Batu? Konyol!” komentar Dimmy. “Kalian bercanda, ya? Seperti tadi - TANG! DUNG!” Dimmy menirukan bunyi yang tadi dia dengar dengan keras. Anak-anak melongo keheranan. Dimmy tertawa. “Boleh saja kalian berlagak tak tahu apa-apa,” katanya. “Pokoknya, aku tahu! Lucu ya - TANG! DUNG!” Mendengar ini anak-anak kelihatan agak takut. Mereka memandang Dimmy, lalu berpandangan satu sama lain. “Apa sih yang kaumaksud, Dimmy?” tanya Nora akhirnya. “Kami sungguh-sungguh tak mengerti apa yang kaubicarakan.” Dimmy jadi jengkel. “Baiklah! Seperti kalian ketahui, salah seorang - mungkin juga dua atau tiga orang di antara kalian - sengaja merayap kembali ke ruang tempat kita minum teh tadi, lalu membunyikan alat musik yang tergantung di dinding,” katanya. “Jangan menyangkal. Banyolan kalian memang lucu. Aku benar-benar kaget dibuatnya waktu pertama kali mendengar!” “He, tak seorang pun di antara kami melakukan hal itu,” kate Jack kaget. Ia memandang berkeliling kepada yang lain-lainnya. “Ya, kan? Kita kan tidak balik lagi tadi? Kami langsung pergi ke pintu menara. Kami sama sekali tak tahu akan suara-suara yang kaudengar itu. Dimmy.” Dimmy tak percaya akan pernyataan Jack. “Kalau begitu, mungkin alat musiknya bisa berbunyi sendiri,” katanya. “Pokoknya, aku tetap ingin tahu siapa yang membunyikan alat musik tadi. Kalau kalian sudah selesai dengan banyolan ini, kasih tahu ya!” Anak-anak meninggalkan Dimmy, lalu turun ke ruang duduk tempat mereka minum teh tadi. Semua merasa heran. “Apa maksud Dimmy?” ucap Mike. “TANG! DUNG! Mendadak saja dia mengatakan begitu. Kupikir die ngelindur waktu pertama kali bilang begitu tadi! Kita kan sama sekali tak tahu-menahu akan suara-suara itu.” “Siapa tahu alat musik kuno punya sifat seperti kursi rotan yang lama diduduki,” komentar Peggy. “Mungkin senarnya mendadak jadi kendor dan menimbulkan bunyi.” “Ah, baru kali ini aku mendengar orang bilang begitu,” kata Mike. “Kita periksa yuk!” Mereka berdiri menghadap ke dinding yang penuh digantungi berbagai jenis alat musik yang aneh-aneh. Ada gitar raksasa, banjo, gendang, dan rebana. Segala jenis alat musik ada di sana. Bahkan, banyak di antaranya yang belum pernah dilihat oleh anak-anak. Jack menyentuh salah satu senarnya. Bunyi 'tang' lembut terdengar oleh mereka. Mereka lalu sibuk menyentuh senar-senar yang lain dan mengetok gendang serta rebana hingga suasana di ruangan itu ribut bukan main. Beberapa saat setelah itu mereka jadi bosan. “Mungkin Dimmy tertidur dan ngelindur setelah kita tinggalkan tadi,” kata Jack “Mana ada alat musik berbunyi sendiri. Kita main kartu, yuk!” Mereka lalu, mengambil kartu dari lemari tempat meletakkan segala permainan yang mereka bawa. Ketika mereka sedang asyik dalam game pertama, Dimmy masuk “Asyik! Aku akan ambil jahitan, ah! Jangan ajak aku ikut main! Aku tak suka main kartu!” Dimmy pergi mengambil kaos-kaos kaki yang perlu ditisik, lalu duduk dekat anak-anak, di sisi jendela. Mereka bermain kartu di tempat teh dihidangkan sore tadi. Dimmy memandang ke luar jendela, kagum melihat keindahan pemandangan yang bisa terlihat dari situ sampai bermil-mil jauhnya. Langit berwarna biru, begitu juga pemandangan di cakrawala. Saat itu matahari sudah hampir terbenam. Warna keemasan yang ditimbulkannya meronai segalanya. Jack mulai menyerang lagi. “Tunggu dulu sebelum mulai permainan baru,” ujar Dimmy. “Lihatlah ke luar - pemandangannya indah sekali.” Semua memandang ke luar jendela. Nora mulai mengarang kata-kata puitis di kepalanya. Suasana sore itu sungguh-sungguh tenteram. TANG! Semua tertonjak. Gunting di tangan Dimmy terjatuh. “Itu dia!” ucap Dimmy, berbisik “Bunyi begitu yang kudengar tadi. Jadi, bukan kalian yang menggangguku tadi?” “Bukan - kan dari tadi kami bilang, kami tak tahu apa-apa,” sahut Nora, “Lagi pula, sekarang kan kita semua ada di sini. Tak seorang pun pergi ke mana-mana — ke tempat gitar dan alat-alat musik lainnya disimpan.” Setelah itu tak ada lagi yang terjadi. Jack bangkit, lalu menuju ke tempat alat-alat musik diletakkan. Di situ tak ada orang. Pintunya dalam keadaan terbuka. Jack menutup pintu itu. “Di sini tak ada orang,” katanya, lalu duduk. “Mungkin ada yang merayap masuk, membunyikan gitar. Siapa ya?” Jack kembali. TANG! Semua terlonjak lagi. Kali ini bunyinya keras bukan main. Jack dan Mike buru-buru menuju ke tempat penyimpanan alat-alat musik lagi. Pintunya masih tertutup! “Pasti ada yang masuk membunyikan gitar, lalu keluar lagi cepat-cepat,” ujar Jack. “Lihat - anak kuncinya tergantung di pintu. Sekarang enaknya kita kunci saja! Pasti orangnya tak bisa masuk!” Jack mengunci pintu. Dimmy kelihatan kaget. Tadi, dikiranya anak-anak yang melucu sehabis minum teh. Tapi, sekarang ia yakin bukan mereka yang melakukan hal itu. Ada orang lain yang sengaja melakukannya. DUNG! Jack membanting kartu yang sedang ia pegang. “Tak mungkin!” ucapnya. “Pintunya sudah kukunci!” Mike lari ke tempat alat-alat musik. “Pintunya masih terkunci!” teriaknya. “Sungguh-sungguh terkunci. Aku tak bisa membukanya.” Ia lalu mengamat-amati alat-alat musik yang tergantung di dinding, mencari yang mana yang baru saja berbunyi. Dicarinya senar yang masih bergerak bekas getaran. Tetapi tak ada satu pun yang terlihat bengerak. Dengan masih keheran-heranan, Mike kembali mendapatkan yang lain. DUNG! “Sialan!” umpat Jack. “Siapa sih yang iseng begini?” “Kurasa tak ada siapa pun yang sedang iseng, Jack,” kata Dimmy sambil membungkuk, mengambil gunting yang jatuh lagi dan tangannya. “Mungkin satu atau dua alat musik kuno itu berbunyi sendiri akibat cuaca yang panas - siapa tahu temperatur sepanas ini membuat bagian-bagiannya ada yang memuai.” “Tak ada alasan lain lagi memang,” komentar Peggy, “kecuali—” “Kecuali apa?” tanya Jack ketika Peggy mendadak diam. “Yah - kita kan pernah mendengar bahwa di sini memang sering terjadi hal-hal yang aneh,” kata Peggy. “kau ingat kan kata-kata pelayan restoran di hotel itu? Dia bilang di sini sering terdengar suara-suara aneh - juga kejadian-kejadian ganjil.” “Ah!” sahut Nora. “Aku sih tidak percaya. Sekarang pun aku tak mau percaya.” “Kau ingat juga kan - katanya buku-buku bisa melompat sendiri dari raknya?” lanjut Peggy. “Wah, asal saja tidak mendadak barang-barang bersimpang siur sendiri sekarang ini.” “Nah, sekarang dengar baik-baik, ya,” ucap Dimmy tiba-tiba, dengan nada serius. “Yang kalian perbincangkan saat ini tak lain adalah omong kosong - khayal! Aku tak mau mendengar pembicaraan semacam itu lagi. Masa kalian percaya sama cerita macam begitu! Mana ada buku melompat! Konyol!” “Tapi - buktinya, kita sendiri mendengar suara-suara aneh,” bantah Peggy. “Memang. Tapi, menurut kita kan itu disebabkan oleh suhu udara yang panas?” sahut Dimmy. DUNG! “Nah, itu contohnya!” Dimmy berkata tegas ketika tiba-tiba terdengar lagi bunyi aneh dari tempat alat musik disimpan. “Kita tahu di sana tak ada orang. Pintunya masih terkunci. Tapi alat musik di sana pada berbunyi sendiri. Itu namanya mereka memuai akibat udara yang panas. Titik.” TANG! “Kurasa kau benar, Dimmy,” ucap Nora. “Selama cuma bunyi aku tak takut. Kita main lagi, yuk!” Jack memulai permainan lagi. Yang lain kembali mengumpulkan kartu mereka. Sambil bermain, semua memasang telinga - menunggu suara-suara itu terdengar lagi. Tetapi tak satu pun kedengaran! Mereka mulai melupakan kejadian aneh itu, dan bermain ribut luar biasa. Dimmy memperhatikan mereka. Lega hatinya karena anak-anak tak lagi memikirkan suara-suara aneh tadi. Ia sendiri sebenarnya masih merasa tak enak. Benarkah suara-suara tadi bukan bunyi buatan? Tentu saja dia benar. Dimmy melihat ke luar jendela. Matahari sudah hampir menghilang di balik cakrawala. BUNG-BUNG! Semua terlonjak. Kartu-kartu tergelincir dari atas meja. Dimmy bangkit dengan segera. Bunyi apa lagi kali ini? Dari luar pintu terdengar suara orang. “Nona Dimity, kami datang membawakan hidangan makan malam. Tapi, mengapa pintunya dikunci?” “Astaga! Rupanya Brimmy mengetuk pintu!” ucap Jack, lega. Cepat ia berlari membukakan pintu. Brimmy berdiri di sana. Sebuah baki besar berisi makanan di tangannya. Di belakangnya, kedua adiknya juga membawa baki. Anak-anak tak menjelaskan mengapa pintunya mereka kunci. Kalau diceritakan, rasanya konyol. Melihat makanan lezat di baki, semua jadi lupa akan suara-suara aneh tadi. Dengan cekatan mereka membantu mengatur meja! “Wow!” seru Jack “ini namanya santapan raja! Tapi cocok juga buat seorang pangeran! Siap, Dimmy? Bagus! Satu, dua, tiga - mulai!” 12. PENEMUAN MENARIK SENANG rasanya tidur di kamar yang berdekat-dekatan malam itu. Pintu penghubung kamar-kamar sengaja mereka biarkan terbuka, hingga mereka masih bisa mengobrol sambil berteriak. Sebenarnya tak seorang pun merasa ngantuk. Walaupun sudah mengenakan piyama, Nora, Peggy, dan Paul masih duduk-duduk di ranjang kamar tengah mengobrol dengan Mike dan Jack. Sebentar saja mereka sudah ribut saling melempar bantal. Pekik mereka membuat suasana jadi bising. Belum lagi bunyi kursi didorong dan ditarik. “Kalau lama-lama begini, sebentar lagi pasti Dimmy masuk,” ucap Mike dengan napas terengah-engah. “Oh, sialan kau, Paul - bantalku kauambil! Ayo, cepat kembalikan!” Gedebuk! Bum! Kikik dan pekik, serta bunyi kaki telanjang berlarian di lantai kamar. Seorang terjebak di pojok kamar! Tiba-tiba Nora berteriak, “Paul! Dasar, kau! Lihat, bantalnya jatuh ke luar jendela!” Mendadak semuanya diam. Paul nampak agak bingung dan malu ketika Mike mendelik kepadanya, “Dasar tolol! Buat apa bantal itu kaulemparkan ke luar?" “Tidak sengaja,” sahut Paul, lalu pergi ke jendela. Ia melongokkan kepalanya terlalu jauh. Cepat Jack menarik celana piyamanya. Ia kuatir anak itu akan terjatuh ke luar seperti bantalnya tadi. “Itu dia bantalnya,” kata Paul. “Di rumput, di bawah sana. Biar kuambil sebentar.” Ia lari ke pintu kamarnya, lalu membukanya. Tepat pada saat itu Dimmy datang! Melihat Paul, Ia pun berteriak memanggil. “Paul! Sudah waktunya tidur. Mau apa kau?” “Cuma kepingin lihat luar,” kata Paul. “Kau sudah mau tidur sekarang, Dimmy?” “Ya. Tapi, sebelum tidur, aku ingin memastikan bahwa kalian semua sudah tidur dulu,” ujar Dimmy tegas. “Jadi, kalau kau masih ingin main petak umpet malam-malam begini, lupakan saja! Pasti kalian baru lempar-lemparan bantal. Lihat saja rupamu - kepanasan dan lusuh begitu.” “Kau benar,” sahut Paul sambil nyengir. “Selamat tidur, Dimmy!” Paul menutup pintu, lalu kembali ke tempat teman-temannya. Mereka segera naik ke tempat tidur masing-masing begitu mendengar suara Dimmy. “Si Dimmy,” kata Paul perlahan sambil melongokkan kepala ke kamar Mike dan Jack, “dia sudah mau tidur - tapi sengaja lewat sini. Mau yakin, kita sudah tidur belum, katanya. Sial! Bagaimana dong bantalnya? Aku ngeri kalau keluar mengambilnya sekarang. Takut Dimmy lihat!” “Tunggu dulu saja,” kata Mike. “Sebentar lagi, kalau dia sudah masuk ke kamarnya, kutemani kau ke luar. Sebentar lagi gelap. Kita bawa saja senter ke luar kalau situasi sudah aman. Sekarang pergilah tidur. Sebentar lagi Ranni lewat.” Dugaan Mike benar. Kira-kira seperempat jam kemudian Ranni lewat. Dengan perlahan-lahan lelaki itu membuka pintu kamar Paul. Ia ingin tahu apakah pangeran kesayangannya sudah tidur. Tidak terdengar suara apa-apa waktu Ranni menyalakan senternya dan melihat tubuh terbungkus selimut di tempat tidur Paul. Dengan hati-hati ia menutup pintu lalu keluar lagi. Paul menarik napas lega. Ketika Dimmy akhirnya masuk, Nora, Peggy, dan juga Paul sudah tertidur pulas! Dimmy mengobrol sebentar dengan Mike dan Jack. Ia lalu mengatakan selamat tidur, dan keluar. Mike duduk di tempat tidurnya. “Paul!” panggilnya dengan suara pelan. “Sudah siap kau?” Tidak terdengar jawaban! Paul sudah pergi jauh ke alam mimpi - di antara kastil-kastil, menara, dan puing-puing peninggalan desa kuno. Mike merayap hendak membangunkan anak itu. Tetapi Jack mencegahnya. “Biarkan saja dia tidur! Jangan-jangan berisik dia nanti, lalu Ranni terbangun. Kita pergi berdua saja. Sudah bawa senter?" Tanpa mengenakan jas lagi, kedua anak itu merayap ke luar kamar. Masing-masing membawa senter. Malam itu udara terasa panas. Walaupun cuma mengenakan piyama, anak-anak itu merasa kepanasan! Gelap di luar! Mereka merayap menyusur gang. Senter kadang-kadang mereka nyalakan - di tempat yang gelap di antara dua lampu. “Lebih baik keluar lewat pintu depan,” bisik Mike. “Kalau lewat dapur, aku takut ketemu Brimmy atau adik-adiknya. Lagi pula, kita tak tahu persis di mana letak pintunya.” “Kau ingat kejadian waktu kita datang tadi? Pintu depan membuka sendiri tanpa ada yang membuka!” bisik Jack “Baru sekarang aku ingat lagi.” “Ah, pasti salah seorang adik Nyonya Brimming yang membukakan,” sahut Mike. “Keduanya suka tiba-tiba menghilang. Jadi, pantas kalau yang membukakan pintu tadi salah satu dari mereka. Nah, kita sampai. Wah, besarnya!” Mereka membuka selotnya. Mudah-mudahan tak ada yang mendengar bunyinya. Sesudah itu anak kuncinya diputar, dan gagang pintunya ditarik ke bawah. Pintu raksasa itu membuka tanpa menimbulkan suara sama sekali. Mulus benar gerakan engsel-engselnya. Jack dan Mike menuruni tangga tinggi yang terdapat di depannya. “Kita berkeliling ke kanan,” ujar Jack setengah berbisik. “Kita menyusur tembok saja. Pasti bantalnya ketemu.”. Dinding kastil itu tidak lurus. Bentuknya aneh. Kadang-kadang menonjol dengan bentuk persegi. Kadang-kadang membentuk bulatan. Nampaknya ahli bangunan yang mendirikan kastil itu berniat membentuk kamar-kamarnya dengan model unik serta punya rencana mendirikan banyak menara. Cuma saja rencana itu tidak kesampaian. “Harusnya bantal itu ada di sekitar sini,” bisik Jack. Ia menyorotkan senter ke rumput. Jack menengok ke atas, mengira-ngira letak kamar mereka. Mendadak ia meraih lengan Mike dan berbisik, “Mike! Menaranya di situ! Lihat! kelihatan kan?” Mike memandang ke atas. Terlihat olehnya menara besar menjulang tinggi ke langit hitam yang kini berhiaskan bintang-bintang. Mendadak Mike berseru, “Jendelanya! Lihat, ada lampu menyala di dalam! Pasti di sana ada orang!” Kedua anak itu memandang ke puncak menara. “Ada tiga jendela yang terang,” bisik Jack. “Lihat! Rupanya ada orang yang sedang sibuk di dalamnya!” “Mungkin si Guy sedang beres-beres seperti yang kita duga,” kata Mike. “Mengeluarkan semua barang-barangnya dari sana.” “Siapa kira-kira orangnya, ya? Benar Si Guy, atau bukan?” kata Jack sambil memandang terus ke atas. Ingin rasanya Ia melihat ke dalam sana sebentar saja. “Kita diam di sini dulu, yuk! Siapa tahu orangnya melongok ke dekat jendela,” usul Mike. Mereka lalu duduk di rumput tebal, memperhatikan jendela yang terang di puncak menara. Sekali terlihat oleh mereka orang lewat di jendela. Tetapi mereka tak bisa melihat apakah orang itu Guy atau bukan. Lama-lama mereka bosan menunggu. “Kita ambil bantal, lalu pergi,” kata Jack sambil bangkit. Mendadak Ia punya gagasan. Diraihnya lengan Mike. “Eh, tunggu! Bagaimana kalau kita menyelidiki ruangan tempat pintu yang menuju menara itu terdapat? Sebentar saja! Siapa tahu pintunya tidak dikunci? Yang jelas, kita tahu saat ini sedang ada orang di menara.” “Bagus! Gagasanmu hebat,” sahut Mike, bersemangat. “Kalau kita beruntung, kita bahkan bisa mendaki tangga yang menuju ke puncaknya. Kita bisa melihat apa yang sedang terjadi di sana. Yuk, kita pergi sekarang!” Mereka berjalan kembali ke pintu depan. Pintu itu masih terbuka. Jack bersyukur melihatnya. Kalau bisa membuka sendiri, tidak mustahil pintu itu juga bisa menutup sendiri. Bagaimanapun, kali ini pintu itu wajar-wajar saja - tetap terbuka seperti ketika mereka tinggalkan tadi. Mereka masuk. Pintunya mereka tutup, kunci, dan selot kembali. Lewat bangsal penyimpanan pakaian-pakaian baja, mereka menyelinap ke gang yang menuju ruang persegi kecil tempat pintu ke arah menara terdapat. Gang yang dindingnya berhiaskan permadani itu, diterangi oleh sebuah lentera yang digantungkan pada sebuah paku. Nyala lampunya remang-remang. Sekadar cukup sebagai penunjuk jalan. Tetapi, Mike dan Jack membawa senter. Jadi, mereka tak takut kesasar! Senter mereka sorotkan ke tempat pintu menara terdapat. Pintu sempit yang tinggi itu terlihat jelas. Mike berjingkat-jingkat mendekati pintu itu, memegang tangkai pintunya. Di putarnya perlahan-lahan. Ia lalu mengeluh. “Sia-sia!” katanya. “Dikunci! Sial! Tak ada yang aneh dong jadinya pengalaman kita malam ini.” “Kita sendiri konyol sih - mengharapkan pintunya terbuka,” sahut Jack. “Si Guy takkan berani ambil risiko. Kalau dia tahu kita keluar dan melihat jendela menara terang, wah - bisa ngamuk dia.” “Kalau begitu, tak ada gunanya kita menunggu di sini,” kata Mike. “Sial. Padahal aku kepingin sekali melihat-lihat menara itu! Mengapa sih dia begitu misterius? Apakah dia menyembunyikan sesuatu di atas sana yang sama sekali tak boleh dilihat oleh orang lain? Mengapa dia mengunci diri di atas terus-terusan?” “Mungkin karena tahu bahwa sudah saatnya dia harus meninggalkan kastil ini,” sahut Jack. “Enaknya, kita taruh sesuatu di bagian bawah pintu itu - supaya kalau dia membuka pintu, benda itu terdorong olehnya.” “Buat apa?” tanya Mike. “Biar dia tahu saja bahwa kita dari sini!” Jack nyengir. “Dengan begitu dia tahu bahwa kita mencurigai dia, bahwa kita tahu dia ada di menara, bahwa kita akan melihat apakah benda yang kita letakkan di situ sudah berpindah. Kalau dia keluar, dia bisa mengembalikan bendanya di tempatnya. Tapi, kalau dia masuk lagi, dia takkan bisa meletakkan benda itu di tempatnya lagi. Dengan begitu kita tahu bahwa dia sudah kembali.” “Bagus. Kita keluarkan saja sebuah permadani dari lemari,” usul Mike. Mereka mencari, dan mendapat yang dicari. Permadaninya dilipat memanjang, lalu ditaruh persis di bawah pintu. “Bagaimana kalau arah membukanya pintu ke dalam?” ucap Jack. “Seandainya arah membukanya ke dalam, gundukan permadani ini takkan ada gunanya. Paling-paling si Guy membuka pintu dengan gampang dan biasa-biasa saja. Melihat permadani di bawah, dia bisa dengan mudah melangkahi - tak perlu memindahkan.” “Tak mungkin. Ke sini arah membukanya,” kata Mike. Ia menunjukkan goresan melingkar di lantai, bekas arah pintu dibuka. “Lihat, ada bekas goresan sudut pintunya di lantai.” “Kau benar,” sahut Jack sambil menyusupkan permadaninya lebih dalam lagi ke bawah pintu. Ia menguap lebar. “Wah, ngantuk amat, ya! Kita tidur, yuk. Sudah kaubawa bantalnya?” “Beres,” sahut Mike, memungut bantal dari lantai. “Gara-gara bantal ini kita jadi tahu bahwa menara ini sebenarnya dihuni orang!” Mereka kembali ke kamar dengan sangat berhati-hati, takut ketahuan Ranni. Ranni punya kebiasaan bangun berulang kali pada malam hari - memeniksa apakah Paul baik-baik saja! Kalau sampai ketahuan Ranni, bisa celaka mereka! Nora, Peggy, dan juga Paul masih tidur nyenyak. Mike meletakkan bantal Paul di ujung bawah tempat tidurnya. Kemudian keduanya naik ke tempat tidun. Enak tidur berselimut kain yang lembut. “Selamat tidur,” ucap Jack “Kita tanyakan soal menara itu pada Brimmy besok. Apa katanya nanti, ya?” Tidak tendengar sahutan. Mike sudah terlelap! 13. JACK MENDENGAR BANYAK Esok harinya Jack dan Mike menceritakan tentang jendela menara yang mereka lihat terang semalam. Mendengar Jack dan Mike meletakkan permadani di depan pintu, Nora dan Peggy tertawa. “Begitu selesai sarapan, kita langsung saja ke sana,” mereka memutuskan. “Kita lihat apakah permadani itu masih ditempatnya.” Ternyata sudah hilang! Pintunya masih tertutup dan dikunci. Mike memandang ke sekeliling ruangan. “Pasti Guy sudah keluar dari menara. Melihat permadani itu, dia langsung menyingkirkannya ke tempat lain. Rupanya dia tak peduli kita mencurigai dia.” Jack membukai lemari-lemari yang ada di situ, memperhatikan bagian dalamnya. “Ini dia!” serunya. “Ditaruh begitu saja di sini! Masih berbentuk lipatan kita semalam.” “Pokoknya, sekarang dia tahu kita mencurigainya,” Nora berkata senang. “Ya,” sahut Jack. “Tapi, apa gunanya? Dia akan terus saja keluar-masuk menara seenaknya. Mestinya ada yang menantang orang itu.” “Kita tanya Brimmy,” usul Mona. “Sebentar lagi dia pasti membersihkan kamar-kamar di bawah. Tadi kulihat dia berjalan ke sana. Kita cari dia, yuk” Anak-anak pergi mencari Brimmy. Perempuan itu sedang berlutut, membersihkan debu dengan memusatkan segenap perhatiannya. Wajahnya merah. “Hai, Brimmy,” sapa Mike, “kok pintu menaranya masih dikunci sih? Mana kuncinya?” Brimmy mengangkat kepala. Ia nampak bingung dan sibuk menyibakkan rambut yang terjurai ke dahinya. “Kuncinya?” dia berkata. “Ah, belum ketemu, mungkin.” “Tak mungkin,” sahut Jack. “Kami tahu ada orang yang keluar-masuk menara itu. Jadi, pasti kuncinya ada.” “Oh, kalau begitu mungkin saja sudah ketemu,” ucap Bnimmy sambil menyibukkan diri dengan sapunya. “Banyak barang-barang di sana yang harus dikeluarkan sebelum Permaisuri datang.” “Barang apa?” tanya Jack. Ia bertekad ingin tahu lebih banyak. “Barang-barang milik Lord Moon kah? Barang-barang berharga? Jadi, itu sebabnya menara selalu dikunci?” “Mungkin,” sahut Bnimmy. Suaranya terdengar jengkel dan agak ketakutan. “Ada beberapa hal yang tak ingin kuperbincangkan. Jadi, kalian jangan tanya-tanya lagi. Kalian toh cuma menyewa kastil ini - bukan membeli! Pokoknya, segala sesuatu akan terbuka dan bersih menjelang kedatangan Permaisuri minggu depan. Kalian tak memerlukan menara. Lagi pula, berbahaya kalau anak-anak bermain di menara.” “Mengapa?” tanya Nora. “Tanya lagi, tanya lagi!” ujar Brimmy sambil sibuk menyibakkan rambut dari dahinya. Ia nampaknya sangat terganggu. “Jangan ganggu! Aku sedang kerja. Kalau kalian tak pergi dari sini, aku akan bilang pada Nona Dimity. Menurutku, Nona Dimity takkan mengizinkan kalian bermain di menara. Berbahaya. Bisa-bisa kalian terjatuh dari jendelanya yang tinggi.” Pada saat itu Ranni muncul di pintu. “Nona Dimity hendak ke Bolingblow naik mobil. Ada sesuatu yang katanya perlu dibeli,” kata Ranni. “Kalian mau ikut?” “Ikut!" seru anak-anak sambil berlari menghambur ke luar. Bukan main lega Nyonya Brimming ketika itu. “He - aku tak jadi ikut,” kata Jack begitu mereka berada di tempat yang cukup jauh dari tempat Nyonya Brimming bekerja tadi. “Kalian ikut saja - semua. Aku akan bersembunyi di suatu tempat. Kurasa, Brimmy pasti akan mengingatkan Guy begitu dia pikir kita semua sudah pergi. Siapa tahu aku bisa menemukan sesuatu!” “Betul, Jack,” sahut Mike. “Kami akan membayangkan apa saja yang kaulakukan di sini sementara kami duduk-duduk menikmati es krim di kota!” Ketika yang lain berangkat, Jack bersembunyi di kamarnya. Setelah beberapa saat mobil menderu pergi, perlahan-lahan ia menyusur gang di luar kamarnya. Tak ada seorang pun di sekitar situ. Ia memutuskan hendak turun lewat tangga belakang. Siapa tahu Nyonya Brimming sedang mengatakan sesuatu kepada kedua adiknya. Dari tangga belakang dia bisa mendengar. Tangga yang dilalui Jack ternyata menuju ke deretan kamar tidur yang nampaknya khusus untuk pembantu. Letak kamar-kamar itu di lantai dasar. Sunyi. Sama sekali tak kedengaran suara apa-apa. Jack lewat di depan kamar-kamar tadi, melalui gang sempit yang tidak berkarpet. Pintu-pintunya terbuka. Untung saja ia mengenakan sepatu karet. Jadi, langkah kakinya tak menimbulkan suara ribut di lantai yang telanjang. Menikung di suatu sudut, Jack sampai pada sebuah pintu. Pintu itu menuju ke dapur. Di situ ia mendengar suara orang bercakap-cakap! Ia lalu berdiri diam di belakang pintu yang setengah terbuka, berusaha mendengarkan apa yang sedang diperbincangkan oleh perempuan-perempuan di dapur sana. Ya - pasti suara perempuan yang didengarnya. Kedengarannya suara mereka gelisah dan takut. Mendadak terdengar suara lelaki. Suaranya melengking tinggi - marah. “Tak mungkin! Itu takkan bisa selesai dalam tempo cuma beberapa hari. Kalian harus pandai-pandai saja bikin alasan. Salah kalian sendiri - tak menuruti kata-kataku, memberi izin orang masuk melihat-lihat tempat ini. Pokoknya, menara itu akan tetap kukunci. Aku tak mau tahu. Kalian cari saja alasannya. Ini semua akibat kelalaian kalian sendiri!” Jack lalu mendengar kaki dihentak-hentakkan di lantai dapur. Rupanya orang itu benar-benar marah, seperti suaranya tadi! Jack menyusup ke balik lemari. Seorang lelaki lewat, naik tangga yang baru saja dituruni Jack. Jack berusaha mengintip siapa orangnya. Guy-kah? Benar. Tak salah lagi. Memang si Guy yang lewat. Jack berpikir - haruskah dia mengikuti Guy dan melihat apakah orang itu kembali ke menara? Siapa tahu dia bisa melihat di mana kuncinya disembunyikan. Ah, tak mungkin. Pasti kuncinya selalu disimpan di sakunya. Tak ada gunanya. Akhirnya Jack memutuskan membiarkan Guy pergi dari situ. Tak enak membuntuti orang yang sedang marah. Jack diam di tempatnya bersembunyi beberapa menit lamanya, lalu keluar. Diam-diam ia masuk ke dapur yang luas itu. Brimmy terlihat di ujung sebelah sana. Ia sedang menangis. Adik-adiknya berdiri di dekatnya. Wajah mereka suram. Brimmy menjerit ketika tiba-tiba melihat Jack. “Kupikir kau ikut pergi! Masa sudah kembali secepat ini?” “Aku tidak ikut,” sahut Jack “Ada apa, Nyonya Brimming? Mengapa Anda menangis?” “Oh - kepalaku pusing,” Brimmy menjawab sambil mengusap air mata. “Kau kehabisan mainan? Mengapa tak mendengarkan kotak musik yang bisa memainkan lebih dari seratus lagu? Kalau tidak, pergi saja ke perpustakaan - melihat-lihat” Jack tahu Brimmy ingin agar dia cepat-cepat pergi dari sana. Mungkin karena takut ditanyai sesuatu yang sukar dijawab. Cepat Jack mengalihkan pembicaraan. “Anda pemah mendengar sesuatu mengenai perkampungan tua yang sudah tinggal puing-puingnya itu, Nyonya Brimming?” tanyanya. “Kami ingin melihat-lihat ke sana suatu hari nanti. Mengapa desa itu ditinggalkan orang?” Sunyi! Jack kaget melihat ketiga orang perempuan di depannya! Nampaknya mereka benar-benar kehabisan kata-kata! “Ada apa?” tanya Jack “Apakah ada sesuatu yang misterius mengenai perkampungan tua itu?” “Tidak,” Nona Edie Lots mendadak menjawab dengan suara keras. “Dulu di situ ada tambang - tambang timah. Pada suatu ketika, terjadi sesuatu. Tambang itu lalu ditinggalkan, dan orang-orangnya mengungsi ke Bolingblow. Itu sebabnya yang ada sekarang tinggal puing-puing saja. Tempat itu sepi, menyeramkan - orang waras takkan kepingin dekat-dekat tempat itu. Lebih-lebih pada malam hari!” “Wah,” ucap Jack “Menarik sekali kedengarannya! Kalau begitu, kami mesti ke sana suatu hari nanti.” “Hus! Bekas tambang tua itu sangat berbahaya,” Brimmy menimpali. Suaranya gemetar. “Kalau kalian sampai terperosok ke dalam salah satu lubang galian di situ, tamatlah riwayat kalian.” “Ah, kami takkan sesembrono itu,” sahut Jack. Ia heran mengapa ketiga perempuan itu kelihatan begitu kuatir. Ada apa sebenarnya di tempat ini? Apa yang dikerjakan oleh lelaki bernama Guy itu? Ah, seandainya ia bisa naik ke menara... “Aku mau mendengarkan musik, ah,” kata Jack akhirnya. Paling tidak, kalau yang lain datang nanti kotak musik ajaib itu sudah siap. Mereka bisa mendengarkan bersama-sama. “Di mana kotak musik itu, Nyonya Brimming?” “Mari, kutunjukkan tempatnya,” kata Nona Edie Lots dengan suara keras dan kasar. Ia menunjukkan jalan. Tak lama kemudian Jack mendapatkan dirinya berada di bangsal, ia lalu menyusur suatu lorong menuju ke sebuah ruangan yang Ietaknya tak jauh dan ruang duduk mereka. “Wah,” katanya sambil mengikuti Nona Edie Lots. “Kemarin ada kejadian aneh. Kau tahu alat-alat musik yang digantung di dekat kamar duduk kami kemarin itu, kan? Nah, mendadak kami mendengar bunyi TANG! lalu DUNG! - Begitu! Aneh, bukan? Kau pernah mendengar bunyi begitu?” Nona Edie Lots langsung mencengkeram lengan Jack. Jack kaget bukan main melihat perempuan itu begitu ketakutan. “Kau mendengar bunyi itu?” tanyanya berbisik. “Oh, tidak! Tidak! Oh, itu pertanda akan ada kejadian buruk, kalau begitu!” “Wah, aku tak tahu apa-apa sama sekali.” ujar Jack sopan. “Ada apa? Mengapa mesti terjadi suatu kejadian buruk kalau cuma gara-gara ada bunyi begitu?” “Begitulah legendanya.” Nona Edie Lots menoleh ke belakang, seolah berharap mendengar bunyi itu. “Kalau alat musik itu berbunyi, itu tandanya akan terjadi kejadian yang mengerikan!” “Maksudnya apa?” tanya Jack, merasa tertarik. “Kastilnya akan roboh atau meledak?” “Ada legenda yang tertulis di salah satu buku tua di perpustakaan - legenda itu menyebutkan bahwa selain keluarga Lord Moon tak seorang pun dapat tinggal di kastil ini dengan damai,” ujar Nona Edie Lots. “Katanya, roh penjaga kastil ini marah kalau ada orang lain datang, dan ada-ada saja kejadian yang tidak diharapkan.” “Ah, aku tak percaya,” kata Jack. “kepercayaan macam begitu kuno! Aku tak bisa ditakut-takuti dengan dalih semacam itu, Nona Lots!” “Aku bukan mau menakut-nakutimu,” ujar Nona Edie Lots. Ia lupa berbicara dengan suara berbisik karena merasa jengkel pada anak lelaki yang tak mau percaya itu. “Sejak lahir aku tinggal di sini. Aku tahu benar bahwa yang kukatakan ini bukan cuma khayalan. Sudah beberapa kali aku menyaksikan malapetaka menimpa orang-orang yang datang kemari dan bersikap tak menghiraukan legenda tua itu. Kalau kau tak percaya, akan kuceritakan semua pengalaman itu-” “Nanti saja, kalau yang lain ada di sini,” kata Jack. “Kami semua gemar mendengar dongeng kuno yang aneh-aneh. Kami senang tertawa.” Nona Edie Lots mendelik kepada Jack. Dia benar-benar tak mengerti jalan pikiran anak lelaki yang selalu tersenyum dan tidak mempercayai kata-katanya. Biasanya orang pada takut. Nona Edie Lots lalu berkata pelan. “Kelihatannya roh penjaga kastil ini merasa tak tenteram lagi,” Ia berkata dengan nada misterius. “Aku bisa merasakan hal itu! Pantas terdengar suara-suara aneh. Pasti kejadian lain yang aneh-aneh segera menyusul. Biasanya begitu.” “Wah, asyik dong!” ucap Jack, senang. “Contohnya apa? Wow, pasti yang lain senang kalau mendengar hal ini!” Nona Edie Lots kehabisan kesabaran. “Aku tak mau bercerita kalau cuma akan kalian tertawakan,” katanya, merasa tersinggung. “Kau lihat saja sendiri apa yang bakal terjadi - yang pasti, aku tidak bohong! Bunyi-bunyi aneh seperti yang kalian dengar kemarin selalu menandakan datangnya malapetaka.” “Wah," Jack berkata dengan suara riang. “Rohnya baik, ya - kasih tahu dulu kalau mau marah. Ngomong-ngomong, mana kotak musiknya? Aku kepingin mendengarkan, kalau roh penjaga kastilnya tidak keberatan!” 14. SEMUA ANEH NONA Edie Lots membawa Jack masuk ke sebuah ruangan yang gelap, karena jendelanya menghadap ke bukit di belakang kastil, dan bukan ke lembah di depannya. “Perlu lampu?” tanya Nona Edie Lots dengan nada marah. “Di sana lampunya. Tuh! Korek ada di sampingnya.” “Tak usah, terima kasih,” sahut Jack “Oh, itukah kotak musiknya? Astaga - besar sekali, dan wow, bagusnya!” Jack mendekati kotak kayu berbentuk persegi panjang. Panjangnya kira-kira satu setengah meter dan lebarnya setengah meter. Kotak itu diletakkan di atas semacam penyangga yang terbuat dari kayu berukir. Patung-patung mungil seperti tengah berdansa di sekeliling kotak dari alas tempatnya berdiri. Semuanya merupakan hasil pahatan yang halus dan indah tiada tara. “Bagaimana cara membunyikannya?” tanya Jack membuka tutupnya sambil melihat roda-roda bergigi yang terbuat dari logam berkilauan di dalamnya. Tidak ada jawaban. Jack melihat sekeliling ruangan. Mona Edie telah keluar tanpa mengatakan apa pun! Jack nyengir. Benarkah Nona Edie Lots percaya bahwa Ia bisa ditakut-takuti dengan cerita konyol macam begitu? Wah, sayang yang lain tidak ikut mendengar yag dikatakan perempuan itu tadi. “Bagaimana cara membunyikan kotak musik ini?” pikir Jack, membungkuk memeriksa kotak musik itu dengan lebih teliti. “Oh, ini dia ada petunjuknya di balik tutupnya. Harus diputar, katanya. Siapa yang bikin, ya? Pasti umurnya sudah tua sekali!” Dengan hati-hati, Jack memutar kumparan yang ada di situ, lalu mengembalikan alat pemutarnya di tempatnya. Roda-roda bergigi yang ada di dalamnya mulai berputar perlahan-lahan, dan terdengarlah musik kuno bernada gembira. Musiknya bernada manis memikat. Jack mendengarkan dengan kagum. Ada sesuatu yang luar biasa pada denting nada yang benganti-ganti itu. Ada beberapa lagu yang pernah didengar Jack sebelumnya. Tetapi, banyak yang belum pernah dia dengar. Ada bunyi yang mendadak mengusik ketenangan Jack. Ia segera mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang tak pernah kena cahaya matahari itu. Jack segera mengenali ruangan tempatnya mendengarkan musik. Ia pernah melihat-lihat kemari sebelumnya. Ya, ruangan itu adalah ruangan di mana tergantung lukisán nenek moyang Lord Moon. Lukisan itu tergantung di atas perapian. Wajah dalam lukisan itu memandang kepadanya. Pandangannya tajam dan menakutkan. Rambutnya yang hitam seolah turun ke dahi. Matanya tajam memandang Jack lekat-lekat dengan marah. “Maafkan aku kalau aku membuatmu merasa terganggu, Lord Moon,” ucap Jack sopan kepada lukisan itu. Sementara itu lagu yang dikumandangkan oleh kotak musik berganti. “Jangan memandangku dengan pandangan marah begitu!” Di antara denting yang diperdengarkan alat musik, Jack mendengar bunyi aneh yang terdengar olehnya tadi. Kedengarannya bunyi itu berasal dari sekitar perapian. Bunyi desisankah? Jack berjalan mendekati tempat perapian yang berukuran raksasa itu. Ia lalu memasang telinga. ketika Jack memandang ke lukisan besar di atasnya, ia melihat Lord Moon memandangnya seolah hendak mengucapkan seribu kata marah kepada anak lelaki kecil yang mengganggu ketenangannya. Kemudian terjadilah sesuatu yang aneh. Mata Lord Moon kelihatan hidup! Mata itu menyorot tajam dan sangat marah. Lalu tendengar bunyi mendesis lagi! Jack melangkah mundur. Dia bukan anak penakut. Pengalamannya sudah banyak dan selama ini ia selalu menghadapi segala sesuatu dengan berani. Tapi, kejadian ini sungguh-sungguh tidak diduga-duga dan terasa aneh. Lebih-lebih di ruangan yang gelap dan diiringi nada lagu yang tiada habis-habisnya dan kotak musik. Kakinya terantuk kursi kecil, dan Ia jatuh terjerembab. Ketika bangkit, Jack melihat mata lukisan itu tak lagi menyorot marah walaupun nampaknya ia masih jengkel. Jack melongo. Jantungnya berdebar-debar. Apakah sorot mata tadi itu cuma khayalannya saja? Ataukah gara-gara pantulan sinar? Bunyi mendesis yang beberapa kali didengarnya tadi kini tak terdengar lagi. Dahi Jack berkerut. Anak itu kembali ke dekat kotak musik. Dengan tiba-tiba sekali Ia menoleh kembali ke arah potret. Apakah saat ini mata itu memandangnya dengan sorot hidup penuh amarah lagi? Masih melihat kepadanya! Tetapi kali ini tak ada cahaya dalam sorot mata itu. “Khayalanku!” kata Jack kepada dirinya sendiri. “Kalau kastil ini membuatku punya khayalan macam begitu, wah, aku mesti hati-hati! Aku yakin benar mata itu hidup beberapa saat yang lalu!” Bunyi kotak musik terdengar makin pelan. Jack memutar lagi kumparannya. Kemudian Ia mendengar orang memanggilnya dengan suara keras. “Jack! Jack! Di mana kau?" Ia terlonjak kaget - tapi mendadak tertawa, menertawakan dirinya sendiri. Itu tadi suara Mike - rupanya mereka sudah pulang dan Boling- blow! Jack lari ke luar, menemui yang lain. “Itu dia!” seru Nora sambil berlari mendapatkan Jack. “Yah, Jack - sayang kau tak ikut! Kami tadi makan es dengan kue gula. Ini, kami bawakan kue gulanya buatmu.” Nora memberikan oleh-olehnya kepada Jack. Jack kemudian menuju ruang duduk berbentuk huruf L tempat yang lain berkumpul. Dimmy juga ada di sana. Anak-anak membantunya membuka bungkusan belanjaan yang baru saja mereka bawa dari Bolingblow. “Apa saja yang kaulakukan dari tadi, Jack?” tanya Dimmy. “Mestinya kau ikut kami tadi!” “Mendengarkan kotak musik yang bisa menyanyikan seratus lagu,” sahut Jack, “di ruangan yang digantungi lukisan nenek moyang Lord Moon yang bermata menakutkan itu!” Suara Jack terdengar aneh waktu mengatakan itu. Keanehan yang terdengar dalam suaranya itu membuat Mike merasa tertarik. “Ada yang aneh, ya?” tanyanya. Jack memberi isyarat kepada Mike - agar mereka menunggu dulu sampai Dimmy pergi. Untunglah tak lama kemudian Dimmy beranjak pergi, membawa barang-barang yang baru dibeli. Dengan demikian, anak-anak pun sendirian di ruangan itu. “Jack! Kau pasti punya cerita menarik!” ujar Mike. “Apa ceritanya? Kau mendengar sesuatu? Atau, ada kejadian aneh apa?” “Banyak! Dan, kau betul - aku mengalami peristiwa aneh,” kata Jack. “Dengar, ya ceritanya!” Jack menceritakan kata-kata Guy kepada ibu dan kedua bibinya di dapur tadi. Ia menceritakan pula semua yang dikatakan Nona Edie Lots mengenai roh-roh penjaga kastil. Semuanya jadi tertawa. “Lucu. Dia berusaha meyakinkan kita bahwa bunyi TANG dan DUNG yang kita dengar itu disebabkan oleh kemarahan kastil karena kita berada di sini!” ucap Mike. “Konyol amat!” TANG! Mendadak anak-anak diam, kaget. Bunyi itu terdengar merambat di udara, lalu menghilang. “Hm! Waktunya pas banget!” kata Jack ketika dilihatnya Nora dan Paul ketakutan. “Nah, roh penjaga kastil - bagaimana kalau sekarang kaubunyikan 'DUNG'!” “Hus! Jangan begitu, Jack!” Nora berkata, kuatir. Tidak terdengar bunyi 'DUNG'. “Agak tuli juga rupanya rohnya,” kata Jack. Nada suaranya riang. “Buktinya, dia tak mendengar permintaanku.” TANG! Semua terlonjak lagi. Jack lari ke tempat alat musik, lalu memeriksa setiap alat musik di situ. Tak satu pun menunjukkan senar yang bergetar bekas digerakkan. Jack berlari kembali. Mendadak ia ingat mata potret yang menyala-nyala. Diliriknya Nora dan Paul. Keduanya kelihatan agak ketakutan. Jack memutuskan tak akan menceritakan apa-apa mengenai potret itu di depan keduanya. Mike, pasti akan dia beri tahu. Juga Peggy, barangkali. “Di mana kotak musiknya?” tanya Nora. “Kita mendengarkan musik, yuk!” Tetapi terlambat. Saat itu Nona Edie Lots dan saudaranya muncul membawa nampan berisi makan siang. Dimmy muncul juga di belakang mereka. “Wah, terima kasih,” ucapnya. “Letakkan saja nampan-nampan itu di meja. Nanti kami atur sendiri mejanya. Hmmm, lezat benar kelihatannya hidangan siang ini!” Kue gula dan es tadi ternyata tidak mengenyangkan perut anak-anak. Melihat santapan siang yang begitu menarik, anak-anak menjadi tak sabar. “Wah! Asyik - banyak, lagi!” “Hus! Sudah, jangan dibuka-buka tutupnya! Nora, Peggy, ayo, atur meja! Mike, Paul, angkati piring-piring makanan itu dengan hati-hati ke meja makan. Jangan sampai terlepas tutupnya!” Tak lama kemudian semuanya sudah asyik mengelilingi meja makan. Tak habis-habisnya rasa heran Dimmy melihat kerakusan kelima anak itu makan. Melihat cara mereka makan, Dimmy merasa pasti takkan ada secuil pun yang tertinggal di piring nanti. “Kalau ingin biskuit atau buah-buahan, ambil sendiri di lemari sana,” kata Dimmy setelah selesai makan siang. Hanya Mike yang masih punya tempat lebih di perutnya untuk menampung makanan tambahan. Ia beranjak ke lemari mengambil buah prem. Tepat pada saat ia meraih buah itu dari tempatnya, dari belakangnya terdengar bunyi yang sudah beberapa kali mereka dengar. DUNG! “Nah, itu dia bunyi 'DUNG' yang kauminta tadi,” seru Mike kepada Jack. Ia menoleh ke tempat alat musik lalu cepat-cepat membawa buah premnya ke dekat yang lain. Tak seorang pun berkomentar mengenai bunyi aneh itu. Dimmy juga tidak Mereka ribut mengobrol seperti biasanya. PRANG! Kali ini mereka benar-benar kaget. “Bunyi apa itu?” tanya Dimmy. “Kedengarannya dari tempat alat musik lagi.” Mereka semua bergegas ke sana. Sebuah stoples biru besar nampak remuk di lantai. “Oh, lihat!” ujar Dimmy termangu. “Jatuh dari rak itu rupanya. Tapi, mengapa tiba-tiba jatuh? Wah sayangnya!” “Untung saja kau ada di sini, Dimmy,” kata Mike. “Kalau tidak, pasti kau mengira kami yang memecahkan! Sekarang, kita harus memberitahukan hal ini kepada Nyonya Brimming. Mungkin ia meletakkannya terlalu ke pinggir.” Jack teringat akan kata-kata Nona Edie Lots. Diam-diam hatinya merasa tak enak. Mereka kembali ke dekat jendela, tempat mereka makan tadi. Nora dan Peggy mulai membersihkan meja dan menumpuk piring-piring kotor supaya tinggal dibawa oleh Nyonya Brimming atau adik-adiknya kalau mereka datang nanti. Tak lama kemudian, muncul Nona Edie Lots. Di belakangnya terlihat Nyonya Brimming. Keduanya memandang sedih pada stoples yang sudah menjadi kepingan di Iantai. Beberapa pecahannya masih terserak di karpet, karena tak ada sikat yang bisa dipakai untuk menyingkirkan dari sana. “Aku tak tahu bagaimana asal mula kejadiannya,” kata Dimmy. “Tiba-tiba saja kami mendengar bunyi barang pecah. Ketika kami menengok kemari, stoples itu sudah pecah di lantai. Mungkin meletakkannya terlalu ke tepi, hingga terjatuh.” “Tak mungkin! Stoples itu selalu kutaruh jauh ke tengah,” kata Nona Edie Lots. “Ruangan ini - aku yang membersihkan setiap pagi.” “Aku juga merasa sayang stoples itu pecah,” lanjut Dimmy. “Tapi, sungguh - ini bukan akibat perbuatan kami.” “Nah, mulailah sudah!” ujar Nona Edie Lots. Suaranya membuat semua orang memandang heran kepadanya. “Apa yang mulai?” tanya Dimmy. “Banyak,” sahutnya. “Sebaiknya kalian pergi sebelum malapetaka yang lebih dahsyat terjadi. Legenda itu terbukti benar sekali lagi. Tanyakan saja kepadanya!” tunjuk Nona Edie Lots kepada Jack. “Aku sudah menceritakan semuanya kepada anak itu. Percayalah! Malapetaka akan datang. Harusnya kalian tidak kemari!” “Jangan bicara yang konyol-konyol,” Dimmy berkata dingin. “Aku tak mengerti apa maksudmu. Cepat ambil nampan berisi piring kotor itu, lalu pergi dari sini!” 15. PUING-PUING DESA KUNO NYONYA Brimming menunjukkan perasaan tak enak. Nona Edie Lots mengatupkan bibir rapat-rapat. Wajahnya marah dan tak enak dilihat. Dimmy berpaling kepada anak-anak “Aku hendak beristirahat di kamar. Siang ini bukan main panasnya. Kalian mau apa? Pergi berjalan-jalan?” “Mungkin kami hendak berjalan-jalan melihat desa kuno yang tinggal puing-puingnya itu,” ujar Mike. “Tadi kita kan lewat di persimpangan yang menuju ke situ lagi. Aku jadi benar-benar kepingin melihat-lihat tempat itu.” Nona Edie Lots langsung melotot. Mulutnya terbuka, seperti hendak mengatakan sesuatu. Dimmy melihat gelagatnya. Ia tak mau perempuan itu bicara lagi mengenai hal-hal yang konyol! Sebelum sempat Nona Edie Lots mengatakan sesuatu, Dimmy sudah bicara lebih dulu. Dimmy tak berhenti bicara sampai Nona Edie Lots pergi membawa piring-piring kotor. Nona Edie Lots sama sekali tak punya kesempatan untuk mengatakan apa yang hendak dia katakan. Jack tahu apa yang hendak dikatakan perempuan itu! Ia akan mencegah mereka pergi ke bekas tambang timah! “Aku naik sekarang,” kata Dimmy. “Jangan terburu-buru berangkat. Perut kalian masih terlalu penuh. Duduk-duduk dulu saja - membaca-baca!” “Kita dengarkan kotak musik yuk, Jack!” ajak Nora. “Aku senang mendengar denting kotak musik. Sungguhkah kotak musik itu bisa memainkan seratus lagu?” “Yah, aku sudah menghitung sampai tiga puluh tiga lagu, ketika kalian memanggilku,” kata Jack. “Sebaiknya - kita ke sana sekarang. kita hitung lagi. Lagu-lagunya bagus sekali.” Mereka pergi ke ruang gelap yang ada lukisan nenek moyang Lord Moon. Jack melirik lukisan itu, takut matanya bersinar lagi. Tetapi kali ini mata itu biasa-biasa saja - memandang ke bawah dengan pandangan kejam menakutkan. Anak-anak langsung mendekati kotak musik. Jack memutarnya. Musik lembut ringan segera mengalun. Anak-anak asyik mendengarkan. Tepat ketika Lagunya berakhir, Dimmy masuk dengan tergopoh-gopoh. “Ada yang masuk ke kamarku tadi? Masa kalian bertingkah sekonyol itu kepadaku?” Anak-anak memandang Dimmy dengan terheran-heran. “Berbuat apa?” tanya Jack, akhirnya. “Kau tahu sendiri bahwa kami belum naik sejak makan siang tadi, Dimmy." “Kalau begitu - aneh sekali,” ujar Dimmy. Dahinya berkerut. “Ada apa sih, Dimmy?” tanya Jack. “Tata ruangnya diputar-balik,” kata Dimmy. “Tempat tidurnya dipindahkan. Pakaianku pindah ke laci lain. Potret-potret yang kubawa, posisi dibalik semua - dan sebuah jambangan pecah di lantai.” “Oh, seperti stoples tadi?” seru Mike. “Tapi, Dimmy - siapa yang iseng bikin kamarmu jadi begitu? Kamarmu, lagi! Mana kami berani masuk tanpa seizinmu.” “Ya, aku sudah mengira ini bukan perbuatan kalian,” kata Dimmy. “Mungkin ada yang sengaja melakukan hal ini karena perasaan tak senang. Aku tak mengerti! Tadinya, aku sama sekali tak mengira bahwa Nyonya Brimming dan adik-adiknya bisa berbuat seperti itu. Mereka toh sudah tua. Masa gara-gara kita datang dan pekerjaan mereka jadi bertambah - mereka jadi berbuat yang aneh-aneh begitu?” Dimmy keluar. Anak-anak berpandang-pandangan. “Kasihan Dimmy,” kata Peggy. “Heran ada orang yang tak suka kepadanya. Dia kan orangnya baik.” “Pasti si Guy,” kata Paul. “Atau roh penjaga kastil! Yang jelas, orangnya jahat kalau tega memecahkan jambangan indah milik Lord Moon." Kotak musik masih terus mengumandangkan musik lembut. “Sudah ada yang menghitung berapa lagu yang dimainkan kotak ini tadi?” tanya Jack. “Aku lupa.” “Aku menghitung!” seru Peggy. “Sudah empat puluh satu lagu! He, dengar - kita diajari lagu ini semester yang lalu! Wah, ternyata lagu kuno, ya!” Mereka lalu asyik mendengarkan lagu itu, ketika mendadak Jack mendengar bunyi aneh dari arah perapian. Bunyi sesuatu mendesis dan kejauhan - persis yang tadi dia dengar. Dengan perasaan tak enak dia memandang ke sana. Mike mendengar juga. Begitu pula Paul. Nora dan Peggy terlalu asyik mendengarkan lagu. Tiba-tiba saja Paul berteriak keras hingga mereka terlonjak kaget. “Sialan kau, Paul,” bentak Nora marah. “Bikin orang kaget saja!” Paul sedang memandang potret. Mike dan Jack juga. “Matanya!” Paul berkata dengan terkesiap. “Matanya berubah jadi hidup! Memandangku!” Nora dan Peggy melihat ke potret yang sama. “Konyol, kau! Jangan membayangkan yang bukan-bukan dong! Matanya memang menakutkan - tapi, tetap saja itu hanya lukisan yang memandangmu, Paul!” PRANG! Sebuah lukisan mendadak jatuh dari dinding di belakang mereka. Ini membuat merek kaget sekali lagi. Jack memandang bengong. Ia lalu menghampiri pigura itu dan memeriksa tali penggantungnya. Langsung terlihat olehnya bahwa tali penggantung pigura itu putus. “Tidak apa-apa!” ujarnya dengan suara riang. “Cuma talinya. Saja yang putus. Tak ada sangkut pautnya dengan amarah Lord Moon!” “Pokoknya aku merasa tak enak,” ucap Paul. Wajahnya pucat. “Aku benar-benar melihat mata di lukisan itu jadi hidup dan menyala-nyala. Kau juga melihat kan, Mike? Kau juga?” Jack cepat-cepat memberi isyarat kepada Mike. Ia tak mau membuat Nora dan Peggy lebih ketakutan lagi. Toh keduanya tak melihat apa-apa. Karena itu Mike tidak memberi komentar pada pertanyaan Paul. Ia segera mengalihkan pembicaraan, dan mengajak mereka semua berangkat berjalan-jalan. “Kalau kelamaan di sini bisa tegang,” katanya. “Aku tak tahan dipandang begitu terus-terusan oleh Lord Moon. Lebih baik hentikan saja kotak musik itu, dan kita keluar.” “Sudah empat puluh tiga lagu,” ucap Peggy. “He, dengar - bunyi apa yang mendesis itu?” Kali ini semua mendengar bunyinya, karena kotak musiknya sudah berhenti mengalunkan lagu. Jack tidak memberi kesempatan kepada Nora dan Peggy untuk menyaksikan kejadian yang biasanya menyusul bunyi mendesis itu. Ia cepat-cepat mengajak mereka keluar. “Bukan apa-apa. Kita berangkat sekarang, yuk - kalau tidak, waktu kita takkan cukup untuk menelusuri semua bagian desa kuno yang sudah ambruk itu.” Dengan patuh Nora dan Peggy keluar. Jack sempat menoleh ke lukisan itu sekali lagi. Benar. Matanya hidup lagi dan menyala-nyala. Apa sebabnya begitu? Aneh! Mereka menuju pintu depan, lalu ke luar. Sinar matahari terasa sangat menyilaukan sehabis berada di ruangan gelap tempat mereka mendengarkan kotak musik tadi. Ranni ada di sana, sedang mengutak-utik mobil. "Oh, Ranni! Untung benar kau ada di sini sekalian dengan mobilnya!” ujar Paul. Ia lalu menoleh kepada Jack dengan bersemangat. “Ranni bisa mengantarkan kita sampai ke persimpangan jalan itu, Jack. Jadi, kita bisa menghemat waktu. Dari situ kita tak perlu berjalan terlalu jauh untuk sampai ke desa kuno itu. Lagi pula, udara siang ini panasnya bukan main.” “Bagus!” Jack setuju. Ia langsung masuk ke mobil. Ranni senang dimintai bantuan mengantar mereka. Lelaki itu bosan diam-diam saja tidak mengerjakan sesuatu. Mobil meluncur di jalan pekarangan, lalu melesat ke luar pintu gerbang. Tak lama kemudian sampailah mereka di kaki bukit, pada persimpangan jalan yang mereka tuju. “Kutunggu di sini,” kata Ranni. “Sambil menunggu aku akan bikin mobil ini mengkilap.” Anak-anak berjalan menyusur jalan jelek berbatu-batu. Dan dulu jalan itu tak lebih dari jalan setapak yang menuju ke desa pertambangan. Kini jalan sempit itu masih ditumbuhi oleh semak-semak dan banyak batu berserakan di sana-sini. Yang menjadi patokan bahwa mereka masih berada di jalan hanyalah pagar tanaman yang terlihat di kanan-kirinya. Perjalanan sampai ke desanya sendiri memakan waktu kurang lebih lima belas menit. Pemandangan di situ muram, menyedihkan. Rumah-rumahnya kosong, jendelanya patah, atapnya belah. Ada beberapa rumah yang dan dulunya beratap jerami. Kini terlihat lubang-lubang pada susunan jeraminya. “Ini pasti jalan utamanya,” kata Jack berhenti. “Mungkin itu gerejanya? Ah, sayang sekali dibiarkan rusak begini.” “Bukan main sunyi dan sepinya suasana di sini!” ujar Nora. “Malang benar nasib desa ini. Tak ada orang lalu-lalang di jalannya, tak ada bunyi pintu digedor, tak ada anak-anak berteriak gembira.” “Yang di sana itu apa?” tanya Mike sambil menunjuk. “Kelihatannya bekas gubuk dan lumbung. Sudah rusak - dan, wah, itu seperti bekas mesin tua.” “Pasti bekas-bekas tambang,” ucap Jack. “Kita dengar sendiri, dulu orang menambang timah di sini. Setelah itu orang meninggalkan desa ini. Mungkin yang ditambang sudah habis.” Tak seorang pun di antara anak-anak tahu banyak tentang tambang timah. Mereka berjalan ke tempat yang nampaknya seperti bekas lumbung, melihat mesin tua berkarat yang ada di sana. Jack menemukan sebuah lubang yang dalam sekali. Ditengoknya bagian dalamnya. “Lihat - ini tempat buruh tambang turun,” katanya. “Dan di situ ada tempat masuk lain - lebih besar dibandingkan yang ini.” “Kita turun yuk,” ajak Mike. Tentu saja Jack pun kepingin turun! “Sebaiknya anak-anak perempuan tidak ikut turun,” katanya. “Kau mau ikut, Paul? Atau mau di luar saja menjaga Nora dan Peggy?” “Ah, mereka tak perlu dijaga, kan,” kata Paul. “Paling tidak, mereka bisa kembali sendiri ke tempat Ranni. Memang kalian tak kepingin ikut turun?” “Tidak ah,” sahut Nora. “Gelap dan menakutkan di dalam. Lagi pula, bagaimana turunnya?” “Ada tangga dari besi di situ,” sahut Mike sambil mengintip ke dalam. “Wah, tapi sudah karatan sekali. Kuat tidak ya, tangganya?” “Yang ini agak bagusan,” seru Jack Jack sedang memeriksa lubang yang lebih besar tak jauh dan situ. “Mungkin umurnya lebih muda. Kita coba turun lewat sini saja. Aku duluan, ya?" Dengan hati-hati Jack menuruni tangga besi yang menempel di dinding lubang. Yang lain memperhatikan gerakannya. Tambang timah! Apa yang bisa mereka temukan dalam tambang timah? Nora membayangkan tumpukan timah lembaran terdapat di mana-mana di bawah sana. Tentu saja bayangan itu konyol. Lain lagi dengan Mike. Mike berpikir di dalamnya banyak batu yang mengandung timah! Jack berseru ketika sampai di tengah-tengah. “Tangganya cukup bagus. Turunlah kau, Mike, Paul!” Mike dan Paul lalu turun mengikuti Jack. Tangganya nampak kuat dan terpelihara. Heran. Padahal sudah begitu lama terbengkalai ditinggalkan orang. Jack sudah sampai ke dasar lubang. Ia menunggu Mike dan Paul. Satu per satu mereka melompat turun di dekat Jack. Terdengar bunyi suara aneh dari dasar lubang. “Kalian baik-baik saja, kan?” “Suara Peggy,” ucap Jack. “Suaranya jadi aneh setelah dipantulkan dalam lubang ini!” Dengan keras ia berteriak ke atas. “Kami sudah sampai di dasar. Banyak terowongan di sini. kami akan melihat-lihat sebentar, lalu naik lagi!” “Jangan sampai tersesat!”terdengar suara Peggy sekali lagi. Anak-anak lelaki membawa senter. Jack menyalakan senternya begitu sampai di bawah. Disorotnya sekelilingnya. "Terowongan mana yang hendak kita lihat?" tanyanya. "Wah kelihatannya kita akan bertualang nih!" 16. DI DALAM TAMBANG KETIGANYA memutuskan untuk melihat-lihat bagian dalam terowongan yang agak lebar. Mereka masuk ke situ. Terowongan itu atapnya agak rendah. Jack yang tubuhnya paling tinggi di antara ketiga anak itu terpaksa berjalan dengan kepala menunduk. Beberapa saat kemudian, sampailah mereka di sebuah ruangan yang menyerupai gua. Dan ruangan itu ada dua terowongan ke luar. “Lihat,” ucap Jack, memungut sebuah pisau bengkok “Pasti ini milik pekerja tambang. Juga cangkir yang pecah itu.” Mereka menyorotkan senter berkeliling. Langit-langitterowongan itu disangga oleh batangan kayu yang besar-besar. Tetapi, di beberapa tempat kayunya sudah patah hingga bagian atap yang seharusnya disangga jadi ambruk “Mudah-mudahan tak ada kayu penyangga yang tiba-tiba patah sementara kita masih ada di dalam sini,” ujar Mike sambil menyorotkan senter pada kayu-kayu penyangga—memeriksa. “Pasti umurnya sudah tua sekali. Lihat - ada mesin tua yang lucu bentuknya! Wah, sudah karatan dan mulai hancur!” Mereka masuk ke terowongan yang sebelah kanan. "Kalau hendak menjelajah tambang tua ini, kita perlu banyak waktu,” kata Jack. “Lihat saja - banyak benar terowongannya. He, apa ini?” Mereka menjumpai semacam dinding kasar yang menghalangi terowongan. Senter mereka sorotkan ke sana. “Bukan dinding!” ujar Mike. “Runtuhan dari atas. Sialan! Kita jadi tak bisa terus.” Jack menendang runtuhan tadi. Runtuhan itu hancur. Disusul oleh gundukan reruntuhan lain dan atas. Batu dan kerikil berjatuhan, menggelinding dekat kaki anak-anak. “Ada lubang di tengah-tengah gundukan ini,” Jack berkata. “Coba kulihat dengan senter. Siapa tahu ada yang penting dilihat.” Hampir saja Jack melaksanakan niatnya ketika mendadak Mike berteriak. “Jack! Jangan kausorotkan sentermu ke situ. Ada cahaya dari balik gundukan itu! Lihat - cahayanya kelihatan dari lubang itu. Apa yang bercahaya itu ya?” Jack ternganga. Benar dari lubang yang terlihat di bekas reruntuhan tadi, ada cahaya. Jack mengintip ke dalam lubang itu dengan hati berdebar-debar. Terlihat olehnya sebuah pemandangan ganjil. Di balik sana tampak sebuah gua luas. Dan situ ada terowongan ke luar. Terlihat oleh Jack nganga pintunya - gelap, berbayang-bayang. Di lantai gua ada api. Nyalanya terang, gerakan apinya tenang. Pusat nyalanya berwarna merah. Api yang dipancarkan bercahaya kehijau-hijauan. Tak terlihat oleh Jack apa yang sedang dibakar di situ. Ya, tak terlihat apa-apa sama sekali! Api itu menimbulkan suara bising. Kedengarannya seperti ada kembang api yang dinyalakan terus. Setiap letupan kecil disusul oleh sentuhan cahaya berwarna keunguan pada lidah-lidah api yang kehijauan. Akhirnya lingkaran-lingkaran asap ungu kehijau-hijauan nampak meninggalkan api itu. Jack terheran-heran menyaksikan pemandangan di situ. Apa itu? Apa yang menyebabkan ada api di situ? Mengapa api aneh itu menyala di dalam bekas galian tambang kuno? Adakah orang lain yang tahu mengenai hal ini? “Sekarang giliranku melihat,” ujar Mike, tak sabar. Jack didorongnya ke samping. Ia lalu menempelkan matanya pada lubang. Tak lama kemudian terdengar ia berteriak kagum. “Astaga! Apa itu? Api - api hijau - menyala sendiri?” Paul jadi tak sabar. Disikutnya Mike ke samping. “Sekarang giliranku!” Ia diam terpaku melihat pemandangan itu sambil mendengarkan irama percikan bunga api yang dihasilkan api itu. Tak lama kemudian Jack menariknya. “Aku lagi,” katanya. Ia lalu memandang penuh perhatian ke dalam lubang itu. Mike dan Paul yang bersandar di sisinya mendadak merasakan bahwa Jack menjadi tegang. Terdengar oleh mereka Jack menahan napas. “Ada apa? Ada apa?” bisik Mike dan Paul sambil berusaha menyingkirkan Jack dari situ hingga mereka bisa melihat. Tetapi Jack tak mau minggir. Mendadak Jack lari. Pada saat yang bersamaan yang lain mendengar bunyi menggelegar dari balik gundukan. Percikan aneh mengenai tangan dan kaki mereka. Sebentar saja mereka sibuk mengusap-usap kaki dan tangan. “Apa yang kaulihat? Ceritakan, dong!” ujar Mike sambil menggosok-gosok kakinya yang terasa seperti ditusuki jarum. “Kulihat sesosok tubuh,” kata Jack, sambil menggosok-gosok kakinya juga. “Buset! Mengapa kita tiba-tiba dihujani jarum begini? Kulihat sesosok tubuh berpakaian aneh, mengenakan topi yang dipasang hampir menutupi seluruh wajahnya. Aku tak bisa melihat lebih dari itu. Pakaiannya longgar - seperti penyelam! Orang itu menuangkan sesuatu ke api tadi. Itu yang menyebabkan suara menggelegar tadi. Bersamaan dengan itu nyala apinya berubah menjadi ungu terang. Silaunya bukan main. Aku tak bisa melihat.” Mike mengintip lagi. Tetapi betapa kecewanya anak itu! Apinya sudah padam! Walaupun bunyi bergemuruh masih terdengar, tak terlihat nyala api sama sekali. Lalu, di terowongan sebelah sana, diterangi oleh cahaya aneh, terlihat dua orang berjalan. Ya, dua! Bukan satu seperti yang dilihat Jack tadi. Mereka berjalan perlahan-lahan, membawa benda yang bentuknya seperti sapu kecil. Seorang di antara mereka lalu perlahan-lahan menyapu tempat api menyala tadi. Mendadak terlihat tumpukan benda yang berkilau-kilauan. Warna apa itu? Mike tak tahu! Rasanya dia belum pernah melihat warna seperti itu. Hijaukah - ungu, atau biru? Tak ada yang benar. Kedua orang itu menyapu tumpukan tadi dan menyekopnya. Sekopnya terbuat dari logam berkilauan. Begitu tersentuh oleh sekop, kilau benda yang bertumpuk tadi pudar. Isi sekop mereka tumpahkan ke dalam kantung berbentuk karung. Lalu keduanya menghilang ke dalam terowongan. Mike menceritakan semua yang dilihatnya tadi. Ketiga anak laki-laki itu duduk - heran dan agak takut. Apa sebenarnya yang barusan mereka saksikan itu? Apa yang sedang terjadi di bekas tambang yang sudah terbengkalai ini? “Bagaimana caranya menghilangkan tusukan jarum di kaki dan tanganku ini?” kata Jack sambil menggosok tangan dan kakinya keras-keras. “Begitu tidak digosok, rasanya nyeri sekali!” “Aku juga begitu,” sahut Mike. “Apa yang bisa kausimpulkan dari semuanya ini?” “Tak ada,” jawab Jack. “Jalan pikiranku jadi buntu sama sekali. Ini cuma tambang timah yang sudah kuno - timah ingat! Barang biasa! Tapi, yang kita saksikan tadi bukan sesuatu yang biasa. Luar biasa. Nyala api hijau yang aneh, suara bergemuruh, dan asap mengepul berbentuk lingkaran berwarna aneh. Lalu, tanpa alasan yang jelas - nyalanya mendadak padam. Hasil yang ditinggalkan lalu dikumpulkan oleh dua lelaki berpakaian janggal!” “Apakah menurutmu Guy ada sangkut pautnya dengan semuanya ini?” tanya Paul setelah diam sejenak. “Mungkin saja,” sahut Jack “Tapi, bagaimana kedua orang itu bisa masuk ke dalam gua tadi? Pasti tidak lewat jalan yang kita lalui. kalau lewat sini, gundukannya harus disingkirkan dulu. Sayang kita tak lewat jalan mereka. Kalau kita tahu jalan masuk mereka, kita bisa sembunyi sambil memperhatikan apa saja yang mereka lakukan. Ya, kita bisa melihat pula siapa kedua lelaki itu dan ke mana benda aneh tadi mereka bawa.” “Aku sih ogah keluyuran di terowongan-terowongan mi. Bagaimana kalau sampai tersesat selamanya?” kata Mike. “Bagaimana kalau kita cari peta bekas tambang ini? Kalau ada petanya, mungkin kita bisa menelusuri jalan mana yang harus kita ambil supaya sampai ke gua yang tadi itu.” “Betul. Gagasan bagus itu,” komentar Jack. “kapan-kapan kita lakukan! Aku tahu di mana kita mesti mencari petanya... di perpustakaan Kastil Bulan! Ada kemungkinan daerah ini dulunya termasuk hak milik keluarga Lord Moon. Kalau benar, pasti ada satu-dua buku yang berisi keterangan mengenai daerah ini. Aku yakin tambang ini pernah menghasilkan banyak uang bagi mereka. Mungkin baru bangkrut beberapa tahun sebelum diwariskan kepada Lord Moon yang ada sekarang ini.” Mike melihat jam tangannya. “Masa baru jam setengah empat?” tanyanya kaget. “Oh, mati rupanya!” Ternyata jam tangan mereka mati semua. “Wah, baiknya kita cepat-cepat kembali.” kata Jack. “Nora dan Peggy bisa ketakutan, Kurasa, api aneh tadi yang menyebabkan jam kita mati semua. Api itu jugalah yang membuat kita merasa ditusuki jarum tadi!” Masing-masing mengintip lagi ke lubang tadi. Lalu, karena tak ada lagi hal menarik yang bisa dilihat kecuali nyala redup dari lantai gua di sebelah sana, mereka pun kembali ke luar. Nora dan Peggy sedang bersandar di atas. keduanya merasa kuatir. Terdengar Nora menjerit ketika melihat mereka keluar dari lubang. “Mike! Jack!’ “Hai! Sebentar lagi kami sampai!” seru ketiga anak lelaki yang masih di dalam. Kemudian terdengar suara Ranni yang berat. “Sudah sore! Cepat!” Ketiga anak laki-laki itu naik. Mereka lega berada di udara terbuka lagi dan melihat sinar matahari. Tapi, betapa pedihnya tusukan jarum di tangan dan kaki mereka ketika kena sinar matahari! Ketiganya menggaruk-garuk dan menggosok-gosok dengan kuat. Nora dan Peggy keheranan. “Kalian terlalu lama di dalam. Lagi pula, sumur tua seperti itu sangat berbahaya,” Ranni berkata dengan tegas dan keras kepada Paul. “Hampir aku masuk menjemputmu, Pangeran! Mobil sampai kutinggalkan di persimpangan sana.” “Arloji kami mati semua,” ujar Paul. Ia berpaling kepada Nora dan Peggy. “Coba lihat - apakah jam kalian pun mati?” “Tidak,” sahut Nora - melirik jam tangannya, lalu jam tangan Peggy. “Apa yang kalian lihat di bawah sana? Ada sesuatu yang menarik?” “Wah, luar biasa,” ujar Jack “Nanti kuceritakan kalau kita sudah berada di mobil.” Nora dan Peggy mendengarkan dengan takjub ketika anak-anak lelaki menceritakan pengalaman mereka. Sambil mengemudikan mobil, Ranni tak mengabaikan sepatah kata pun yang diucapkan anak-anak lelaki. Ia jadi ketakutan. Dihentikannya mobil mereka, lalu ia berpaling menghadap kepada anak-anak di belakang. “Kalian tak boleh datang ke sini lagi,” ucapnya tegas. “kalau yang kalian ceritakan tadi benar, tempat ini sama sekali bukan tempat yang cocok buat kalian. Aku tak ingin pangeranku terseret ke dalam bahaya semacam itu.” "Ah masa berbahaya?” bantah Jack “Kami sama sekali tidak berada dalam keadaan bahaya, Ranni. Sama sekali tidak!” Tapi Ranni berpikiran lain. “Ada sesuatu yang sedang berlangsung di sini,” katanya. “Sesuatu yang dirahasiakan. Anak-anak tak sepantasnya ikut campur dengan urusan semacam itu. Jack - kau harus berjanji takkan turun lagi ke dalam lubang itu atau mengajak Paul ke sana.” “Wah!” Jack memprotes. “Aku tak mau berjanji begitu, Ranni. Kami harus membongkar rahasia apa sebenarnya yang terselubung di sini ini." “Kau harus berjanji,” Ranni bersikeras. ‘Kalau tidak, akan kulaporkan hal ini kepada Nona Dimity. Nona Dimity pasti akan segera mengajak kalian semua pulang ke London.” “Jangan begitu dong, Ranni,” Jack merajuk. Tetapi dia tahu sekali sifat Ranni. Tak bisa diajak kompromi. “Baiklah - kami takkan turun ke dalam lubang itu lagi,” ujar Jack sedih. “Dan kau takkan mengunjungi desa tua ini,” tambah Ranni yang tak mau ambil risiko. “Baiklah,” ucap Jack lagi. “Biar kami seperti anak kecil berusia enam tahun yang masih harus diawasi terus. Sudah, Ranni - teruskan. kita pulang.” Ranni puas. Ia meneruskan perjalanan. Jack membuat rencana. Ia kemudian memberitahukan rencananya kepada yang lain. “Meskipun kita sudah berjanji kepada Ranni takkan ke sana lagi, tak ada salahnya kita tetep mencari inforrnasi mengenai tambang tua itu dari peta-peta tua. Setelah minum teh nanti, kita berkumpul di perpustakaan, yuk!” “Bagaimana kalau buku-buku di situ berlompatan turun menjatuhi kita?” kata Mona cekikikan. “Seperti yang dikatakan pelayan restoran!” “Lebih asyik lagi,’ komentar Jack. “Janji - jangan ada yang menceritakan kejadian yang kita lihat di tambang tadi kepada Dimmy, ya! Bisa-bisa kita digiring pulang! Dimmy orangnya keras - kalau dia tahu ada bahaya, dia bisa mengambil keputusan begitu.” “Aduh, tusukan jarum di tangan dan kakiku!” keluh Mike. “Berapa lama baru akan hilang ya? Rasanya semakin sakit saja!” “Kita sampai!” Nora berkata ketika mobil meluncur masuk ke pekarangan lewat pintu gerbang. “Kalian beruntung. Walaupun kaki dan tangan kalian seperti ditusuki jarum, tapi kalian sudah menyaksikan sesuatu yang menarik. Kami tak punya pengalaman apa-apa!” 17. NYERI SEPERTI DITUSUKI DAN BUKU-BUKU BERLOMPATAN Dimmy sedang bingung memikirkan mengapa anak-anak begitu lambat pulang. Ia duduk di ruang tempat mereka biasa minum teh sambil memandang ke luar jendela - menunggu kedatangan anak-anak. Lega benar hatinya ketika terlihat olehnya mereka masuk ke ruangan tempatnya menunggu. “Ah, akhirnya datang juga kalian,” ucapnya. “Bagaimana pengalaman siang tadi?” “Asyik! Kami mengunjungi desa yang sudah runtuh itu, Dimmy,” sahut Mike. “Ranni mengantarkan kami naik mobil sampai ke persimpangan. Maaf, kami jadi terlambat begini. Keasyikan melihat-lihat sih. Wah, desa itu benar-benar unik.” “Betul,” lanjut Nora. Ia dan Peggy memang benar-benar telah menjelajah dese itu. “Puing-puing rumah yang berserakan sudah ditumbuhi semak-semak. Sedih deh melihat tempat itu. Tak ada siapa-siapa sama sekali. Cuma ada burung-burung dan kelinci berlompatan kian kemari.” “Nah, sekarang cuci tangan dulu,” kata Dimmy. "Sesudah itu segera kembali ke sini. Nyonya Brimming sebentar lagi siap menghidangkan makanan lezat buat kalian!” Tak lama kemudian semua sudah kembali ke sekeliling meja. Tangan dan kaki mereka sudah bersih. Rambut mereka tersisir rapi. Anak-anak lelaki sudah mencuci bersih tangan dan kaki mereka dengan air dingin. Mereka berharap rasa nyeri ditusuk-tusuk itu akan hilang setelah tersiram air dingin. Mula-mula memang rasa sakitnya berkurang. Tetapi, begitu sampai di meja makan rasa sakit itu datang lagi. Bahkan, kali ini lebih hebat. Ketiganya sampai menggelepar-gelepar kesakitan. "Kenapa kalian?” tanya Dimmy. “Disengat serangga?” “Tidak,” sahut Mike. “Seperti ditusuki jarum,” ujar Jack. “Mendadak kami diserang rasa sakit begini di desa tadi. Anehnya, tidak hilang-hilang sampai sekarang!” Ketika Brimmy masuk membawa nampan berisi teh dan kue-kue, Dimmy menceritakan rasa sakit yang diderita anak-anak lelaki. “Mungkinkah mereka itu disengat serangga tertentu?” tanyanya kuatir. “Aku tak mengerti. Lihatlah - mereka tak bisa diam sama sekali. Dan tadi kerjanya menggelepar-gelepar saja.” “Pasti mereka tadi sampai ke dekat tempat menambang!” katanya dengan segera. “Bahkan masuk ke dalam, kurasa! Cuma ada satu hal yang bisa dilakukan, Nona Dimity. Suruh mereka tidur. Akan kuambilkan obat gosok yang bisa dipakai mengompres tangan dan kaki mereka. Tak lama lagi pasti sembuh.” “Tapi, mengapa bisa begitu?” tanya Dimmy. “Mengapa mendekati tambang bisa menyebabkan mereka kesakitan seperti itu?” “Penyakit itulah yang menyebabkan orang-orang pergi meninggalkan desa itu,” kata Brimmy. “Datangnya tiba-tiba sekali, kata mereka. Buruh tambang sedang bekerja di tambang sebagaimana biasa. Mendadak ada kebakaran. Setelah apinya berhasil dipadamkan, mereka kembali bekerja lagi. Tetapi, mereka semua terserang rasa sakit seperti ditusuki jarum.” “Astaga!” ucap Dimmy. “Berbahayakah itu, Nyonya Brimming?” “Ah, tidak!” sahut Brirnmy. “Kalau mereka berbaring tenang, membiarkan tangan dan kaki mereka dikompres dengan cairan ini, pasti sebentar saja sembuh. Ketika mula-mula terjadi, penyakit itu menyerang semua orang - laki-laki, perempuan, anak-anak. Mereka baru sembuh setelah pergi dari sana.” “Apa penyebabnya?” tanya Dimmy, merasa tertarik. “Mana aku tahu,” sahut Bnimmy. “Kata mereka, penyebabnya adalah kebakaran yang terjadi waktu itu. Apinya menyebabkan terjadi semacam radiasi dalam tambang itu yang lalu menyembur ke luar - menyebabkan semua orang yang berada di sekitarnya merasa sakit seperti ditusuki jarum. Bisa gila mereka kalau tidak cepat-cepat pergi dari sana!” “Jadi, itu sebabnya mereka meninggalkan desa?” tanya Jack. “Benar. Sejak saat itu, tempat itu dianggap jelek,” tambah Brimmy. “Tak seorang pun mau bekerja di tambang. Mereka kehilangan mata pencarian. Dalam tempo tiga tahun, tak seorang pun tinggal di situ. Sejak saat itulah desa itu menjadi rusak dan runtuh seperti sekarang. Wah, itu terjadi sudah lebih dari seratus tahun yang lalu! Menurut nenekku peristiwa itu terjadi pada masa kakeknya masih hidup. Anak-anak ini sudah kuperingatkan agar tidak ke sana, Nona Dimity. Tapi, mereka rupanya keras kepala semua.” Dimmy tak mau menjelekkan anak-anak asuhannya. “Katanya Anda mau memberi obat cair untuk mengompres, Nyonya Brimming. Mana?" Dimmy mengira anak-anak lelaki akan memprotes jika disuruh tidur. Ternyata tidak. “Capek sakit begini terus-terusan,” keluh Mike sambil menggosok-gosok lengannya. “Kalau cuma sebentar tak apa-apa. Tapi kalau harus berjam-jam begini, wah!” “Kau benar,” komentar Jack “Seperti orang cegukan. Kalau sebentar rasanya lucu. Tapi kalau lama-lama pegel juga.” Mereka langsung naik ke kamar, melepas pakaian. Dimmy mengatakan bahwa Ia akan segera menyusul begitu mendapat obat dari Nyonya Brimming. Anak-anak membuka pintu kamar mereka. Ketiganya berdiri melongo ketika melihat ke dalam. Kamar mereka sudah berubah susunannya - persis seperti kamar Dimmy tadi! Tempat tidurnya sekarang terletak dekat jendela, pakaian mereka dikeluarkan dari dalam lemari dan disusun di atas meja, jambangan bunga ada di lantai, dan sepatu mereka di bingkai jendela. “Gila!” ucap Jack sambil memandang berkeliling. Mendengar Paul berteriak, tahulah Ia bahwa kamar anak itu pun berubah. Mereka lalu melihat kamar Nora dan Peggy. Kamar mereka pun berubah. "Benar-benar gila!” ucap Mike. “Siapa yang bikin begini? Mengapa?” “Jika roh penjaga kastil yang melakukan, dia pasti cukup sibuk sepagi ini!” kata Paul. “Konyol!” ujar Jack. “Ini bukan perbuatan roh. Perbuatan orang yang benci pada kita. Tapi, apa maksudnya?” “Semua ini merupakan bagian dari kejadian aneh-aneh yang diceritakan pelayan restoran tempo hari, barangkali,” Mike berkata sambil mengambil sepatu dari bingkai jendelanya. “He - kita cepat-cepat kembalikan posisi perabot kamar kita seperti semula. Lalu segalanya kita rapikan. Jangan sampai Dimmy tahu ini terjadi pada kamar kita juga. Kalau dia sampai tahu, bisa-bisa kita digiring pulang. Aku masih ingin tahu rahasia apa di balik semua ini.” “Hus! Dengarkan, dengarkan!” teriak yang lain. “Mike, kau dapat bagian membereskan kamar Nora dan Peggy! Aku akan membereskan kamar kita. Dan kau, Paul - kaubereskan kamarmu sendiri,” perintah Jack. “Cepat! Sebentar lagi Dimmy datang!” Dengan tangan dan kaki masih terasa nyeri, mereka bekerja secepat mungkin! Mereka baru saja selesai membereskan kamar dan sedang mulai melepas pakaian ketika Dimmy datang. Ia membawa sebuah botol besar berisi cairan hijau dan sobekan seprai tua untuk membalut tangan dan kaki mereka. Melihat mereka belum berbaring, Dimmy memandang mereka dengan jengkel. “Oh, kukira kalian sudah rapi di tempat tidur! Rupanya kalian masih sempat main petak umpet, ya? Dasar bandel!” “Betul, Dimmy!” kata Mike. “Lihat kakiku, merah terantuk meja. Aku dulu dong, Dimmy - lihat, aku sudah di tempat tidur!” Dimmy merendam pembalut dalam cairan hijau tadi, lalu melilitkan pada lengan dan kaki Mike. Mike berbaring dengan perasaan sangat lega. “Bukan main! Cairan itu terasa dingin seperti es. Hampir tak terasa sakitnya sekarang.” “Kata Nyonya Brimming kalian akan sehat seperti semula besok pagi,” Dimmy berkata. “Aneh! Aku menganggap cerita mengenai desa itu benar-benar aneh. Terus terang, aku merasa banyak hal-hal yang aneh di sini. Rasanya paling baik kita pulang saja semua.” Mike kaget bukan buatan. Ia langsung bangkit - duduk di tempat tidurnya. “Jangan begitu dong, Dimmy! Di sini asyik. Gara-gara kau bilang begitu, sakitku jadi terasa lagi nih!” “Omong kosong!” sahut Dimmy sambil mulai membalut tangan dan kaki Jack “Sudah! Berbaringlah kau, Mike. Kutinggalkan cairannya dekat tempat tidurmu supaya kau bisa membasahi lagi kain pembalutnya kalau kering. Kau ingin diambilkan buku?” “Biar Nora dan Peggy saja yang mengambilkan,” kata Mike. Mike akan minta mereka mencarikan buku mengenai kastil dan tambang tua itu. “Tolong panggilkan Nora dan Peggy, Dimmy.” Nora dan Peggy datang. Tentu saja mereka mengatakan ya ketika dimintai tolong mengambilkan buku dari perpustakaan. Mereka langsung turun. Ketika hendak masuk ke perpustakaan, mereka bertemu dengan Nona Edie Lots. Perempuan itu membawa kemucing. Jadi, Nora dan Peggy berpikir Ia baru saja membersihkan debu dari buku-buku di perpustakaan. Nona Edie Lots sedang berdiri bersandar pada pintu perpustakaan ketika mereka masuk. Wajahnya tidak menunjukkan senyum sedikit pun. “Kami boleh masuk, kan?” tanya Peggy, meminta Nona Edie Lots minggir. Perempuan itu minggir. Bahkan membukakan pintu buat mereka. “Kalian mau baca buku apa?” tanyanya. “Di sini tak ada buku untuk anak-anak.” “Kami ingin cari buku mengenai kastil ini dan tambang timah di sana itu,” kata Nora. “Astaga! Bukan main banyaknya buku di sini! Kurasa, kita takkan bisa mendapatkan buku yang kita cari di antara begitu banyak buku. Seperti mencari sebatang jarum di tumpukan jerami saja!” “Coba kubantu,” kata Nona Edie Lots. “karena seringnya membersihkan buku-buku di sini, rasanya aku hampir hafal judul buku-buku di sini. Kalian duduk-duduk saja di situ. Aku hendak mengambil tangga dari lemari di luar sana, supaya bisa kuambil buku-buku yang kalian inginkan dari tempatnya di atas sana.” Nona Edie Lots pergi dari situ, Nora dan Peggy tidak duduk seperti yang dianjurkan Nona Edie Lots. Mereka malah sibuk melihat-lihat ke sekeliling perpustakaan. Dengan pandangan sekilas, Nora mulai membaca judul-judul buku yang terlihat olehnya. Mendadak Nora menjerit. Peggy cepat-cepat menoleh ke arah Nora. Gadis itu sedang memegangi kepalanya. “Peggy! Kaulempar aku dengan buku, ya?” tuduh Nora marah. “Kena kepalaku!” “Tidak,” sahut Peggy keheranan. Keduanya lalu membungkuk, memungut buku yang terjatuh ke lantai.Tiba-tiba saja sebuah buku lagi jatuh di dekat mereka. Kali ini mengenai kaki Peggy. Peggy membalikkan badan, kaget dan ketakután. Dari mana asal buku-buku itu? Peggy menggamit tangan Nora, sambil menunjuk. Di bagian atas rak, sebuah buku sedang bergerak-gerak sendiri. Buku itu melompat, dan jatuh kira-kira setengah meter dari tempat Mora dan Peggy berdiri. “Inilah yang dikatakan oleh pelayan restoran waktu itu. Katanya, waktu ada orang datang kemari hendak melihat-lihat buku, mendadak buku-bukunya berlompatan dan rak,” bisik Peggy. “Awas! Ada buku jatuh lagi!” Benar saja. Sebuah buku lain bergerak-gerak di tempatnya. Tak lama kemudian buku itu melompat ke lantai, terjatuh dengan posisi terbuka. Jatuhnya di dekat Mona. Nora melirik ke bawah dengan agak ketakutan. Pada halaman yang terbuka, terlihat sebuah peta. Dengan segera diambilnya buku itu. Peta! Mungkinkah itu peta daerah tambang? Cepat dilihatnya judul buku itu. Agak sukar dibaca. Bentuk hurufnya, kuno, dan agak buram. “Sejarah Kastil Bulan dan Daerah di Sekitarnya.” baca Mora. “Wah, persis buku yang kita cari, Peggy!” Nona Edie Lots datang, membawa tangga perpustakaan. Melihat buku berantakan di lantai, Ia berhenti. “Jangan perlakukan buku-buku itu dengan kasar!” ujarnya marah. “Aku tak mau buku-buku itu rusak!” “Mereka melompat sendiri dari tempatnya,” kata Mona. Ia tahu bahwa kata-katanya sukar dipercaya Tetapi ternyata Mona Edie percaya! Ditaruhnya tangga di lantai, lalu langsung lari tunggang langgang! Apakah dia berpura-pura takut, atau memang takut sungguhan? Nampaknya perempuan itu benar-benar ketakutan! “Kita bawa buku ini ke kamar anak-anak lelaki,” ujar Nora. “Kita ceritakan tentang buku-buku yang melompat-lompat sendiri tadi!” 18. MEMBACA PETA ANAK-ANAK lelaki merasa sakitnya berkurang. Asal pembalutnya basah, rasa sakitnya tidak terasa. Tetapi, kalau mereka turun dari tempat tidur dan berjalan-jalan, rasa ditusuk-tusuk itu pun datang kembali! Melihat kedatangan Nora dan Peggy, mereka nampak senang. Ranni baru saja dari situ. Ia memindahkan tempat tidur Paul ke kamar Mike dan Jack. Dengan demikian ketiganya berada dalam satu kamar sekarang. “Wah! Kau bawa buku!” ucap Mike sambil meraih buku dari tangan Nora. “Sejarah Kastil Bulan dan Daerah di Sekitarnya! — Pas benar! Ternyata kau pandai mencari buku di perpustakaan! ” “Kami tidak mencari.” sahut Nora. “Buku itu turun sendiri dari rak ke dekat kaki kami!” “Jangan konyol kau." kata Mike sambil membaca buku itu. “Itu kan cuma dongeng pelayan restoran!” “Memang pelayan itu bilang begitu - tapi, kami juga punya pengalaman yang sama,” komentar Peggy. “Dengar dulu dong, Mike! Yang dikatakan Nora tadi terjadi sungguhan!” Tentu saja Nora dan Peggy segera mendapat perhatian penuh dari ketiga anak lelaki. Mereka mendengarkan baik-baik sementara keduanya menceritakan pengalaman aneh di perpustakaan tadi. Sebagai gantinya, mereka menceritakan kepada Nora dan Peggy bahwa posisi kamar mereka telah diubah orang seperti kamar Dmmmy tadi. “Aku tak mengerti apa yang sedang terjadi di sini,” ucap Mike. “Rasanya orang ingin mengusir kita dari sini. Tapi aku tak mau! Aku akan bertahan sampai keluarga Paul datang. Kalau sampai saat itu masih ada saja hal-hal aneh yang terjadi, pasti ayahmu bisa menanganinya, Paul! Tapi, aku punya perasaan, bahwa beberapa hari mendatang ini merupakan hari yang penting untuk seseorang. Guy, mungkin - atau, bisa jadi kedua orang yang kita lihat di tambang tadi. Itu, kalau kuhubungkan dengan pembicaraan yang didengar Jack tadi pagi. Yah, kita tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini.” Mereka lalu membicarakan segalanya lagi. Bunyi TANG dan DUNG, perubahan di kamar tidur meneka, buku yang terbang dari raknya, bunyi mendesis di ruangan tempat kotak musik, lalu Mike menyebutkan mata potret yang tiba-tiba menyala, seperti hidup. Ia lupa bahwa Nona dan Peggy sama sekali tak melihat peristiwa itu. Keduanya mendengarkan dengan serius, sukar untuk mempercayai apa yang mereka dengar. “Pasti itu pengaruh cahaya,” kata Peggy. “Bukan,” bantah Paul. “Ruangannya kan gelap.” “Ya tak tahulah aku kalau begitu,” kata Peggy lagi. “Terus terang aku tidak mengerti semuanya yang terjadi ini. Seandainya memang benar kastil ini mempunyai roh penjaga, aku bisa mengerti. Mungkin roh itu tak suka kita berada di sini. Tapi, aku tak percaya ada roh semacam itu!” “Aku juga tak percaya,” Jack menimpali. Yang lain pun mempunyai pendapat sama, kecuali Paul. Paul dibesarkan di Baronia, negeri yang masih penuh dengan hutan belukar dan alam pegunungan. Di sana orang percaya akan legenda. Dan, hal-hal aneh memang sering terjadi. Tapi, di sini - rasanya tak mungkin. kalau begini, apa yang terjadi ini? Mike asyik melihat-lihat buku. Tulisannya kecil-kecil, sukar dibaca. Karena itu Mike lebih tertarik pada petanya. Pada salah satu halaman, ia mendapatkan sebagian yang jelas sekali dilukiskan. Petanya ternyata berbentuk lembaran luas yang dilipat-lipat. Mike membuka salah satu peta lipat itu dan membentangkan di tempat tidurnya. Paul meninggalkan tempat tidurnya, lalu naik ke tempat tidur Mike - ikut melihat. Tak lama kemudian kelima anak itu asyik memperhatikan peta. “Ini peta kastil,” ujar Mike. “Ini denah lantai bawah. Kita cari ruang duduk berbentuk huruf L itu, yuk!” Akhirnya itu mereka temukan. Lalu juga ruang perpustakaan dan ruang tempat kotak musik disimpan serta ruangan yang mempunyai jam dinding berbentuk gereja. Banyak tangga yang mereka temukan pada peta itu. Betapa banyaknya ruangan yang ada di kastil itu! Mereka lalu meneruskan dengan denah berikutnya, denah lantai dua - tempat kamar mereka berada. “Ini kamar-kamar kita,” Mike berkata sambil menunjuk “Satu-dua -tiga berhubungan satu sama lain. ltu pasti kamar Ranni. Dan yang satu lagi ini kamar Dimmy. Lihat - ada pintu tambahan di kamar Paul. Pintu mana lagi ya? Adakah pintu di dinding sebelah kanan tempat tidurmu, Paul? Kok rasanya aku tak pernah melihat.” “Coba kulihat,” kata Paul, langsung beranjak dari tempat tidur Mike. Ia berjalan beberapa langkah, lalu kembali dengan wajah kesakitan. “Oh, sakitnya terasa lagi! Begitu aku melangkah, wow - sakitnya melebihi tadi. Peggy, tolong lihat ke kamarku. Rasanya tak ada pintu di situ.” Peggy dan Nora lari ke kamar Paul. Sesampainya di sana mereka memperhatikan dinding di sebelah kanan tempat tidur Paul. Tidak - di sana tak ada pintu. Dinding kamar itu diberi lapisan panel kayu - semuanya. kecuali pintu yang menuju koridor, dan pintu yang menghubungkan kamar itu dengan kamar yang di tengah. Tak ada pintu lain. “Tak ada,” ucap mereka ketika kembali. “Ada dua kemungkinan. Denahnya salah, atau dulu memang pernah ada pintunya - tetapi lalu dihilangkan. Dinding sekeliling kamar itu dilapisi kayu panel.” “Ke mana arahnya pintu tambahan yang terlihat di peta itu?” tanya Jack tertarik. “Coba kuperiksa. Kalau letaknya di dinding sebelah kanan tempat tidur Paul, pasti pintu itu menuju ke kamar mandi biru yang terletak di sampingnya. Betul, kan? Menurutku, dulu tak ada kamar mandi di situ. Ketika kamar mandi itu dibuat, pintunya dihilangkan.” “Jadi, maksudmu - pintu itu menghubungkan kamar Paul dengan ruangan lain yang ada di situ sebelum kamar mandinya dibikin?” tanya Peggy. “Coba kita amati lagi. Wah, diberi tanda huruf T. Mengapa, ya?” “Tutup saja deh” ujar Mike tak sabar. “He, angkat tanganmu dan situ, Peggy. Aku hendak membuka denah yang berikutnya.” Mike membentangkan denah berikutnya. Mendadak terdengar anak-anak berseru penuh semangat. “Menara! Denah menara tua!” Benar. Langsung semuanya mengerumuni denah itu dengan rasa tertarik. Denahnya berbentuk diagram. Dalam denah itu menaranya seperti dibelah dua dari atas ke bawah. Anak-anak dengan mudah bisa melihat susunan menara itu serta membayangkan bagaimana bentuk bagian dalamnya. “Itu ada pintu di bagian bawah - pintu yang dikunci itu!” kata Mike menunjuk. “Lalu ditunjukkan tangannya - wah, cukup besar juga - kemudian, kamar pada lantai pertama. Lihat, lucu benar bentuknya. Hampir bulat. Kenyataannya seluas apa, ya? Di sini sih kelihatan agak kecil. Dari kamar itu ada tangga naik lagi. Letaknya persis di sebelah luar kamar tadi. Makin ke atas tangganya makin lebar, lalu menyempit lagi dan sampai di kamar pada lantai kedua.” “Aku sudah mengira begitu bentuk bagian dalam menaranya,” ujar Paul. “Seperti salah satu menara di Istana Baronja. Lihat, dan situ ada tangga lagi menuju ke lantai tiga. Dari lantai tiga ada lagi yang menuju ke puncaknya. Hm, pemandangan dari situ pasti bagus benar!” “Kotak-kotak yang terdapat di setiap kamar ini pasti perapian,” lanjut Mike, menunjuk. “Garis ini cerobongnya. Menghubungkan perapian di tiap lantai, dan menuju ke tempat pembuangan asap di atap sana.” Nora menunjuk sebuah pintu kecil yang dilukiskan pada perapian di lantai dua. “Ini apa?” tanyanya. “Jelas bukan yang menuju ke tangga. Itu lain lagi. Ini dia terlukis di sebelah sini. Tapi, jelas itu gambar pintu. Tanda apa yang ada di situ?” “Kelihatannya sepenti huruf T,” komentar Jack. Peggy langsung teringat akan sesuatu. “T! Wah, pintu rahasia di kamar Paul yang tak berhasil kita temukan juga diberi tanda T,” ucapnya. “Mungkin T singkatan Tower - maksudnya, menara!” “Mengapa pintu di kamar Paul diberi tanda T kalau begitu?" Mike meremehkan. “Yah, siapa tahu dulunya pintu itu berhubungan dengan menara,” Peggy mempertahankan pendapatnya. “Maksudku, mungkin dulu ada gang yang menghubungkan bagian kastil sebelah sini dengan menara. Toh letak menaranya tak begitu jauh dari sini!” Mike memandang Peggy. Otaknya berputar - memikir. “Kurasa Peggy benar,” ujarnya kepada yang lain. “Tunggu dulu sebentar - kita coba memeriksa denah-denah lainnya.” Ternyata tak ada lagi denah besar, kecuali denah gudang di lantai paling atas. Yang itu sama sekali tidak menarik perhatian anak-anak. Tetapi ada sebuah denah kecil bertuliskan SEMUA PEMGHUBUNG yang membuat anak-anak sejenak terheran -heran. “Semua penghubung - mungkin maksudnya tangga, gang koridor, dan sebagainya yang menghubungkan bagian satu dengan bagian lainnya di kastil ini,” kata Mike. “kalau benar begitu, pasti rumit denah yang satu ini. Sebagai contoh, tak satu tangga pun yang berhasil kutemukan di sini.” “Penghubung yang dimaksudkan mungkin jalan rahasia,” ujar Paul mendadak. “Hampir semua kastil kuno mempunyai jalan-jalan rahasia. Juga pintu-pintu rahasia. Istana kami di Baronia punya. Gunanya macam-macam. Untuk menyembunyjkan sesuatu, untuk tempat persembunyian, untuk meloloskan diri kalau dikepung musuh. Kurasa Kastil Bulan pun mempunyai tempat-tempat semacam itu.” “Wah, kemungkinan besar kau benar, Paul,” komentar Mike. Mendadak wajahnya berseri-seri penuh semangat. Ia membungkuk lagi memperhatikan denah di depannya. Lalu ditunjuknya garis melengkung di sana. “Lengkungan ini ditandai dengan huruf T di kedua ujungnya,” katanya. “Mungkin lengkungan ini melukiskan gang penghubung dan pintu di kamar Paul ke menara. Wah! Kalau kita bisa menemukan jalan rahasia ke menara... asyik!” Anak-anak bergumam senang. Mendadak Paul meninju kasur. “Kita harus menemukannya! Jadi kita bisa ke sana diam-diam melihat apa yang dilakukan Guy di dalam sana.” “He, lihat ini!” tambah Mike, menunjuk ke denah lagi. “Nampaknya lorong dari pintu rahasia di kamar Paul itu ada di dalam tembok di antara tempat tertentu, dan keluar di pintu lain - atau mungkin keluarnya di suatu lubang - dalam lubang cerobong asap di salah satu ruang yang ada di menara. Bagaimana pendapat kalian?” Semua jadi penuh harap, mudah-mudahan Mike benar. “Aku tahu bagaimana cara memastikan hal itu,” ujar Mike. “Kita ukur saja lebar kamar Paul dari dalam, lalu lebar kamar mandinya. Setelah itu kita jumlahkan, lalu kita periksa berapa lebar dinding kedua kamar itu dari luar, dan koridor. Kalau ternyata yang kedua ini lebih panjang dibandingkan jumlah yang diukur dari dalam tadi, itu berarti kelebihannya merupakan lebar gang rahasianya!” “Astaga! Hebat benar gagasanmu!” komentar Peggy. “Akan kuambil meteran dari keranjang jahitanku sekarang juga.” Dalam waktu singkat Peggy sudah mendapatkan meterannya. Ia dan Nora lalu mengukur lebar kamar Paul. Dari dinding sebelah kiri sampai dinding sebelah kanan lebarnya persis empat meter. Nora melongokkan kepala ke kamar Mike. “Lebarnya persis empat meter,” ucapnya. “Sekarang kami akan mengukur lebar kamar mandi.” Dengan sangat teliti keduanya mengukur. Tak lama kemudian meneka kembali melapor. “Dua setengah meter,” kata Nora. “Jadi jumlah lebar keduanya adalah empat ditambah dua setengah sama dengan enam setengah meter. Sekarang, kita ukur panjang dinding koridor yang membentang dari dinding sebelah sana kamar Paul sampai ke dinding sebelah sini kamar mandi.” Teliti sekali keduanya mengukur. Tak lama kemudian keduanya selesai mengukur dan berlari kembali ke kamar Mike. “Jumlahnya berbeda! Dari dalam jumlahnya enam setengah meter. Tapi dari luar tujuh meter! Nah, jadi bagaimana nih?” Mike kelihatan bersemangat. “Beda setengah meter! Wah, cocok sekali kalau yang setengah meter itu lebar sebuah lorong rahasia. Bagus! Jadi kita bisa menyimpulkan bahwa ada semacam lorong yang berasal dari sebelah luar kamar Paul, memanjang di antara kamar itu dan kamar mandi, lalu menikung ke menara!” “Kita cari pintu rahasianya sekarang yuk!” usul Paul tak sabar. Ia langsung melompat turun dari tempat tidur. Tetapi, segera anak itu kembali sambil mengerang. Anak-anak lelaki lupa membasahi pembalut mereka dengan obat cair yang ditinggalkan Dimmy. Saat itu pembalut mereka sudah kering. Itu sebabnya rasa sakit mereka terasa lagi. “Yah, malam ini terpaksa kita tak bisa mencari pintu rahasia itu,” Mike berkata kecewa. “Hus, jangan berani-berani mencari pintu rahasia itu sendiri. Tunggu sampai kita bisa mencarinya bersama-sama. Besok! Wah, pasti asyik” 19. PADA TENGAH MALAM ANAK-ANAK masih bersemangat ketika waktu untuk tidur tiba malam itu. Seorang pun tak ada yang bisa tidur. Paul berguling ke kiri dan ke kanan, tak habis-habisnya memikirkan di mana pintu rahasia itu tersembunyi - seandainya memang ada. “Ah, pasti ada!” pikirnya. “Soalnya, memang ada rongga di antara dinding kamar ini dengan dinding kamar mandi.” Paul penasaran. Ia sibuk mengetuk-ngetuk dinding kamarnya, memeriksa apakah ada pintu di balik panel yang menutupi dinding. Kalau suaranya nyaring, tentu di situ ada pintu! Tetapi, belum sempat memeriksa dengan teliti seluruh dinding di sebelah kanan kamarnya, Paul terpaksa kembali ke tempat tidur. Rasa sakitnya mendadak datang lagi menyerang. Mendengar bunyi ketukan, Mike berseru, “Paul! Jangan cari pintu rahasia itu sekarang! Tunggu sampai kita semua bisa melakukannya bersama-sama!” “Akur!” sahut Paul. Saat itu dia sudah berbaring kembali di tempat tidur, sibuk menggosok-gosok lengannya. Walaupun Paul ingin tidur di kamar Mike malam itu, Ranni bersikeras memindahkan kembali tempat tidur Paul ke kamarnya. “Aku akan menengokmu kemari dua-tiga kali malam nanti, Pangeran,” katanya. Lelaki itu nampaknya sangat prihatin melihat tuannya menderita. “Jangan kaget kalau tiba-tiba kau melihatku berdiri di dekatmu.” “Ah, jangan terlalu merisaukanku, Ranni,” sahut Paul. Tapi kata-kata Paul tak ada gunanya. Ranni terlalu sayang padanya, dan ingin selalu berada di dekatnya sebisa mungkin. Akhirnya semua tertidur. Yang paling dulu tertidur adalah Nora dan Peggy. Maklum, mereka tak merasa sakit. Paul berguling ke kiri dan ke kanan untuk beberapa saat lamanya sebelum akhirnya tertidur juga. Beberapa jam kemudian mendadak ia terbangun. Anak itu duduk bertanya-tanya mengapa ia tiba-tiba terbangun. Rasanya Ia mendengar bunyi 'klik' yang cukup keras dalam mimpinya tadi. Tampak olehnya bayangan seseorang di jendela. Paul pun berbaring kembali. “Sialan kau, Ranni,” gumamnya. “Gara-gara kau aku jadi tenbangun!” Paul diam berbaring, memperhatikan Ranni. Lalu matanya mulai tertutup lagi. Mengira Ranni hendak masuk ke kamarnya dan ribut membasahi pembalutnya, Paul lalu pura-pura tidur. Semenit dua menit lamanya Paul tak mendengar suara apa-apa. Ia membuka matanya lagi. Tak seorang pun terlihat olehnya. Rupanya Ranni sudah pergi. Bagus! Bunyi 'klik' yang sama seperti yang didengarnya tadi kembali terdengar. Mata Paul yang mengantuk jadi terbuka lagi. Ranni keluar dari kamar, pasti, pikirnya. Rasanya Ia melihat bayangan orang di dinding. Paul lalu membuka matanya lebar-lebar supaya lebih jelas melihat. Tapi, ah - betapa mengantuk matanya. Bunyi 'klik' dan bayang-bayang serta Ranni berbaur dalam mimpinya. Tak terdengar olehnya suara orang berbicara pelan di samping kamarnya. Mike dan Jack yang berbincang-bincang. Mereka pun terbangun dengan tiba-tiba. Tetapi keduanya tak tahu apa yang menyebabkan mereka terbangun itu. Mike merasa mendengar ada suara dalam kamar. Ia berusaha membuka matanya lebar-lebar mencari dari mana asalnya bunyi yang dia dengar tadi. Kamarnya gelap sekali. Tak ada cahaya sedikit pun masuk dan jendela. Melihat bintang di langit pun Mike tak bisa. Dengan suara pelan Jack berkata, “Kau bangun, Mike? Bagaimana rasa sakitmu?” “Belum sembuh benar,” sahut Mike. “Ngantuknya bukan main. Malas rasanya turun dari tempat tidur. Tapi, aku harus bangun juga - mengambil obat cair. Pembalutku sudah kering." “Aku juga,” kata Jack “Sial benar kita jadi begini gara-gara turun ke tambang.” Terdengar bunyi tempat tidur berderit ketika Mike dan Jack bangkit Mike meraba-raba senter yang selalu dia letakkan di samping tempat tidurnya. Tetapi kali ini tidak ketemu. “Coba nyalakan sentermu, Jack,” katanya. “Punyaku tidak ketemu.” “Beres,” sahut Jack. Ia mulai meraba-raba mencari senternya. Tetapi, punya Jack pun tak ada! “Di mana kutaruh senterku ya!” gerutunya. “Tinggal di kastil memang enak. Tapi aku kehilangan lampu listrik yang bisa dinyalakan setiap saat. Di mana sih senterku?” “Malam ini gelapnya bukan main!” tambah Mike. “Heran! Padahal waktu kita pergi tidur tadi di luar banyak sekali bintang. Bulan memang tak kelihatan. Tapi, bintang beribu-ribu. Mungkin mendadak tertutup awan.” Jack turun dari tempat tidurnya. Ia penasaran - kepingin menemukan senternya. “Mungkin ketinggalan di dekat jendela,” ujarnya. “Au! Sakitnya!” Jack merayap ke jendela. Tidak juga ketemu! Ada sesuatu yang tebal dan lembut menggantung di situ. “Wah!” ucapnya tiba-tiba. “Siapa yang menutup gorden jendela kita? Pantas gelapnya bukan main. Gordennya tebal sekali. Tentu saja kamar kita gelap gulita dan sumpek setengah mati. Jadi, itu sebabnya aku tadi kepanasan di tempat tidur.” “Bukan aku yang menutup!” sahut Mike. “Kau tahu sendiri aku paling tak suka tidur di kamar yang jendelanya ditutup dan digordeni sekalian! Mungkin Dimmy masuk tadi - lalu menutup tirai itu.” “Buat apa ditutup?” sahut Jack. “Dia malah selalu melarang kita menutup gorden! Biar kubuka lagi - supaya ada udara masuk. Pasti malam di luar cerah berbintang.” Terdengar bunyi berderit lembut ketika gorden ditarik membuka oleh Jack. Jack bersandar di jendela, melongokkan kepalanya ke luar - menghirup udara segar. Benar. Langit penuh dengan bintang. “Nah, begini lebih enak," komentar Mike, bangkit dan tempat tidur. “Rasanya bisa bernapas lega sekarang. Kamar kita jadi terang - banyak bintang di luar.” Mike mengikuti Jack - menyandarkan diri di jendela. Malam itu sungguh-sungguh indah. Walaupun masih ingin menikmati udara malam yang sejuk, Mike dan Jack merasa harus cepat-cepat membasahi pembalut tangan dan kaki mereka. Rasa sakitnya datang lagi, hampir tak tertahankan! Keduanya lalu meraba-raba mencari botolnya. “Cahaya bintang sudah cukup sebenarnya,” kata Jack. “Tapi aku jadi penasaran. Ke mana senterku? Aku yakin sudah menaruh dekat tempat tidur.” Spons yang tencelup dalam obat cair akhirnya mereka temukan. Dengan spons itu keduanya membasahi kembali pembalut tangan dan kaki. “Nah, begini rasanya jadi tak sakit,” kata Jack. Keduanya kembali ke jendela, ingin melihat suasana malam yang cerah sekali lagi. Mereka melihat sesuatu. Keduanya melongo sambil menahan napas. “Lihat! Apa itu?” ucap Jack, kaget. “Cahaya - semacam sinar - menyala di desa bekas tambang!” kata Mike, takjub. “Apa warnanya? Sama seperti tumpukan yang disapu kedua orang dalam tambang setelah terdengar bunyi menggelegar itu!” “Betul,” kata Jack. Matanya tak lepas-lepas memandang cahaya lembut yang meliputi atap-atap rumah di desa tua jauh di sana. “Astaga! Ini namanya aneh, Jack. Apa yang sedang terjadi di sini - dan di dalam tambang tua itu? Aku yakin ada sangkut pautnya dengan si Guy!” “Dia sedang membuat percobaan, mungkin,” komentar Mike. “kalau benar itu yang jadi alasan, bisa dimengerti mengapa ia tak suka ada orang yang datang kemari. Sekarang, karena dia tahu orang tua Paul akan datang dalam beberapa hari ini, terpaksa Ia menyelesaikan percobaannya dan menyingkir. Pantas dia marah!” Cahaya aneh itu meredup, walaupun sinarnya yang lemah masih bersinar cantik. Mike dan Jack menyaksikan terus sampai cahayanya pudar sama sekali. “Bukan main!” kata Mike sambil kembali ke tempat tidur. “Pasti Guy jengkel kalau tahu kita melihat! Yang itu tak bisa dia sembunyikan. Orang akan segera bertanya-tanya kalau melihat hal itu. Dan ini bisa membuat percobaannya diketahui orang!” “Sudah tentu dia tak ingin kita melihat!” ucap Jack. “Kurasa, itu sebabnya gorden kita ditutup. Maksudnya, supaya kalau kita terbangun kita tak bisa melihat pemandangan di luar! Itu pula sebabnya senter kita menghilang. Supaya kita tak bisa melihat bahwa gorden jendela kita ditutup!” “Astaga!” gumam Mike, duduk dengan rasa jengkel di tempat tidurnya. “Jadi dia masuk kemari - menutup gorden, menyembunyikan senter kita! Wah, kurasa dia melakukan hal yang sama di kamar Nora dan Peggy juga. Juga di kamar Paul.” “Kurasa begitu,” kata Jack. “Coba kulihat.” Sebentar saja Jack sudah kembali. Ia melapor kepada Mike bahwa dugaan mereka benar. Semua gorden tertutup rapat! “Sudah kubuka kembali, tapi,” tambah Jack “Kau dengar kan bunyinya? Tapi, dia ke manakan senter kita? Kalau dia bawa pergi, aku akan ngamuk!” “Pokoknya, kita sudah melihat sesuatu yang dia tak mau kita melihatnya,” Mike berkata puas. “Kita menang angka! Dia ketakutan. Karena itu dia berusaha mencegah agar kita tak menemukan apa yang sedang dia lakukan!” “Ya. Dia tahu kita menyelidik,” tambah Jack, naik ke tempat tidur dan berbaring lagi. “Dia menemukan permadani yang kita letakkan di muka pintu menara. Dia tahu kita sudah memindahkan lemari yang menghalangi pintunya.” “Bayangkan! Dia sampai berani masuk kemari tengah malam begini - menutup garden dan mengambil senter kita,” kata Mike. “Mau tak mau dia harus lewat kamar Ranni. Padahal Ranni gampang sekali terbangun.” “Siapa tahu dia datang kemari lewat pintu rahasia yang hendak kita cari itu,” Jack berkata, sambil duduk tegak lagi. “Dari menara dia lewat lorong rahasia - langsung kemari! Dengan begitu, dia tak perlu lewat kamar siapa pun dan pasti takkan bertemu siapa-siapa. Wah, sekarang aku yakin dia lewat sana!” “Penasaran jadinya! Aku pasti takkan bisa tidur lagi,” ucap Mike. “Kastil ini sungguh-sungguh luar biasa. Ada suara-suara TANG-DUNG, jambangan pecah, buku beterbangan, mata potret menyala-nyala, pintu-pintu rahasia, tambang aneh - kalau dipikir-pikir sudah cukup banyak pengalaman aneh yang kita alami, Jack. Tapi yang kali ini - sangat lain daripada yang lain!” “Betul. Dan kita masih berada di tengah-tengahnya sampai saat ini,” sahut Jack “Sudah dulu ah. Kita mesti tidur dulu, Mike. Besok kita cari pintu rahasia di kamar Paul. Kurasa letaknya sangat tersembunyi. Yang jelas, kita harus menemukannya!” Mereka mencoba tidur. Rasa sakit di kaki dan tangan mereka agak berkurang lagi. Sambil berbaring keduanya memandang ke langit yang penuh bintang lewat jendela yang kini terbuka tirainya. Berbagai perasaan bercampur aduk dalam diri mereka. Terkadang heran dan bingung, terkadang senang dan bergairah. Akhirnya mereka tertidur. Baru esok harinya terbangun. Itu pun hari sudah tinggi. Nora dan Peggy sudah lama bangun. Mendengar Jack berbicara kepada Mike, Ia lalu masuk ke kamar mereka. “He, Pemalas!” serunya. “Kami sudah mau turun sarapan. Bagaimana kaki kalian?” “Yah - rasanya sih sudah tidak apa-apa,” sahut Jack sambil bangkit dan tempat tidur dan mencoba berjalan. “Betul! Wah, asyik! Sudah sembuh sama sekali!” “Jadi, kalian takkan tinggal di tempat tidur hari ini?” senu Nona kegirangan. “Astaga! Tentu saja tidak!” Mike bersuara sambil melompat turun dari tempat tidurnya. “Kami sudah sembuh. He - kalian kehilangan senter?” “Ya,” sahut Nona dan Peggy berbarengan. “Punya kami dua-duanya hilang. Kami pikir kalian pinjam.” Paul melongokkan kepala dari pintu. “Bagaimana kaki kalian? Sembuh?” tanyanya. “Kakiku sudah sembuh. Kalian mempenbincangkan senter, ya? Kepunyaanku juga hilang!” “Buset!” Mike mengumpat. “Kalau begitu kita sama sekali tak punya senter dong. Hus, jangan bingung begitu! Dengan - aku dan Jack punya cerita menarik. Terjadinya tengah malam - waktu kalian semua sedang asyik mendengkur. Rupanya kita saat ini ada di tengah-tengah suatu petualangan! Petualangan aneh - paling aneh dari yang pernah kita alami. Tunggu kami ganti pakaian dulu. Nanti kami ceritakan pada kalian. Kita harus bikin rencana. Ha, betul - rencana! Hari inii kita bakal sibuk!" 20. DI MANA LETAK PINTU RAHASIA? Dimmy lega melihat anak-anak lelaki sudah sembuh kaki dan tangannya. Ia mengabarkan hal itu kepada Nyonya Brimming dan Nona Edie Lots waktu keduanya datang hendak membawa pining-piring kotor bekas sarapan. “Obatnya manjur sekali,” katanya. “Bagaimana kau bisa tahu obat penyakit seperti itu? Apakah kau sendiri pernah menderita penyakit yang sama?" “Tidak. Anakku yang pernah,” kata Brimmy. Mike langsung menyikut Jack. “Tentu saja,” bisiknya. Jack nyengir. “Ya, tiap kali habis turun ke tambang!” “Sayang hari hujan,” lanjut Brimmy. “Anak-anak jadi tak bisa bermain di luar.” “Tak apa-apa. Banyak yang bisa kami lakukan,” ujar Jack seketika, sambil mengedipkan mata kepada yang lain. Mereka tertawa. Mereka tahu maksud Jack mengedipkan mata - artinya, mereka hendak mencari pintu rahasia di kamar Paul. Nora, Peggy, dan Paul sudah mendengar kisah yang terjadi semalam. Mereka ikut bersemangat. “Kalian mau main di mana?" Tanya Dimmy setelah selesai sarapan. “Kalau mau, kalian boleh bermain di sini. Toh bekas sarapan sudah dibersihkan.” “Ah, kami mau naik ke kamar saja, Dimmy. Ada yang hilang. Kami ingin mencarinya,” kata Jack “Kau jadi bisa menjahit di sini dengan tenang. Lagi pula, kami punya mainan di atas. Jadi kami takkan mengganggu dengan teriakan dan kebisingan.” “Ah, kalian tak menggangguku,” sahut Dimmy. “Tapi, kalau kalian memang ingin bermain di kamar, boleh saja. Sebaiknya tunggu dulu sampai kamar kalian selesai disapu dan dibersihkan. Ngomong-ngomong, jangan lupa mengembalikan buku yang kaupinjam dari perpustakaan tadi malam.” “Oh ya - kuambil saja sekarang,” kata Jack. “Kalian berempat - tunggu aku di perpustakaan, ya.” Dia cepat pergi, dan anak-anak yang lain segera menuju ruang perpustakaan. “Mudah-mudahan ada buku yang melompat-lompat lagi!” ucap Nora. Dia menengok ke atas. “He, buku - kami di sini!” Sayangnya tak ada kejadian aneh kali ini. Buku-buku yang berjatuhan kemarin sudah diambil dari lantai dan dikembalikan ke tempatnya. Cuma ada satu tempat yang masih kosong - tempat Sejarah Kastil Bulan! Jack masuk membawa buku tebal itu. Ditutupnya pintu, lalu ia melihat ke sekelilingnya. “Sudah ada pertunjukan sirkus lagi?” tanyanya. Nora dan Peggy menggelengkan kepala. “Tak ada. Bosan deh jadinya,” kata Nora. "Buku-bukunya bersikap seperti buku beneran.” Terdengar pintu diketuk. “Masuk!" seru Jack. Pintu dibuka, dan Nona Edie Lots berdiri di sana. “Kudengar kalian ada di sini,” katanya, “Awas, jangan kalian lempar-lemparkan bukunya seperti kemarin, ya! Buku-buku ini sangat berharga.” “Kami tidak melempar-lemparkan buku. Kau tahu sendiri kami tak melakukan hal itu,” ujar Nora. “Kan sudah kami ceritakan apa yang terjadi kepadamu. Kau malah lari ke luar ketakutan.” Nona Edie Lots tak memberi komentar. Dia memperhatikan buku tebal yang dipegang Jack. “Oh, jadi kau kemari hendak mengembalikan buku itu?” katanya. “Kuambilkan tangganya - tempat buku itu di rak yang paling atas.” Perempuan itu menghilang. Beberapa saat kemudian dia datang membawa tangga. Dia menyandarkan tangga itu di rak buku, lalu pergi lagi. “Pelit banget sih,” gerutu Mike. “Aku tak suka kepadanya. Semua juga tak kusukai - tiga-tiganya! Ada yang masih ingin melihat buku ini lagi sebelum kukembalikan ke tempatnya?” “Ssst, jangan bicara terlalu keras,” kata Peggy tiba-tiba. “Aku punya perasaan si Edie nguping dari pintu. Aku kepingin melihat sekali lagi di mana letak lorong rahasia yang menuju ke menara itu!” Yang terakhir diucapkan Peggy dengan benar-benar berbisik hingga orang yang nguping takkan mendengar. Mereka mengamati denahnya sekali lagi. “Sayang tidak ada denah tambangnya sekalian,” ucap Jack. “Aku ingin mencari buku mengenal tambang itu.” BRUK! Semuanya terlonjak kaget. Sebuah buku jatuh ke dekat mereka dengan halaman setengah terbuka. “Selamat datang, buku manis!” sapa Jack “Apakah kebetulan kau buku mengenai tambang?” Dipungutnya buku itu. Ternyata bukan. Judulnya Rolland, Bangsawan dan Barlingford - Sejarah tentang Kuda-kudanya. “Maaf, Pangeran Rolland,” kata Jack pula. “Aku tidak tertarik membaca kisah kuda-kudamu. Walaupun begitu, terima kasih kau mau menjatuhkan diri ke dekat kepalaku.” “Jack - lihat,” bisik Mike. Cepat Jack menoleh. Terlihat olehnya Mike dan yang lainnya sedang memandang lukisan di atas perapian. Lukisan itu bergoyang sendiri! Yang terlukis di situ pemandangan gunung dan bukit-bukit. Gelap, dan sama sekali tidak meranik perhatian. Cuma karena potret itu bergoyang-goyang maka anak-anak memperhatikannya. Jack menghampiri, lalu menahan potret itu supaya tidak bergerak. Dengan segera gerakannya berhenti. “Hi, seram! Aku tak suka melihat yang seperti itu,” kata Nora. “Lebih baik melihat buku yang melompat sendiri!” BRUK! BRAK! Anak-anak membalikkan badan. Ada dua buku lagi terjatuh ke lantai. Lalu Jack melihat ada buku lain lagi yang sedang bergerak-gerak di tempatnya. Tak lama kemudian buku itu pun melompat ke lantai. “Yang jatuh berasal dari rak yang sama,” komentar Paul. “Aneh, bukan? Astaga, lukisan itu bergerak-gerak lagi!” Betul saja. Lukisan gunung itu bergerak-gerak seperti bandul jam dinding. Bedanya, kali ini gerakannya lebih lambat. Jack berdiri di tangga, memperhatikannya. Apa maksud kejadian konyol itu? “Lemparkan buku-buku itu kemari,” teriaknya kepada Mike. “Kukembalikan ke tempatnya.” Jack meletakkan semuanya ke tempatnya, lalu turun. Ia sudah siap kalau-kalau ada buku yang mendadak jatuh lagi. “Kita keluar, yuk,” ajak Nora. “Aku tak enak begini lama-lama.” “Ayo - kita naik sekarang. Kurasa, mereka sudah selesai membereskan kamar kita,” kata Mike. Mereka pun meninggalkan perpustakaan dan naik ke kamar. Nyonya Brimming baru saja keluar membawa kemucing dan sapu. “Sudah selesai,” katanya. “Sekarang giliran kamar Nona Dimity.” Anak-anak masuk ke kamar. Jack mengunci semua pintu yang menuju ke luar dari kamar-kamar itu. “Supaya tak ada orang yang mendadak masuk waktu kita menemukan pintu rahasianya.” Semua merasa senang dan bersemangat. Mereka masuk ke kamar Paul dan langsung memperhatikan dinding sebelah kanan tempat tidurnya. Dinding itu ditutupi panel dan lantai sampai ke atap. Jika dilihat sepintas, rasanya tak mungkin ada pintu di situ. “Heran - kau tak mendengar orang masuk lewat pintu rahasia tadi malam,” kata Jack kepada Paul. “Sebenarnya, aku mendengar bunyi kilk beberapa kali,” jawab Paul. “Tapi, kupikir Ranni yang masuk - lalu keluar lagi. Dia berdiri dekat jendela. Aku jelas melihat bayangannya.” Jack berpikir sebentar. “Yah, mungkin saja orang itu memang Ranni, Paul. Orang yang masuk lewat pintu rahasia menutup tirai jendela kita semua. Kau tahu sendiri, kan? Jadi, tak mungkin bayangannya kelihatan di jendela. Orang itu pasti datang setelah Ranni keluar.” “Atau, mungkin Paul melihat dia dekat jendela persis sebelum dia menutup tirai jendelanya,” kata Nora. Jack mengangguk. “Mungkin,” katanya. “Nah, sekarang -ayo kita cari pintunya. Ingat - kita takkan menyerah sebelum pintu itu ketemu.” Mereka memencar. Masing-masing memeriksa bagian tertentu dinding sebelah kanan kamar Paul. Panelnya mereka dorong, geser, tekan, dan ketuk. Lalu bersama-sama kelimanya bersandar di panel dan mencoba menggeser panel itu ke samping. “Kelihatannya kita tidak berhasil,” ucap Jack “Tembok di bagian ini sudah kuperiksa dengan teliti sampai ketinggian tiga meter - tetapi, sejauh pengamatanku semuanya dipanel biasa. Tak ada yang tersembunyi. Kita coba tukar tempat, yuk!” Mereka bertukar tempat, lalu mulai memeriksa lagi. Sibuk benar kelima anak-anak itu... mencari, mengetuk, menekan, dan menggeser. Satu titik yang kelihatan aneh, atau bunyi yang lain daripada yang lain mereka teliti dengan sungguh-sungguh. Pada waktu mereka sibuk memeriksa, ada orang yang mencoba buka pintu kamar Mike dan Jack. Orang itu lalu mengetuk pintunya keras-keras. Anak-anak yang sedang asyik mencari-cari itu langsung terlonjak kaget. Ternyata Dimmy, datang membawakan biskuit dan buah prem untuk makan siang. Dia marah karena anak-anak mengunci pintu. Peggy langsung lari membukakan pintu. “Mengapa pintunya kalian kunci?” tanya Dimmy. “Supaya Brimmy dan adik-adiknya tidak masuk,” Jack menjawab jujur. “Mereka selalu saja ingin tahu yang apa kami lakukan. Wah, terima kasih, Dimmy. Kau baik sekali - biskuit coklat dan buah prem. Hmm, asyik!” Dimmy pergi. Anak-anak beristirahat sambil menikmati biskuit coklat dan buah prem. Kelimanya duduk-duduk di tempat tidur Mike. Mereka agak kecewa. “Sudah lebih dari satu jam kita mencari pintu itu,” kata Jack “Kita yakin pintunya ada! Sebab, bisa dipastikan tamu kita semalam datang dari menara lewat lorong rahasia. Lalu, apa sebabnya kita tak bisa menemukan?” “Kita coba mencari lagi,” usul Mike. Mike tak suka terlalu cepat menyerah. “Kita mulai, yuk! Kurasa kali ini pintunya akan ketemu.” Ternyata tidak. Akhirnya anak-anak terpaksa menyerah. “Tak sejengkal pun lepas dari pemeriksaan kita,” ucap Jack, mengeluh. “Kita kalah. Aku sudah segan meneliti panel-panel itu lagi. Bosan!” Semua merasakan hal yang sama. “Kita keluar, yuk,” usul Nora. “Hujan sudah berhenti. Lihat, matahari mulai keluar. Mudah-mudahan tak ada orang yang masuk memutar balik kamar kita selagi kita berada di luar.” “Kunci saja pintunya. Kuncinya kita bawa,” usul Jack. Mereka meninggalkan kamar, ketiga pintu yang menghubungkan kamar-kamar mereka dengan koridor mereka kunci. Meskipun begitu, pintu dalam yang menghubungkan kamar satu dengan lainnya mereka biarkan terbuka lebar. Mereka pergi ke luar, menikmati sinar matahari sambil berjalan-jalan mengelilingi kastil. “Wah, sudah hampir waktu makan nih,” Nona berkata. “Kita harus cepat-cepat masuk. Huh! Lengket benar rasa badanku. Baiknya kita langsung naik - cuci tangan dan kaki dulu. Kalau Dimmy melihat kita kotor begini, bisa marah dia.” Mereka naik, lalu masuk ke kamar. Jack mengeluarkan kunci-kuncinya dari saku. Mula-mula ia membuka kamar Nora dan Peggy. Kelimanya masuk dan situ. “Bagus! Kali ini tak ada yang usil memutar-balik isi kamar kita. Siapa pun yang usil, hari ini dia tak bisa masuk karena pintunya kita kunci.” “Lihat - senterku kembali!” kata Nora tiba-tiba sambil menunjuk ke meja di samping tempat tidurnya. “Punya Peggy juga.” “Wah, punyaku juga,” sahut Mike, sambil berlari kembali ke kamar tengah. “Juga punya Jack. Aneh. Kan pintunya terkunci semua?” “Benar,” komentar Jack “Jadi, orang yang mengembalikan senter kita pasti masuk lewat pintu rahasia yang belum berhasil kita temukan. Tidak ada jalan lain. Jadi, pintu rahasia itu pasti ada! Pasti! Orang itu lewat sana tadi. Mengapa kita tak bisa menemukannya, ya? Paul - apa kira-kira yang bisa membantu kita menemukan pintu itu? Kau satu-satunya yang mendengar bunyi 'klik' dan melihat seorang laki-laki berdiri di kamarmu. Coba pikir, Paul - ceritakan semua yang kau dengar dan kau lihat kepada kami!” “Kan sudah kuceritakan semuanya,” sahut Paul. Dahinya berkerut, mencoba mengingat-ingat detil peristiwanya. “Yang kuingat cuma bunyi klik yang terakhir. Ketika itu kupikir Ranni keluar dari kamar. Lalu, seperti ada bayangan di bagian atas dinding - dan -” “Bayangan! Di bagian atas dinding! Itu dia rahasianya!” seru Jack. Matanya bersinar-sinar. “Pintu itu letaknya pasti di atas kalau begitu. Ya, lebih tinggi dari daerah yang telah kita periksa. Bayangan yang kaulihat itu pasti bayangan tamu kita yang tengah kembali lewat pintu itu. Tetapi, pintunya jelas terletak di tempat yang tinggi! Kita cari lagi sekarang!” 21. PERJALANAN DI TENGAH MALAM ANAK-ANAK tidak bisa langsung mencari pintu itu, karena sudah waktunya untuk makan siang. Kalau mereka memaksakan, Dimmy pasti datang mencari mereka sambil marah-marah. Dengan penuh semangat anak-anak masuk ke kamar mandi - mencuci tangan dan kaki mereka. Sesudah itu kelimanya kembali ke kamar, menyisir rambut. Mereka turun. Dimmy baru saja hendak berangkat menjemput mereka. Ia nampak jengkel sekali. Peggy menubruknya dari belakang, merangkul pinggangnya sambil mencium hingga Dimmy tak jadi marah. Sebaliknya ia malah tertawa. “Hus, bikin orang kaget saja,” katanya. “Ayo, cepat atur meja makan. Makanan sudah diantar kemari sejak sepuluh menit yang lalu.” Anak-anak sudah kepingin membicarakan pintu rahasia, dan lebih kepingin lagi segera bekerja mencari pintu rahasia itu. Tetapi, tentu saja mereka menahan diri - jangan sampai menyebut sesuatu mengenai hal itu di depan Dimmy. Atau, Dimmy akan bertanya ini dan itu. Sebaiknya ini mereka rahasiakan. Karena itu mereka bungkam selama makan siang. “Ranni kusuruh kemari membawa mobil jam dua nanti,” ucap Dimmy, membuat anak-anak kaget “Nyonya Brimming bilang, kira-kira enam kilometer dari sini ada kolam renang yang bagus sekali. Karena hari ini panasnya bukan main, kurasa kalian bakal senang berenang-renang. Kita akan bawa bekal makanan kecil untuk minum teh sore nanti. Kalau perlu, makan malam juga kita bekali.” Dimmy kaget. Nampaknya tak seorang pun di antara anak-anak merasa senang dengan rencana yang telah dia buat. Tentu saja Dimmy tak tahu bahwa mereka sudah tak sabar menunggu untuk cepat-cepat kembali ke kamar, mencari pintu rahasia. Sekarang, rasanya mereka sudah tahu di mana kurang lebih letak pintu itu! Dimmy memandang mereka satu persatu. Ia benar-benar heran melihat sikap mereka yang tidak bergairah. “Kalian tak kepingin pergi, ya?” tanyanya. “Heran! Kupikir kalian akan senang. Mungkin kalian sudah punya rencana lain. Kalau betul, kalian boleh melaksanakan rencana kalian itu besok. Aku sudah terlanjur memesan bekalnya. Begitu selesai makan, ambil segala keperluan berenang - lalu cepat turun. Aku tak mau membiarkan Ranni menunggu terlalu lama.” Jack merasa bahwa Dimmy kecewa mereka tidak kelihatan senang. Karenanya dia berpura-pura senang dan mengajak yang lain bersikap sama dengan menendang kaki mereka di bawah meja. Anak-anak langsung berubah sikap. Sebentar saja Dimmy merasa senang dan mengira Ia salah mengerti tadi. Ternyata anak-anak senang diajak pergi! Ketika mengambil pakaian renang dan keperluan renang lainnya di kamar, anak-anak mulai merasa benar-benar senang akan diajak pergi berekreasi. Berenang pada hari panas begini pasti asyik. Ditambah dengan berpiknik pula... wah, lebih asyik lagi! “Pintu rahasianya takkan lari,” ucap Jack. “Nanti malam saja kita cari. Pasti ketemu. Kita sudah tahu, tempatnya di bagian atas dinding. Lebih tinggi dari daerah yang kita periksa kemarin. Tak terpikir olehku sebelumnya bahwa mungkin letaknya agak ke atas. Sekarang, kita bersenang-senang saja. Nanti malam baru kita mencari pintu rahasia.” Dengan riang gembira mereka berangkat. Nikmat sekali berenang di kolam sejuk yang biru jernih airnya, lalu berbaring-baring di tepinya menghangatkan diri. Setelah rasa lelah hilang, mereka mencebur lagi ke kolam. Pikniknya ternyata lebih menyenangkan daripada yang mereka bayangkan sebelumnya. Ketika membuka bekal, Dimmy pun sampai terpesona melihat makanan yang telah disiapkan oleh Nyonya Brimming. Semuanya bengembira ria. Ketika sampai di kastil kembali, semua merasa capek. Sesiang tadi mereka berenang banyak sekali hingga tangan dan kaki mereka pegal semua! “Sebaiknya kalian langsung tidur,” ujar Dimmy, melihat mereka menguap berganti-gantian. “Hari ini sungguh-sungguh menyenangkan. Tubuh kita jadi lebih coklat kena matahari!” Setelah mengucapkan selamat tidur kepada Dimmy, anak-anak naik. Semangat mereka mencari pintu rahasia tidak lagi menggebu-gebu seperti sebelumnya. Hanya Jack dan Mike yang masih penasaran! “Kami kepingin tidur,” ucap Peggy. “Aku dan Nora sudah tak kuat berdiri. Kau tak keberatan mencari pintu rahasia itu sendiri kan - Mike, Jack? Kurasa Paul pun takkan mau naik-naik kursi mengetuk dinding bagian atas kamarnya! Lihat saja - dia sudah ngantuk begitu.” “Sudahlah - kalian tidur saja. Biar aku dan Mike yang mencari. Begitu kami menemukan pintunya, kalian akan kami beritahu,” kata Jack. “Untung saja senter kita sudah dikembalikan.” Nora dan Peggy naik ke tempat tidur. Paul juga, walaupun sebenarnya ia merasa wajib ikut mencari pintu rahasia bersama Mike dan Jack. Sambil berbaring, dia perhatikan keduanya sibuk menyandarkan kursi di dinding. Tetapi, sebentar saja dia sudah tertidur. “Wah, terlambat,” umpat Jack melihat Paul sudah terlelap. “Aku kepingin bertanya kepadanya, apakah waktu bangun tadi pagi dia melihat ada kursi di dekat dinding sini. Siapa pun orangnya yang meninggalkan ruangan ini lewat pintu rahasia yang letaknya di atas, pasti memerlukan kursi untuk naik!” “Kau benar,” komentar Mike. “Kurasa memang aku melihat ada kursi di sini tadi, Jack. Ya, di sebelah sini! Kita coba periksa di atas tempat ini.” Mereka berdua meletakkan kursi di tempat yang ditunjukkan Mike. Jack lalu naik ke atasnya. Diraba-rabanya panel dinding di sekitar situ. Nasibnya mujur! “Ada,” bisiknya penuh semangat “Kutemukan semacam knop! Coba kutekan - wah, seluruh panelnya bergerak!” Mike menyorotkan senter ke atas. Jantungnya berdebar keras. Benar - sebidang panel bergerak dengan bunyi 'klik' ke samping. Lalu terlihat semacam rongga gelap di dinding. Pintu rahasianya ketemu! Betapa rapinya pintu itu tersembunyi! Siapa yang akan mengira ada pintu di bagian atas dinding berpanel? “Mike! Coba lihat - apakah Nora dan Peggy belum tidur,” kata Jack “Kita kasih tahu mereka. Tapi, jangan bangunkan Paul. Anak itu sudah nyenyak benar tidurnya. Kalau tidak diteriaki sampai semua orang dengar, tak bakalan dia bangun.” Mike lari ke kamar anak-anak perempuan. Dengan senter di tangan, ia kembali dalam waktu singkat. ”Sudah pulas,” sahutnya. ”Kucoba mengguncang-guncang si Nora. Tapi, bergerak pun tidak Sebaiknya kita menyelidik berdua saja, Jack. Mungkin ada baiknya juga yang pergi cuma kita berdua!” “Baiklah,” sahut Jack “Menurutku, kita perlu menyusun paling tidak dua buah kopor di kursi ini untuk menyangga kita. Kita tak bakal bisa masuk ke lubang itu, kalau tidak naik lebih tinggi lagi!” Mike mengambil dua buah kopor, lalu menaruhnya bersusun di atas kursi. Dari situ gampang naik dan masuk ke lubang yang menganga di atas! Jack yang mula-mula naik. Suara yang ditimbulkannya cukup keras. Tetapi, Paul tidak terbangun. “Ada tangga di sini,” ucap Jack, meraba-raba dengan kakinya. “Bagus! Tolong kemarikan senterku, Mike. Ketinggalan di bawah.” Mike memberikan senter Jack, dan Jack menyorotkan ke lorong yang gelap di depannya. “Benar - ini memang lorong,” katanya. “Lebarnya kira-kira setengah meter. Coba kuturuni tangganya. Tangganya mirip tangga yang disandarkan ke tembok, tapi gampang dituruni.” Mike memanjat ke atas, dan masuk ke lubang aneh yang berfungsi sebagai pintu. Diikutinya Jack menuruni tangga, masuk lebih ke dalam lorong. Tak lama kemudian Mike dan Jack berdiri di dalam lorong. Keduanya merasa puas! Mereka telah menemukan jalannya! Tapi, ke mana lorong itu menuju? Ke lubang asap di menarakah? Kalau benar, apa yang akan mereka temukan di sana? Jalan keluar ke sebuab ruangan? Lalu, siapa yang berada di ruangan itu? Mereka mulai berjalan menyusur lorong. Panas dan pengap di situ. Mula-mula lurus, tapi di suatu tempat membelok tajam ke kanan. “Kurasa, kita sedang lewat di belakang dinding kamar-kamar yang ada di lantai atas ini,” kata Jack “Wah, sekarang turun - jalannya miring.” Mengikuti jalan, keduanya turun. Mendadak naik tajam ke atas. Dan situ lorongnya berkelok-kelok....... persis seperti yang dilukiskan di denah. Tetapi, dengan tiba-tiba jalan di depan mereka buntu! Ada tembok batu menghadang jalan. Pada tembok itu terdapat pijakan kaki dan besi yang ditancapkan hingga membentuk semacam tangga. “Kita naik,” bisik Jack sambil menyorotkan senter ke atas. Mereka naik. Tetapi mendadak Jack berhenti. “Wah, tak bisa terus,” katanya. “Kita sudah sampai ke langit-langit. Tapi, di dekat pijakan yang di sini ada semacam kisi-kisi. Ada pegangannya. Coba kubuka. Mudah-mudahan saja tidak berbunyi.” Perlahan-lahan Jack membuka. Tak ada suara sama sekali. Jack yakin kisi-kisi itu dilumasi dengan minyak. Jadi, sudah pasti orang yang mendatangi kamar-kamar mereka itu lewat di situ. Bukan cuma mendatangi kamar-kamar mereka. Tapi, mungkin juga kamar-kamar lainnya - entah dengan maksud apa! Jack melihat lewat lubang yang kisi-kisinya telah dibuka tadi. Tak ada sesuatu pun yang terlihat olehnya kecuali suasana gelap gulita. Mungkinkah yang dia lihat itu cerobong asap salah satu kamar di menara - yang ditandai dengan huruf T di denah? Besar kemungkinan. Jack memasang telinga. Tak ada suara yang terdengar dan tak ada sesuatu yang terlihat olehnya. “Aku akan masuk ke sana,” bisiknya kepada Mike yang berdiri di belakangnya. “Kurasa situasi cukup aman. Tunggu di situ sampai kaudengar siulanku, Mike. Setelah itu baru naik.” Jack naik lewat tubang tadi, lalu meraba-raba mencari tempat berpijak. Segera kakinya merasakan semacam pinggiran pada sisi lubang. Dengan hati-hati Ia memijakkan kaki di situ. Ia belum berani menyalakan senter. Dengan tangannya Ia meraba ke depan. Tersentuh olehnya batu dingin di depannya. Ia meraba-raba lagi - ke belakang, ke kiri dan ke kanan. Sama, ada semacam tembok batu yang dingin di sekelilingnya. Jack lalu memutuskan hendak menyalakan senternya sekejap. Ketika senternya menyala, tahulah Jack bahwa Ia sedang berdiri di sebuah cerobong asap yang cukup besar. Kakinya berpijak pada perapian kosong. Dia tinggal membungkuk sedikit lalu bisa keluar - ke salah sebuah ruangan di menara! Perlahan-lahan sekali Jack bersiul. Dengan segera terdengar olehnya Mike naik. Sebentar saja kedua anak lelaki itu sudah berdiri dalam kamar gelap. Jack menyalakan senter. Ternyata mereka berada dalam sebuah kamar duduk. Perabotnya bagus dan ditata rapi hingga menimbulkan kesan menyenangkan. Tak ada seorang pun di sana. “Wah, banyaknya kursi di sini,” bisik Jack “Nyaman benar si Guy tinggal di sini. Apa yang hendak kita lakukan sekarang?” “Kita cari tangganya, lalu naik ke puncak menara,” bisik Mike. “Di atas masih banyak ruangan lain. Begitu yang terlihat di denah. Ayo. Tangganya di luar pintu yang sebelah sana.” Dengan hati-hati mereka menuju pintu, lalu membukanya. Di luar ada lampu redup. Rupanya untuk menerangi tangga. Jack membuka jendela lentera, lalu meniup lilin di dalamnya. “Kalau kita mau naik, lebih aman dalam gelap. Jadi, tak kelihatan,” bisiknya. “Nah, sekarang hati-hati. Kita tak tahu apa yang hendak kita temui!” Sepatu karet yang mereka kenakan tak menimbulkan suara sama sekali ketika keduanya naik. Tangganya melingkar-lingkar di dalam menara yang berpenampang bulat. Tak lama kemudian mereka melihat sebuah pintu - setengah terbuka. Ruangan di sebelah dalamnya gelap gulita. Jack memasang telinga. Ia tidak mendengar suara apa pun. Didorongnya pintu hingga membuka lebih lebar, lalu Ia mengintip ke dalam. Merasa yakin di dalam situ tak ada orang, Jack menyalakan senternya dengan cepat. Ia melongo. “Kamar tidur!” bisiknya kepada Mike. “Tapi, lihat - bukan main banyaknya tempat tidur di situ! Siapa saja yang tinggal di sini? Astaga - pasti bukan si Guy seorang. Banyak orang! Apa saja yang mereka kerjakan di menara ini?" “Masih ada kamar lagi di atasnya,” bisik Mike. Jantungnya berdebar keras sekali. “Mungkin ada sesuatu yang sedang terjadi di sana.” Kamar tidur itu mereka tinggalkan, lalu kembali ke tangga dan naik lagi. Belum sampai keduanya sampai ke pintu berikut, mereka mendengar suara orang berbicara keras! Segera mereka berhenti, berdiri dekat-dekat satu sama lain tanpa berani bernapas. Rupanya ada orang sedang bertengkar di kamar yang terletak di puncak menara. Terdengar teriakan-teriakan marah dalam bahasa asing. Lalu kedengaran bunyi benda dilemparkan - meja, rupanya! “Siapa mereka?” bisik Jack. “Kedengarannya ada beberapa orang. Baiknya kita merayap, mendengarkan! Ayo!” 22. PENGALAMAN SERU JACK dan Mike merayap naik sedikit lagi, lalu sampai ke sebuah pintu. Seperti pintu yang lainnya, yang ini pun agak terbuka. Ada semacam teras kecil di luar pintu yang satu ini, dan dari teras itu ada tangga sempit menuju ke atas. Jack menempelkan mulutnya ke telinga Mike. “Kita naik ke situ kalau mendadak ada orang yang keluar. kurasa mereka takkan mengira ada orang di sana pada tengah malam seperti ini. Menurutku, tangga itu menuju ke atap menara.” Mike mengangguk. Matanya tajam memandang ke dalam ruangan yang pintunya agak terbuka tadi. Pintu itu terbuka cukup lebar hingga Mike dan Jack bisa melihat jelas ke dalam ruangan di baliknya. Keduanya kaget melihat orang sebanyak itu. Hampir separuhnya mengenakan pakaian aneh seperti yang dikenakan kedua lelaki di dalam tambang tempo hari. Kepala mereka tertutup oleh semacam topeng. Bagian matanya berlubang, dilapisi dengan bahan kaku transparan. Jack menduga, bahan transparan itu semacam mika - untuk menahan panas. Orang-orang lainnya mengenakan pakaian biasa, tetapi di bagian luarnya mereka memakai jas kerja. Jack langsung menyentuh lengan Mike ketika melihat Guy mengenakan jas kerja. Wajah orang itu dengan cepat bisa Ia kenali, karena jelek dan tajam matanya! Jelas orang-orang di dalam sana sedang marah kepada Guy. Mereka meneriakinya dengan bahasa asing. Sebagian mengacung-acungkan tinju dan mengancamnya. Guy berdiri, matanya menyala-nyala. “Kau bilang kita aman di sini dan bisa melakukan kegiatan rahasia ini dengan bebas. Kau bilang tak pernah ada orang yang datang kemari atau ke tambang tua itu. Sekarang, belum lagi pekerjaan kita selesai, kau menyuruh kami menyingkir dari sini!” Salah seorang memekik, mengatakan sesuatu dalam bahasa asing. Guy langsung membentak. “Sudah kukatakan ini bukan kesalahanku,” katanya. “Sudah hampir dua tahun kita di sini tanpa ketahuan. Itu karena dukungan ibu dan bibi-bibiku, sejak kutemukan logam berharga di tambang tua. Aku yang menunjukkan semuanya ini kepada kalian. Kalian kubantu dengan pengetahuan yang kumiliki. Percayalah, kalau kita menetap di sini sekarang, semuanya ini pasti ketahuan. Kastil ini sudah disewakan. Menaranya harus dibuka.” Terdengar yang lain makin seru berteriak-teriak. Lalu seorang yang pembawaannya tenang bicara. “Kalau begitu, kau cuma menyarankan agar benda yang sudah jadi itu kita bawa dan sembunyikan. Sementara kastil ini disewa, kita semua tinggal di dalam tambang dan meneruskan proyek ini di sana. Setelah penyewa kastil ini pergi, kita bisa kembali ke sini. Begitu?” “Benar. Itu satu-satunya yang bisa kita lakukan,” sahut Guy. “Kalian semua tahu. Lord Moon adalah pemilik kastil ini, juga tambang serta segala sesuatu yang ada di dalamnya - berharga ataupun tidak. Dia mengira di situ cuma ada timah. Kita tahu lebih dari itu. Akibat kebakaran yang terjadi berpuluh-puluh tahun yang lalu, yang menyebabkan pekerja tambang terserang penyakit aneh, maka logam baru terbentuk di situ. Namanya Stellastepheny, dan logam ini akan menjadi logam paling kuat dan berharga di dunia....” Lagi-lagi yang lain berteriak-teriak. Salah seorang lalu mengetuk meja. “Kau akan pergi menjual benda itu sementara kami kausuruh bekerja dan tinggal di dalam tambang!” pekik orang-orang yang mengenakan topeng. “Kami tak percaya kepadamu, Guy “ Brimming. Kau tak bisa dipercaya! Kau tidak jujur!” Guy memandang teman-temannya dengan sedih. “Kau bilang aku tak jujur? Siapa di antara kita semua yang jujur? Tak satu pun! Baik - cuma ada dua pilihan sekarang ini! Kalian percaya kepadaku, dan jerih payah kita akan ada sedikit hasilnya, atau kalian tak percaya kepadaku, dan hasil kerja kita selama ini nihil!” Perundingan seru dalam segala macam bahasa asing pun berlangsung. Lalu lelaki berpembawaan tenang yang tadi bicara, sekarang berbicara lagi. “Baiklah. Kami terpaksa mempercayaimu. Sekarang, kita selesaikan dulu percobaan kita yang terakhir. Setelah itu, hasilnya boleh kaubawa pergi dengan yang lain-lainnya. Kami akan turun ke tambang lewat jalan rahasia dan tinggal di sana sampai kau memberi kabar bahwa situasi sudah aman. Persediaan makanan kita masih cukup banyak di sana.” “Kau bijaksana,” komentar Guy. Wajahnya masam tak simpatik. “Cepat, kalau begitu. Aku ingin pergi malam ini juga. Sudah kucoba menakut-nakuti orang-orang yang menyewa kastil ini, tetapi mereka tak takut. Aku tak berani tinggal lebih lama lagi di sini.” “Oke,” sahut lelaki tadi. “Kita selesaikan percobaan yang terakhir, lalu boleh kaubawa pergi. Besok tempat tidurnya akan kami masukkan ke gudang di bawah menara hingga tak ada orang yang curiga. Perabotan lainnya tak perlu diapa-apakan. Setelah itu baru kami menyingkir dari sini. Tapi, malam ini kita harus ke tambang. Kita lihat sendiri cahaya yang meliputi bagian atas perkampungan kosong sehabis kita meninggalkan tambang kemarin malam. Banyak yang harus kita lakukan dengan segera di sana.” Terdengar suara menggerutu. Walaupun begitu, nampaknya semua sudah setuju sekarang. Jack dan Mike menyaksikan kejadian selanjutnya dengan takjub. Salah seorang di antara orang-orang tadi meletakkan semacam silinder kaca di lantai. Setelah diberi pemberat, dia menyambungkan beberapa tabung kaca pada silinder tadi. Lalu beberapa orang yang mengenakan jubah longgar dan topeng datang membawa beberapa sekop yang terbungkus dalam sejenis karung. “Minggir,” mereka berkata kepada teman temannya yang hanya mengenakan jas kerja. “Tutup muka kalian!” Semua minggir. Beberapa di antara mereka membalikkan badan hingga menghadap ke tembok. Jack dan Mike jadi agak takut. Tetapi keduanya ingin terus melihat. Lelaki berjubah dan bertopeng segera mengeluarkan sekop kecil mereka dan karung pembungkusnya. Isinya, sejenis zat aneh yang beruap dan bercahaya, mereka tumpahkan ke mulut silinder kaca yang lebar. Seorang lelaki lain menuangkan cairan tak berwarna ke dalam tabung-tabung kaca yang dihubungkan ke silinder tadi sementara zat aneh tadi turun ke dalam silinder. Mendadak segalanya menghilang! Cahaya yang menyilaukan membuat benda-benda di sekitarnya tak nampak. Warna cahaya itu aneh - persis seperti yang terlihat oleh anak-anak meliputi atap-atap rumah di perkampungan kosong yang sudah rusak tadi malam. Mike dan Jack memandang dengan terpukau. Apa yang terjadi ini? Mereka tidak bisa melihat apa pun kecuali nyala yang menyilaukan di tengah-tengah ruangan itu. Orang-orang, kursi, lantai, dinding semuanya menghilang dan penglihatan. Mata Jack mulai terasa sakit. Begitu juga dengan mata Mike. Dengan menutup mata, keduanya berlari naik tangga yang di depan pintu. Mereka duduk, tak bisa melihat apa pun untuk beberapa saat. Pantas orang-orang berjubah dan bertopeng tadi menyuruh yang lain menutup mata! “Wah, Stellastepheny atau apa yang mereka bilang tadi - benar-benar luar biasa,” komentar Jack akhirnya. “Belum pernah aku melihat sesuatu yang sehebat itu.” Ada orang tersaruk-saruk keluar dan pintu lalu lari menuruni tangga. Mike dan Jack melihat orang itu membawa sebuah kotak logam. Apakah isinya Stellastepheny yang berharga itu? Mungkin sekali! “Kita ikuti, yuk! Aku kepingin tahu apakah dia keluar lewat pintu menara yang di bawah,” bisik Jack. Keduanya beranjak turun. Ketika sampai di depan kamar tidur, mereka melihat lampu di dalamnya menyala. Pasti Guy sudah masuk ke situ. Barangkali dia sedang mengambil beberapa potong pakaian? Tiba-tiba saja Jack melakukan sesuatu dengan sangat cepat sampai-sampai Mike tak mengerti apa yang dilakukan anak itu. Ia berlari ke pintu, menutup pintunya, dan mengunci dari luar! Terdengar orang berteriak kaget dari dalam, lalu orang itu berteriak marah, "Siapa itu? Apa yang kaulakukan?” Disusul bunyi langkah kaki orang berlari menuju pintu. Orang yang di dalam menarik pintu kuat-kuat sambil berteriak keras-keras ketika tahu pintu itu terkunci. “Oh, Jack! Kau mengurungnya! Sekarang dia jadi tawanan!” ujar Mike, kagum dan gembira. "Dia tak bisa keluar dan situ. Teman-temannya di atas juga tak bisa mendengar." “Kedengaran oleh mereka pun tak apa-apa!" sahut Jack “Kuncinya kubawa!" tambahnya sambil mencabut kunci dari lubangnya dan memasukkan kunci itu ke dalam sakunya! “Lalu, apa yang hendak kita lakukan sekarang?” bisik Mike. Suaranya bergetar kegirangan. “Ikut orang-orang yang lain ke tambang?” tanya Jack. “Jangan! Kita kunci saja mereka di dalam ruangan yang tadi supaya nasib mereka sama dengan nasib Guy,” usul Mike. Suaranya tersendat, merasa idenya hebat. “Ayo, kalau begitu! ajak Jack. Keduanya lari ke atas dan sampai di ruangan paling atas lagi. Dengan hati-hati mereka mengintip ke dalam. Orang-orang yang tadi masih ada di sana. Nampaknya mereka tengah bersiap-siap hendak pergi. Semuanya sudah mengenakan jubah dan topeng sekarang. Jack merasa harus bertindak cepat sebelum mereka keluar. Dibantingnya pintu, lalu Ia meraba-raba mencari kuncinya. Tidak ada! Teriakan marah terdengar dari dalam. Jack menggapit lengan Mike. “kita sembunyi! Tak ada kuncinya!” Ditariknya Mike naik ke tangga yang menuju ke atap. Tepat pada saat itu pintu dibuka dari dalam. Seorang lelaki keluar, penampilannya sangat aneh mengenakan jubah dan topeng! “Siapa itu?” teriaknya. “Siapa main-main pintu? Kaukah, Guy?” Terdengar gumam yang lain dari dalam, dan lelaki itu didorong maju. “Tentu saja si Guy. Siapa lagi? Apa kerjanya orang itu? Masih berada di sini! Ayo kita turun - kita lihat apa yang dikerjakan orang itu!” Segerombolan orang segera berlari-lari menuruni tangga. Tak terpikir oleh mereka bahwa di atas ada dua anak lelaki sedang bersembunyi ketakutan. Ribut benar suara mereka menuruni tangga hingga ketika lewat di depan kamar, tak terdengar oleh mereka suara Guy berteriak-teriak. Mike dan Jack yang mengikuti mereka dan belakang, jelas sekali mendengarnya. Mereka tersenyum-senyum sendiri. Orang-orang tadi turun terus ke dasar menara, lalu berhenti. "Dia sudah pergi. Kunci menaranya sudah dia buka. Akhirnya pergi juga itu orang,” kata salah seorang. “Mungkin pintu tadi tertutup oleh tiupan angin! Wow, rupanya kita semua jadi pengecut!” Seorang lagi mengeluarkan sebuah kunci berukuran besar dan memasukkan ke lubang kunci pada pintu menara. Ia membuka pintu itu lalu keluar ke ruangan persegi. Yang lainnya mengikuti. Mendadak terdengar seorang berteriak “Wah, aku lupa membawa catatanku yang tertinggal di ruang duduk. Akan kuambil sebentar. Nanti aku menyusul kalian. Pinjami aku kuncinya. Nanti pintunya kukunci lagi!” Kunci diberikan kepadanya. Jack dan Mike lari naik ke atas lagi dengan sangat perlahan-lahan supaya tidak kedengaran. Kalau orang tadi hendak mengambil sesuatu dari atas, mereka pasti ketahuan kalau tidak cepat-cepat bersembunyi. Lelaki tadi naik. Gerakannya lambat. Ia sama sekali tidak mendengar bunyi langkah Mike dan Jack. Kedua anak itu sudah naik beberapa tangga di atas ruang duduk dan berdiri di sana. Lelaki tadi masuk, lalu menyalakan senter. Terdengar dia membuka laci. “Cepat - kita turun!” ucap Jack, tiba-tiba berbisik. “Ini satu-satunya kesempatan keluar sebelum orang itu mengunci pintu bawah. Dari sana kita bisa melihat ke mana perginya dia. Pasti ada jalan rahasia menuju tambang seperti yang kita duga!” Keduanya berlari dengan hati-hati menuruni tangga ke dasar menara, lalu keluar dari pintu menana yang tinggi ramping. Sesampainya di luar, mereka langsung bersembunyi di samping lemari, menunggu. Tak lama kemudian terdengar bunyi langkah orang menuruni tangga. Orang itu mendorong pintu. Senter di tangannya menyala. Setelah keluar, Ia menutup pintu dan menguncinya dengan hati-hati. Menahan napas, anak-anak menyaksikan semuanya itu. Apa yang hendak dilakukan orang itu? Dia berjalan ke dinding, mengutak-utik sesuatu di balik sebuah lemari, lalu menarik sesuatu yang ada di situ. Di tengah-tengah ruangan mendadak terbentuk lubang. Bagian lantai yang ada di situ turun dengan lancar tak bersuara. Dengan bantuan cahaya senter yang dinyalakan orang tadi, Jack dan Mike memandang lubang di tengah-tengah ruangan dengan melongo. Sudah berpuluh kali mereka melewati bagian atas lantai yang turun itu! Orang itu bergerak mendekati lubang, duduk di pinggirnya, lalu meluncur turun dengan hati-hati. Dia menghilang. Setelah menunggu beberapa menit, Jack dan Mike keluar dari tempat persembunyian mereka. Senter mereka nyalakan. Tepat pada waktu itu terlihat oleh mereka lantai di tengah-tengah ruangan tadi naik lagi - kembali ke tempatnya! “Lihat!” ucap Jack “Kita tidak sedang bermimpi kan, Mike? Apa yang hendak kita lakukan sekarang?” “Kita ikuti dia,” usul Mike. Jack menggelengkan kepala. “Terlalu berbahaya,” katanya. “Sebetulnya aku kepingin - tapi, bisa-bisa kita kesasar di bawah tanah tak tahu ke mana perginya orang tadi. Aku tahu apa yang sebaiknya kita lakukan!” “Apa?’ tanya Mike. “Coba bantu aku menggeser lemari yang berat ke atas lantai yang bisa naik-turun ini!” ucap Jack “Mereka tak bakal bisa keluar. Walaupun lantainya bisa mereka turunkan dari bawah sana, tetap lubangnya tertutup oleh lemari. Mereka jadi terjebak!” Jack dan Mike lalu menarik lemari yang paling besar tepat ke tengah-tengah bagian lantai yang bisa naik-turun. Keduanya berpandang-pandangan dengan perasaan puas. “Hore! Guy sudah kita kurung di kamarnya. Sekarang, yang lain kita kurung di bawah tanah. Mereka takkan bisa keluar, kecuali kalau mau lewat lubang tambang yang ada dekat gubuk reyot bekas gudang itu. Tapi, kurasa mereka takkan mau lewat situ!” Mike menggosok-gosokkan kedua tangannya dengan kegirangan. “Sekarang apa yang hendak kita lakukan?” tanya Jack. “Tidur? Semua sudah terkurung! Besok pagi kita ceritakan kepada Dimrny dan Ranni. Wah, mereka pasti bengong. Paul dan anak-anak perempuan juga! Ayo!” “Mudah-mudahan saja semuanya ini tadi bukan mimpi, Jack,” komentar Mike. “Terus terang - ini malam paling menegangkan yang pernah kualami!” 23. AKHIR YANG MENDEBARKAN PAGI harinya Mike dan Jack masih tidur nyenyak ketika yang lainnya sudah bangun. Paul yang membangunkan kedua anak itu. Dia lari ke kamar Jack dan Mike. “He! Apa yang terjadi semalam? Kalian sudah menemukan pintu rahasianya, ya? Mengapa tidak kalian bangunkan aku? Pintunya masih terbuka di kamarku. Wah!” Nora dan Peggy ikut-ikut masuk. Mereka sudah tak sabar - kepingin mendengar kisah Mike dan Jack. Mike dan Jack terbangun kaget. Teringat pengalaman semalam, Jack langsung meninju pundak Mike. “Wah, Mike! Bagaimana nasib tawanan kita?” Mike nyengir. Dengan cepat ia mengingat-ingat semuanya yang telah terjadi. Paul dan anak-anak perempuan merengek-rengek minta diceritai. Waktu Mike dan Jack bercerita, mereka hampir tak percaya. Ketiganya memasang telinga sementara mata mereka melotot seperti hendak copot. Orang banyak! Mereka semua tinggal di menara! Guy menemukan zat berharga? Lalu dia mencari orang yang mau bekerja - dan mereka merahasiakan penemuan ini! “Dan yang lebih penting, dia sekarang terkurung di kamar menara!” Seru Nora, memekik “kok bisa terpikir berbuat begitu sih oleh kalian? Dan, teman-temannya semua terkurung di bawah tanah! Bukan main! Ayo, cepat kita ceritakan kepada Ranni dan Dimmy!” Dimmy kaget melihat kedatangan anak-anak yang langsung menyerbunya. Dia sedang duduk, menunggu anak-anak turun sarapan. “Dimmy! Dimmy! Coba dengar kisah Jack dan Mike semalam!” seru Nora. “Tunggu! kujemput dulu Ranni!” kata Paul. “Dia juga harus mendengar ceritanya!” Paul melesat ke luar. Tak lama kemudian ia kembali bersama Ranni yang keheran-heranan karena tiba-tiba saja dipanggil masuk. Semua lupa sarapan. Anak-anak ramai menceritakan kisah Mike dan Jack. Dimmy mendengarkan dengan serius. Tak sepatah kata pun bisa dia ucapkan karena kaget dan keheranan. Ranni juga mendengarkan. Sesekali dia mengangguk-anggukkan kepala. Waktu mendengar ceritanya bagaimana Guy jadi terkurung, gelegar tawanya pun memecah kesunyian kastil. Dia tertawa terbahak-bahak waktu mendengar anak-anak mengurung orang-orang lainnya dengan menempatkan lemari besar di atas lubang. Tetapi, mendadak wajahnya berubah jadi serius. “Mestinya aku tak boleh tertawa,” ucapnya kepada Dimmy dengan wajah menyesal. “Keadaan kita selama ini berbahaya. Sangat berbahaya. Segala sesuatu yang tadinya membingungkan kini jadi terang.” “Betul,” sahut Dimmy. “Anak-anak ini hebat. Mereka sama sekali tidak minta bantuan kita, Ranni. Walaupun begitu, kurasa sudah waktunya kita melaporkan hal ini kepada polisi.” “Ya,” komentar Ranni. “Ini bukan main-main. Lord Moon harus segera diberi tahu. Kalau perlu, dia harus datang dari Amerika atau dari mana pun dia berada.” “Sebaiknya Nyonya Brimming dan adik-adiknya segera kupanggil,” ujar Dimmy. “Mereka pasti tahu mengenai hal ini.” Tentu saja mereka tahu. Ketiganya ketakutan bukan main sementara berdiri di hadapan Ranni dan Dimmy yang menanyai mereka dengan pertanyaan-pertanyaan keras. Nyonya Brimming malah menangis tersedu-sedu. Tangisnya tak juga mau berhenti. Adik-adiknya ketakutan. Walaupun begitu Edie Lots masih bersikap menantang. “Jangan kalian persalahkan kakakku - Nyonya Brimming” katanya. “Dia tidak setuju anaknya melakukan itu. Akulah yang selalu mendorong Guy! Dia pandai - pandai sekali! Dia harus bisa jadi ilmuwan paling terkemuka di dunia! Dia harus..—” “Mustahil” potong Dimmy. “Dia berbuat salah. Tambang itu bukan miliknya. Dia tak punya hak untuk membawa orang begitu banyak dan membiarkan mereka tinggal di menara seperti itu. Bagaimana kalau Lord Moon sampai tahu?" Nyonya Brimming makin menjadi-jadi tangisnya. Anak-anak merasa iba melihat perempuan itu. Nona Edie Lots berbicara lantang, “Lord Moon tak pernah datang kemari. Kastil dan tambang di sini tak ada gunanya tagi untuknya. Apa salahnya kalau keponakanku yang menggunakan?” “Kata-katamu tolol,” ucap Dimmy. “Rupanya kalian belum sadar ya, bahwa kalian akan mengalami kesusahan gara-gara semua ini?” “Jadi, semua kejadian aneh selama ini adalah ulah kalian bertiga.” tanya Jack. “Buku-buku yang melompat dari raknya - alat musik yang berbunyi sendiri, dan sebagainya. Kalian ingin kami ketakutan dan pergi dari sini ya, kan!" “Ya,” sahut Nona Edie Lots menantang. “Tapi, bukan kami bertiga yang melakukan itu. Aku - aku sendiri! Kakak-kakakku tak mau. Guy, keponakanku - adalah orang yang menemukan caranya. Dia orangnya jenius. Aku diberi tahu bagaimana caranya menjalankan penemuan-penemuannya. Pintu depan bisa membuka sendiri -itu gara-gara ada tali tipis di belakangnya. Sedang buku-buku yang berlompatan itu, di bagian belakang raknya ada lubang-lubang kecil yang bisa kumasuki jariku. Kalau kudorong dari belakang, tentu saja bukunya bisa jatuh.” “Ah, itu sih sederhana sekali!” komentar Jack. “Kami tidak mencari-cari lubang di belakang rak! Kalau bunyi TANG-DUNG bagaimana? Kok alat musik di tembok sampai bisa berbunyi sendiri?” “Siapa bilang bisa bunyi sendiri?” Nona Edie Lots menyahut dengan bangga. “Ada alat mekanis yang bisa digerakkan dari perapian. Itu yang berbunyi.” “Pantas walau pintunya dikunci bisa berbunyi!” ujar Mike. “Lalu, bagaimana mata potret nenek moyang Lord Moon bisa jadi hidup dan menyala-nyala?” “Pada bagian mata, kanvasnya dikikis sampai jadi sangat tipis. Setelah itu dicat ulang. Di tengah-tengahnya diberi berlubang. Di belakang lubang itu ada lampu yang bisa dinyalakan dari luar ruangan. Ketika kalian berada di dalam, aku di luar menyalakan lampunya beberapa kali. Bunyi mendesis yang terdengar itu asalnya dari semacam sempritan. Semua itu hasil ciptaan keponakanku.” “Kau yang memutar-balik susunan kamar dan memecahkan jambangan?” tanya Dimmy. “Pokoknya, aku yang melakukan segalanya,” sahut Nona Edie Lots bangga. “Yang membuat lukisan bergoyang-goyang juga aku. Guy yang mengatur hingga bisa kugerakkan begitu!” Sementara Edie Lots berbicara dengan penuh kesombongan, Nyonya Brimming menangis terisak-isak Hatinya sedih bukan buatan. Lain dengan Edie Lots. Dia puas dan bangga. Yang penting, dia sudah membantu keponakan yang dia cintai, sedapatnya! “Yah - jadinya tak seru lagi! Semua yang aneh itu ternyata dibikin!” komentar Peggy. “Kasihan benar pasti banyak orang yang berhasil dibikin ketakutan.” “Memang. Ada beberapa orang yang jadi korban,” sahut Edie Lots. Anak-anak lalu teringat akan cerita pelayan restoran mengenai orang yang lari ketakutan waktu datang hendak meminjambuku dan perpustakaan kastil itu. Pasti Edie Lots dan saudara-saudaranya puas sekali waktu orang itu menyebarluaskan cerita mengenai kejadian aneh yang dia alami. Tak ada yang berselera sarapan! Dimmy menyuruh Nyonya Brimming dan adik-adiknya pergi, lalu mulai sibuk menuang teh. Ranni ikut duduk, tangannya merangkul Paul. Paul baru saja bebas dari bahaya besar. Karena itu ia harus menjaganya dengan lebih ketat mulai sekarang! Mereka mengobrol beberapa saat lamanya. “Kukira kau harus segera menghubungi polisi, Ranni,” ucap Dimmy. “Peristiwa ini takkan mengganggu liburan Yang Mulia Permaisuri Banonia. Tapi, segalanya harus beres dulu sebelum beliau datang.” “Betul. Misalnya, si Guy sudah mesti dikeluarkan dari kamar di menara itu,” kata Nora. Ranni bangkit hendak pergi. Anak-anak sarapan asal saja. Mereka tak bernafsu makan. Pada saat seperti ini lebih asyik mengobrol. Mereka menunggu kedatangan Ranni bersama polisi. Hati mereka berdebar-debar mendengar deru mobil kembali. Banyak yang terjadi dalam waktu singkat sesudahnya. Ranni sudah menceritakan kepada polisi segala kisahnya. Dua orang polisi ditugasi mengeluarkan Guy dari kamar menara. Pintu menara dengan gampang mereka buka, lalu naik tangga menuju ke kamar Guy. Kuncinya telah diberikan oleh Jack kepada mereka. Tak lama kemudian Guy yang sudah kusut tampangnya digiring ke luar ke mobil polisi. Dia kaget, marah, dan tidak mengerti. Ibunya yang menangis serta kedua bibinya sama sekali tidak diizinkan berbicara dengannya. Untuk sementara, ketiga wanita itu tidak diapa-apakan. Lord Moon ditelepon. Dia akan segera datang dari tempat kediamannya di Amerika. Setibanya di Kastil Bulan, dia akan memutuskan apa yang hendak dia lakukan terhadap mereka. Lord Moon datang naik pesawat udara. Dia terheran-heran mendengar apa yang diceritakan oleh polisi lewat pesawat radio. Orang-orang yang terkurung di bawah tanah segera dikepung oleh sekelompok polisi yang sigap. Jack dan Mike diizinkan ikut masuk ke tambang melalui jalan rahasia. Mereka berjalan di belakang kelompok polisi yang dikirim turun. Ranni menyertai mereka. Kedua anak itu diharuskan Ranni berjalan di dekatnya. Paul marah bukan main. Ranni tak mengizinkannya ikut. Lemari besar disingkirkan dari atas ubin yang bisa naik-turun. Mike menyelinap ke belakang lemari yang didatangi lelaki yang hendak turun semalam. Di situ dia menemukan semacam besi pengungkit. Mike menarik pengungkit itu. Dengan perlahan-lahan lantai di tengah turun - menampakkan lubang ke bawah. Mereka semua turun. Lorong bawah tanahnya tak enak dilewati. Sempit, dan sangat rendah langit-langitnya. Di samping itu udaranya lembab. Arahnya menuruni bukit sambil berkelok-kelok. Pasti bekas sungai bawah tanah yang sudah kering, pikir Ranni. Akhirnya mereka sampai di tambang. Di situ lorongnya melebar dan langit-langitnya sekonyong-konyon jadi tinggi. Jack dan Mike sampai di terowongan dekat tempat mereka menyaksikan nyala aneh tempo hari. Letaknya persis di seberang reruntuhan yang berlubang itu. Teman-teman Guy berkumpul di gua utama. Mereka bingung dan kuatir. Rupanya mereka tadi kembali. Lubang di lantai dekat menara mereka buka, tetapi mereka tak bisa keluar karena lubangnya dihalangi oleh lemari besar. Mereka berusaha memindahkan lemari itu. Tapi, sia-sia. Beratnya bukan main. Sebenarnya mereka tak tahu benda apa yang menghalangi itu! Setelah mencoba menggeser benda itu tanpa hasil, mereka menutup kembali lubangnya, dan kembali ke tambang. Melihat kedatangan polisi berseragam, terdengar gumam mereka. Ganjil benar rupa orang-orang itu mengenakan jubah longgar dan topi topeng. Ranni terkejut melihat mereka! Teman-teman Guy sudah mengira hal ini bakal terjadi ketika mendapatkan lubang tadi dihalangi. Mula-mula mereka mengira Guy menipu mereka setelah berhasil membawa pergi penemuan dan hasil karya mereka bersama. Setelah polisi mengatakan kejadian yang sebenarnya, barulah mereka tahu bahwa Guy pun terkurung sejak tadi malam - di kamarnya di menara! “Kalau orang-orang ini tahu, mereka bisa meloloskan diri lewat situ,” tunjuk Jack pada gundukan reruntuhan di seberang gua. “Gundukan itu mudah dirobohkan. Dan situ mereka bisa lolos lewat terowongan yang muaranya berada di bekas gudang di atas sana. Kami tahu jalannya. Tapi, rupanya mereka tak tahu!” “Heran, kalian tahu banyak sekali,” ujar salah seorang poiisi yang bertubuh tinggi besar. Sambil tersenyum ia menambahkan, “Sekarang tenang-tenang saja kalian di dekat Bapak yang berjenggot lebat ini. Kami tak perlu bantuan kalian lagi.” Semua teman Guy diringkus dan dibawa pergi dengan mobil polisi. Dimmy menarik napas panjang. Ia merasa lega. Bukan main! Rahasia besar itu tersembunyi di Kastil Bulan! “Sebaiknya kita sekarang ke Bolingblow naik mobil - dan makan siang,” kata Dimmy. “Nyonya Brimming dan adik-adiknya takkan sempat menyiapkan makan siang buat kita hari ini!” “Ayo!” sahut Nora dengan segera. “Wah, aku sudah tak sabar kepingin menceritakan kepada pelayan restoran di sana bahwa ceritanya dulu memang benar! Di Kastil Bulan terjadi hal-hal aneh dan terdengar suara-suara ganjil. Yuk, kita cepat-cepat berangkat!” “Jangan ceritakan apa pun kepadanya,” Dimmy mengingatkan. “Pelayan itu tak punya urusan. Dia tak perlu tahu apa pun mengenai kejadian ini. Bisa-bisa dia menyebarluaskan cerita yang salah!” “Dimmy - kita ke menara, yuk!” ajak Jack. “Tidak,” sahut Dimmy tegas. “Hari ini aku belum sanggup naik ke puncaknya, walaupun kapan-kapan aku kepingin melihat pemandangan dari sana. “Ibuku tetap akan datang kan, Dimmy?” tanya Paul kuatir. “Kau tak membuat rencananya dibatalkan, kan?” “Wah, aku sampai lupa,” sahut Dimmy. “Tadi pagi aku menerima surat ibumu. Ada berita gembira. Adik-adikmu sudah sehat. Mereka akan datang kemari besok!” “Asyik!” komentar Mike seketika. “Kalau mereka tak cepat-cepat datang, aku kuatir kita bosan di sini. Tak ada lagi kejadian aneh yang bikin asyik!” “Untung kita berhasil membongkar semua rahasianya pada saat yang tepat.” kata Jack. “Hebat kan, kami ini, Dimmy?” Dimmy tak mau terang-terangan mengatakan begitu. Ia cuma tertawa sambil menggosok-gosok rambut Jack. TANG! “Astaga! Bunyi itu kedengaran lagi?” seru Dimmy. DUNG! Tawa anak-anak meledak. Jack lari ke tikungan yang berbentuk L itu, lalu menyorotkan senter ke dalam cerobong asap perapian yang terdapat di situ. Dia merogoh ke dalam cerobong, lalu menarik sejenis alat dari logam, mesin jam dari beberapa alat pemukul mungil. “Ini dia!” ucapnya sambil meletakkan alat-alat itu di atas meja. “Gara-gara alat ini terdengar bunyi TANG-DUNG yang tak diketahul asal-usulnya. Satu dari sekian misteri Kastil Bulan!” “Hidup Kastil Bulan!” pekik Nora. “Hidup rahasia Kastil Bulan! Hidup bunyi TANG-DUNG!” Alat yang ditemukan Jack tadi berbunyi TANG-DUNG. Mesin jamnya berputar. Salah satu alat pemukulnya naik, mengenai logam di dekatnya. DUNG!’ “Tamat,” ucap Jack “Tamat—seperti petualangan kita kali ini. Asyik kalau sudah tahu jawabnya!” Tamat Scan: BBSC Edited & Convert: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu ============================== Ebook Cersil (zheraf.wapamp.com) Gudang Ebook http://www.zheraf.net ==============================